Mohon tunggu...
Mike Reyssent
Mike Reyssent Mohon Tunggu... Wiraswasta - Kejujuran Adalah Mata Uang Yang Berlaku di Seluruh Dunia

Kejujuran Adalah Mata Uang Yang Berlaku di Seluruh Dunia Graceadeliciareys@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

Bolehkah Memilih Pemimpin Berdasarkan Keyakinan?

23 Maret 2017   07:44 Diperbarui: 24 Maret 2017   00:00 2014
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Memilih pemimpin harus selektif.

Jangan asal pilih, karena bisa mempengaruhi kehidupan kita dalam masa 5 atau 10 tahun mendatang.

Apalagi memilih pemimpin daerah atau pemimpin negara.

Jangan sampai terjadi seperti yang lalu, menyesalpun tidak ada gunanya.

Tapi ada hal yang lebih penting lagi...

Jangan hanya karena memilih pemimpin, maka ikatan yang sudah kita buat berpuluh atau ratus tahun jadi hancur.

Jalinan persaudaraan dan pertemanan yang sudah kita untai bersama, menjadi lebur.

Bahkan sendi sendi persatuan berbangsa dan bernegara menjadi runtuh.

***

Pilkada DKI kali ini, nuansanya jauh lebih panas daripada pilkada DKI tahun tahun sebelumnya. Ahok sang petaha yang menjadi Gubernur DKI, karena menggantikan Jokowi yang terpilih menjadi Presiden RI ke 7, menyandang double minoritas.

Saat akan menggantikan Jokowi, sudah banyak penolakan terhadap Ahok. Dari mulai demo ormas sampai aksi boikot waktu pelantikan Ahok.

Oleh sebab itu, tidak dapat disangkal lagi, panasnya suasana politik melulu disebabkan karena Ahok maju mencalonkan diri sebagai calon Gubernur lagi. Terlepas dengan adanya kasus penodaan agama, pilkada DKI tetap berpotensi mengusung isu SARA.

Isu SARA memang efektif untuk meraih simpatik publik. Ini sering kali dimainkan dalam setiap pemilihan dimana mana, bukan hanya di Indonesia saja.

Diantara semua isu SARA yang sering digunakan, isu agama adalah isu yang paling berbahaya. Hal ini bisa berdampak sangat luar biasa.

Apabila masyarakat tidak hati hati dalam mencerna segala macam permasalahannya dan terpancing dengan provokasinya, korban yang paling rentan ada di akar rumput,

Sejak putaran pertama, isu berbau SARA dikembangkan sedemikian rupa untuk menghajar sang petahana. Rupanya itu belum cukup untuk merobohkan Ahok.

Melaju keputaran kedua bersama pasangannya Djarot, berhadapan dengan penantangnya Anies Sandi, isu SARA tak kunjung reda justru semakin menggila. Padahal, Anies, sang penantangnyapun -walaupun tidak double seperti Ahok- menyandang minoritas.

Nah, yang kemudian digoreng dalam pilkada DKI ini adalah isu agama. Sebuah isu yang paling berbahaya, untuk dijadikan alat meraih dukungan dan mendiskreditkan lawan.

Yang kemudian menjadi masalah dilapangan adalah bagaimana cara sang kandidat bersama tim suksesnya memainkan isu agama ini untuk mempengaruhi publik.

Entah salah skript atau salah menerjemahkan, karena permainan isu agama yang disuguhkan dalam pilkada DKI kali ini, sungguh sangat vulgar dan brutal.

Lalu siapa penebar isu SARA? Apakah kandidat A atau B?

Saya tidak akan menuduh siapa menyebar isu apa, karena semua isu bisa dilemparkan oleh kedua belah pihak. Ada yang untuk mendiskreditkan lawan atau sekedar play victim.

Yang pastinya penyebar isu SARA adalah orang yang punya kepentingan besar dalam pilkada DKI ini.

Mereka tidak rela jika kepentingannya jatuh ke pihak lawan. Masing masing pihak ingin meraih keuntungan dalam pilkada DKI ini.

Dana jor joran untuk menghantam lawannya. Segala macam isu dilontarkan. Tidak mau perduli isu tersebut sangat berbahaya. Yang penting niatnya untuk menjatuhkan lawan politiknya.

Media sosial, terutama WA, Telegram, FB atau Twitter dijadikan alat untuk melempar isu yang paling efektif.

Mirisnya, kelakuan para pendukung paslon, ketika mendapat broadcast -entah darimana asalnya ga jelas- sudah langsung dishare kemana mana tanpa mau tahu benar atau tidaknya.

Melihat status orang begini begitu, sudah langsung dishare ke teman temannya. Padahal tidak tahu siapa orang dibalik akun itu, entah kawan atau lawan.

Kalau kampanye dengan menggunakan ayat kitab suci aja mah, itu sudah sering dilakukan. Yang ada sekarang sudah sangat parah, karena sudah disertai ancam mengancam.

Jika memilih ini akan dibegitukan, jika memilih itu akan dibeginikan. Kalau ini yang menang akan dibegitukan dan kalau itu yang menang akan dibeginikan... Ini apa?

Mau pilkada saja koq sampai segitunya sih? Hanya pemilihan rutin 5 tahunan sekali aja, koq sampe setega itu mengumbar isunya sih?

Ini sudah melebihi batas kewajaran yang bisa ditoleransi oleh para penegak hukum.

Aparat harus secepatnya menangani para penyebar ancaman itu. Jika terus dibiarkan, dikuatirkan akan menimbulkan konflik horizontal, yang korbannya tidak bisa kita bayangkan.

Siapa yang dirugikan? Siapa yang diuntungkan?

Yang pasti dirugikan duluan adalah kita, masyarakat kecil. Mereka, para elite politik mah tau sendiri, sebentar juga bakalan cipika cipiki lagi, kaya teletubies.

Sebaliknya kalau soal untung, mereka pasti udah berebut duluan. Nah bagian kita, bakalan kebagian sisa remah remahnya doang...

***

Pertanyaannya yang paling sering dilontarkan adalah, “Apakah tidak boleh memilih pemimpin berdasarkan keyakinan agama yang dianut?

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, -bagi yang pernah ikut pemilihan- silahkan ingat kembali, faktor apa yang menjadi dasar penilaian untuk menentukan pilihan ketika pemilihan sebelumnya?

Apakah karena ada yang memberi uang pada serangan fajar, senang melihat calonnya yang keren, atau karena melihat program kerjanya?

Saya bukan ahli agama atau orang yang religius. Tetapi dalam hal ini, saya akan menjawab pertanyaan krusial tadi dengan tegas, silahkan saja orang memilih pemimpin berdasarkan keyakinan yang dianutnya.

Sama halnya jika ada orang yang menentukan pilihannya tidak berdasarkan agama.

Jadi...

Jangankan memilih pemimpin berdasarkan keyakinan agamanya, berdasarkan penilaian apapun silahkan saja. Karena itu merupakan hak kita sebagai warganegara.

***

Jadi, hendaklah masyarakat sadar, jangan mau dijadikan pion atau prajurit yang rela mati untuk kepentingan sesaat elite politik.

Saya jadi ingat komentar mbak Erna Wati yang seorang guru SD di pedesaan yang mengatakansudah malas bicara politik karena mereka hanya baik saat akan pemilu saja.

http://www.suara.com/news/2017/03/20/185933/siapa-yang-memainkan-isu-sara-di-pilkada-jakarta

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun