Oleh sebab itu, tidak dapat disangkal lagi, panasnya suasana politik melulu disebabkan karena Ahok maju mencalonkan diri sebagai calon Gubernur lagi. Terlepas dengan adanya kasus penodaan agama, pilkada DKI tetap berpotensi mengusung isu SARA.
Isu SARA memang efektif untuk meraih simpatik publik. Ini sering kali dimainkan dalam setiap pemilihan dimana mana, bukan hanya di Indonesia saja.
Diantara semua isu SARA yang sering digunakan, isu agama adalah isu yang paling berbahaya. Hal ini bisa berdampak sangat luar biasa.
Apabila masyarakat tidak hati hati dalam mencerna segala macam permasalahannya dan terpancing dengan provokasinya, korban yang paling rentan ada di akar rumput,
Sejak putaran pertama, isu berbau SARA dikembangkan sedemikian rupa untuk menghajar sang petahana. Rupanya itu belum cukup untuk merobohkan Ahok.
Melaju keputaran kedua bersama pasangannya Djarot, berhadapan dengan penantangnya Anies Sandi, isu SARA tak kunjung reda justru semakin menggila. Padahal, Anies, sang penantangnyapun -walaupun tidak double seperti Ahok- menyandang minoritas.
Nah, yang kemudian digoreng dalam pilkada DKI ini adalah isu agama. Sebuah isu yang paling berbahaya, untuk dijadikan alat meraih dukungan dan mendiskreditkan lawan.
Yang kemudian menjadi masalah dilapangan adalah bagaimana cara sang kandidat bersama tim suksesnya memainkan isu agama ini untuk mempengaruhi publik.
Entah salah skript atau salah menerjemahkan, karena permainan isu agama yang disuguhkan dalam pilkada DKI kali ini, sungguh sangat vulgar dan brutal.
Lalu siapa penebar isu SARA? Apakah kandidat A atau B?
Saya tidak akan menuduh siapa menyebar isu apa, karena semua isu bisa dilemparkan oleh kedua belah pihak. Ada yang untuk mendiskreditkan lawan atau sekedar play victim.