Tapi, kemudian aku mendengarnya terisak. Pelan dan halus. Tidak seperti suaranya yang serba lantang. Wiryo menangis dengan sedu sedan yang cukup untukku saja yang ada di hadapannya bisa mendengar.Â
Dia menunduk. Kedua lengannya lunglai di samping tubuhnya. Kedua bahunya sedikit terguncang mengikuti nafasnya yang tengah tersendat-sendat. Tak beberapa lama, dia menengadah.Â
Menatapku lagi tepat di kedua mataku. Menantangku untuk melihat di kedalaman matanya yang sudah demikian basah. Air mata Wiryo seperti tumpah begitu saja berleleran keluar dari tepian topeng kayu yang menutup dagunya, ke lehernya dan hilang terserap tepian kaos yang dulu pernah menjadi milikku. Dia hanya terisak.Â
Aku tidak tahu harus bagaimana. Aku tidak memikirkan hal ini sebelumnya. Sebagai sesama lelaki, canggung sepertinya jika tiba-tiba aku memeluknya.Â
Rasa-rasanya, aku tidak sedekat itu dengan Wiryo. Atau mungkin iya? Aku sungguh tak tahu. Sudah terlalu lama aku tidak merasakan emosi yang melankolis seperti ini. Membuatku tidak lagi terbiasa bereaksi terhadapnya. Jadi, aku hanya bisa mengalihkan pandanganku ke banyak tempat.Â
Seperti orang bingung saja. Pandanganku bergerak di seputar kepala Wiryo sambil sesekali mencuri pandang ke matanya yang masih terus menumpahkan air. Aku makin merasa tidak nyaman.Â
Lantas, aku mengalihkan pandanganku ke kakiku sendiri. Kemudian ke kaki Wiryo yang bersandal jepit buluk. Entah berapa lama dia sudah menggunakan sandal jepit itu. Seingatku masih ada sandal jepit di rumah.Â
Aku harus segera memberikannya kepada Wiryo supaya dia bisa mengganti sandal jepit yang sedang dipakainya itu. Aku menengadah lagi. Tapi Wiryo masih juga menangis tersedu-sedu.Â
Aku pindahkan topangan kakiku ke kiri dan ke kanan, memindahkan tongkatku ke depan dan ke samping. Sepertinya aku sudah melakukan semua yang bisa aku lakukan untuk menghilangkan rasa canggung yang tak nyaman ini. Si Wiryo masih juga menangis menghadapku.Â
Akhirnya aku putuskan untuk menepuk-nepuk bahunya saja. Aku mengulurkan tanganku dan meletakkannya di bahu kirinya. Saat tanganku mendarat di bahunya, Wiryo mulai berbicara dengan cepat dalam satu tarikan nafas.Â
"Anakku mau nikahan, Pak Mo!" Lalu, dia kembali menangis tersedu-sedu.Â