Mohon tunggu...
Mike Reyssent
Mike Reyssent Mohon Tunggu... Wiraswasta - Kejujuran Adalah Mata Uang Yang Berlaku di Seluruh Dunia

Kejujuran Adalah Mata Uang Yang Berlaku di Seluruh Dunia Graceadeliciareys@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Artikel Ringan dan Narsis...

20 Juli 2015   09:51 Diperbarui: 20 Juli 2015   09:51 1930
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

INI ADALAH ARTIKEL RINGAN MASIH DIMUSIM LIBUR LEBARAN 1436 H. MOHON MAAF JIKA SUDAH MENCANTUMKAN NAMA TANPA PERMISI LAGI...

Menulis untuk uang atau untuk kepuasan dan kesenangan?

Butuh waktu yang bukan sebentar untuk mengajak teman, kerabat atau keluarga untuk mulai menulis. Dalam tiap kesempatan, saya selalu “mempromosikan” Kompasiana, kesiapa aja. Tapi, ya itu, seperti biasanya, ga ketinggalan saya pasti promosi narsis dengan nunjukin tulisan sendiri yang banyak vote dan pembaca. Hahahaha...

Sampai harus nunjukin tulisan lawas soal wajah cantik dan bulat telur, terkait surat cinta dari pengungsi gunung Sinabung (yang udah dihapus kang Pepih tapi masih banyak bertebaran di internet) yang berujung dihantamnya salah satu satu anak asuh kompas.com oleh pihak penguasa. Atau saya tunjukin tulisan Rumah Kaca -yang sudah dicomot sana sini oleh media lain, berikut dengan efeknya yang sampe sekarang kasusnya belum juga tuntas.

Itu kalau pas ketemu temen bicara yang seneng ngomong soal politik, tapi kalau ketemu temen yang seneng ngomongin soal artis, saya tunjukin tulisan sahabat Kompasianer yang menggugat sumpah Ahmad Dhani, soal mau potong anu kalau Jokowi menang. (yang juga udah dihapus...Hahahaha...)

(Dari sekian banyak tulisan soal nazar itu, hanya tulisan mbak Usi Saba Kota aja yang dimasalahin. Kenapa? Menurut saya, karena mbak Usi sering menulis soal A.Dhani, sedangkan yang lain ga. Jadi, sepertinya A.Dhani udah punya rasa dendam dari sebelumnya.)

Nah, pas ketemu temen yang seneng ngomong soal korupsi pejabat atau militer, saya tunjukin tulisan lawas yang membongkar kasus skandal korupsi di Angkatan Udara atau tulisan soal indikasi keterlibatan perwira tinggi militer yang mendukung salah satu capres (berikut dengan tanggapan dari pihak militer nya sendiri)

Jadi, seperti pameran dirgantara atau show of force gitu dah... Niatnya ga ada lain, cuma satu, yaitu supaya mereka mau mulai menulis, terutama di Kompasiana ini doang.

Beragam tanggapan dari mereka. Yang pertama adalah kaget, melongo dan beneran ga percaya. Mereka kaget pas tau saya sekarang sering menulis. Ga nyangka sama sekali. Abis itu, mereka pasti mengeluarkan pertanyaan yang paling sering ditanyain sama yang lain? Apalagi kalau bukan soal duit.

Lo, dapet apa sih atau dapet berapa sih nulis di Kompasiana? Itulah pertanyaan yang paling sering... Betul kan??? Hayooo...

Saya bilang sama mereka, apa sih artinya uang, jika dibanding dengan kepuasan? (terutama saya katakan kepada mereka yang saya liat hidupnya udah mapan banget)

Puas kan, kalau kita akhirnya bisa menunjukan hasil karya kita buat anak cucu nanti?

(yang penting Kompasiana tetap bisa terus bertahan. Amiiieen...Makanya buat jaga jaga, semua arsip tulisan kita, sebaiknya disimpen di flashdisk berikut Print Screen nya sekalian, seperti saya. Hahahahaaaaa...)

Karya kita itulah yang akan jadi memori yang terus diingat oleh anak cucu, ketimbang kalau kita cuma ninggalin harta doang.

Ini lho dulu, hasil karya eyang kamu, emak kamu atau engkong kamu di Kompasiana...(buat Kompasianer yang udah jadi emak-engkong, kakek-nenek, atau opa-oma, pasti sekarang juga udah sering nunjukin hasil karyanya pada cucunya kan? Hayoo ngaku...)

Puas kan, kalau kita bisa ngeluarin uneg uneg, daripada nyangkut dileher? Kalau uneg uneg yang nyangkut ga dikeluarin, tar bisa bisa kita jadi sensi ga puguh lagu, marah marah ga ada juntrungannya. Daripada entarnya jadi darting, cepet pikun dll, ya saya bilang sama mereka, mending ditulis aja kan? Daripada cuma curcol atau nulis di status FB atau BB, yang ga jelas arah dan maksudnya. Mending nulis di Kompasiana. Bener kan???

(makanya tulisan di Kompasiana lebih berwarna, ada yang berbalas pantun, ada juga satu isu dibuat tulisan dari sudut pandang lain atau dari komentar bisa jadi ide buat tulisan)

Apa sih artinya uang kalau dibanding dengan kesenengan yang bakalan kita dapet? Seneng, kita bisa bergaul dengan sesama temen di Kompasiana, cekakak cekikik ga keruan.

(makanya saya sering komen kesana kemari, ber haha..hihi...Wakakakakk... dan saya juga beberapa kali bilang supaya penulis lain mau saling ber interaksi, bukan cuma berbagi doang. Keakraban dan kedekatan inilah yang menyebabkan Kompasiana berbeda dengan yang lain)

Apakah kepuasan dan kesenengan yang seperti itu bisa dibeli dengan uang? Bisa beli dimana? Berapa? Siapa yang menjual? FB, BBM, WA, Line? Hmmm...Hal yang kaya gitu mah cuma ada di Kompasiana aja dan harganya ga akan bisa dinilai dengan uang...

*****

Menjaga supaya tetap menulis...

Nah, dari beberapa waktu lalu, saya udah ajak anak saya, Dhea, supaya nulis juga di Kompasiana, dari pada dia nulis entah dimana. Emang sih, waktu itu dia langsung register tapi karena lagi banyak yang dikerjain.

Bayangin aja, dia harus kuliah, ngajar (sekarang udah magang) , olahraga panjat tembok (wall climbing), belum lagi bergaul sama temen temennya, jadinya baru beberapa hari lalu Dhea sempet publish tulisannya...

Memang beda jauh Rubrik pilihannya dengan saya, karena anak muda sekarang sedikit sekali yang berminat menulis soal politik atau korupsi. Dhea emang dari kecil dulu seneng nulis fiksi atau puisi gitu dah (yang saya ga bisa, Hahahaha...)

Seneng rasanya ngeliat Dhea udah mau ikut nulis bukan cuma bergabung jadi silent reader doang di Kompasiana. Seneng juga ketika tulisannya mendapat respon positif dari temen temen Kompasianer (terima kasih sebesar besarnya buat temen temen K).

Ga terpikir dan ga diperkirakan dari awal, karena tulisannya ga di kilau sama admin, tapi ternyata sudah bisa mendapat banyak tempat di kolom “Nilai Tertinggi”. Biarpun hanya berada di urutan ke 5 paling bawah tapi itu merupakan sebuah surprise yang sangat menggembirakan.

Pagi pagi pas buka Kompasiana, sempet heboh seisi rumah, dengan jumlah tulisan yang beredar di Kompasiana, dan para penulis lainnya, tulisan fiksinya udah bisa ikut bersaing. Sekali lagi terima kasih buat temen temen K yang udah ngasih komen dan vote, yaaa....

Ada satu yang paling penting dari semua ini, yaitu bisa menjaga supaya mau terus menuangkan karyanya. Karena seperti yang sudah kita tau (Kompasianer yang udah lama bergabung), bahwa “kebanyakan” (berarti ga semua ya...) penulis fiksi itu “kurang sering berinteraksi” dengan sesama penulis lainnya.

Saya juga ga tahu apakah Dhea masih mau terus menulis? Masalahnya mood menulisnya sudah sangat berkurang, dibanding beberapa waktu lalu (jaman naruto sedeng nge top dulu, dia aktif menulis dikomunitas itu)

Efeknya udah bisa ditebak kan? Banyak tulisan fiksi (puisi, cerbung, cerpen) yang bagus bagus, justru tidak mendapat respon dari Kompasianer lainnya, sehingga ada beberapa penulis fiksi yang merasa bete -merasa kurang dihargai sama penulis lain- jadinya banyak penulis fiksi yang pindah ke blog -biarlah, itu kan hak mereka- tapi amat sangat disayangkan jika sampai mereka berhenti menulis.

Ini yang jadi bikin serba salah admin. Admin pastinya juga ga bisa berbuat lebih banyak lagi, karena dalam beberapa bulan terakhir ini, sudah memberi ruang yang cukup (menurut saya lho...) buat penulis fiksi dalam bentuk HL. Nah, kalau udah dikasih tempat kaya sekarang ini, mereka yang udah pergi, mau balik lagi jadi gimana? Siapa yang rugi? Tidak ada. Hanya saja sangat disayangkan, hubungan saling menguntungkan itu harus berakhir...

Sehebat apapun tulisanmu tidak akan keliatan hebat jika ga ada yang baca. Coba lihat, banyak media online sekarang membuat judul berita yang lebay bahkan banyak yang ga nyambung sama isinya, niatnya cuma satu yaitu supaya bisa menarik jumlah pembaca (pemberian judul yang masih menjadi masalah buat saya sampai saat ini). Jadi mesti ada kesadaran dan introspeksi dari para penulis sendiri untuk tetap berkarya walaupun kadang tulisannya cuma sedikit yang baca. Tetaplah menulis dan berkarya. Sekali lagi, inilah karya yang akan kita tinggalkan untuk anak cucu nanti...

*****

Pengorbanan...

Bagi Kompasianer lama, pastinya tau, sebelumnya di Kompasiana lama ada kolom Trending Articles (TA) dan di Kompasiana baru kolom itu udah ga ada lagi. Padahal kolom TA adalah kolom yang paling bergengsi dibawah Headline (beda ada stempel HL aja).

Tapi sejujurnya, waktu itu saya justru lebih senang tulisan saya ada di TA daripada di HL (bukan karena tulisan saya lebih sering di TA lho...). Karena ada perbedaan waktu tayang yang terlalu jauh HL dan TA. Kalau tulisan yang dipajang di HL paling banter 4 atau 5 jam (beda dengan HL sekarang yang bisa sampe belasan jam), sedangkan kalau di TA bisa sampe belasan jam. Itu yang menyebabkan tulisan di HL rata rata lebih sedikit jumlah kliknya daripada di TA.

Lha, tapi koq kenapa TA sekarang dihapus? Padahal, dengan makin banyak jumlah klik, TA itu kan bisa lebih menguntungkan Kompasiana?

Tadinya saya juga ga ngerti kenapa kolom TA dibuang, tapi akhirnya saya ngerti (mudah mudahan ga salah) dan setuju kolom TA dibuang. Menurut saya, kolom TA ini yang sering bikin kisruh.

Lha, koq bisa?

Iya dong, karena TA kebanyakan hanya diisi oleh Kompasianer yang itu itu aja. (tentu masih ingat kan soal tulisan sampah?)

Lha, kenapa bisa loe lagi loe lagi?

Iya namanya juga Trending Articles kan? Jadi, TA diisi oleh tulisan berita yang lagi nge trend, atau tulisan yang saat itu mendapat banyak klik, vote dan komentar. Nah, yang seperti itu, sebagian besar hanya ditulis oleh penulis politik atau penulis berita atau juga penulis yang sering wara wiri kesana kemari (kaya saya gitu, ya? Hahahaha...).

Kalaupun sesekali ada tulisan humor yang nangkring di kolom TA, tapi judul atau isinya sesuai dengan berita yang sedang trend, kan? Contoh, tulisan mas Bain yang berjudul Solusi BBM Mahal...Ya Begini! Mau Nyoba?

Masalahnya, di Kompasiana baru ini admin ingin bersikap netral, tidak ingin lagi dianggap menganak tirikan atau menganak emaskan beberapa Kompasianer, tindakan itu sekaligus untuk melindungi para penulis fiksi supaya bisa mendapat tempat yang adil, maka TA itu harus dihapus...(sekali lagi ini menurut saya ya...)

Sebuah win win solution dan sebuah pengorbanan dari admin untuk bisa merangkul semua penulis, karena jika tetap ada TA, walaupun bisa menambah klik dan menguntungkan Kompasiana tapi otomatis terus akan menimbulkan prasangka.

****

Menulis = Pisau...

Kompasiana bisa diibaratkan sebuah negara bebas. Siapapun tanpa terkecuali bisa dengan mudah menjadi warganegara nya tanpa harus melepas kewarganegaraan asalnya atau bisa juga hanya jadi turis aja (silent reader). Semua warganegara Kompasiana juga bebas datang dan pergi tanpa kehilangan kewarganegaraannya.

Penulis baru bebas datang dan pergi, tanpa harus kehilangan kewarganegaraannya. Penulis yang baru pernah menulis atau penulis yang sudah mempunyai blog sendiri, bisa bebas bergabung di Kompasiana.

Semua warga negara Kompasiana mempunyai hak yang sama, yaitu bisa membuat tulisan atau komentar untuk didengar suaranya. Perbedaannya hanya ada pada beberapa penulis yang mendapat strata biru, yang hampir semua tulisannya bisa mendapat tempat lebih baik.

Apakah perbedaan strata itu masalah? Saya jawab dengan tegas, tidak! Strata itu ga ada masalah sama sekali. Seperti saya sudah tulis dan bisa dilihat contoh tulisan diatas (Putra Angkasa dengan tulisannya yang berjudul Skandal Korupsi di Tubuh Militer, Kenapa Sulit Diungkap?), walaupun ditulis oleh newbie dan tidak dikilau, tapi tulisan itu bisa mendapat jumlah klik banyak dan direspon oleh pembaca Kompasiana.

Jadi, strata biru itu tidak membawa pengaruh terlalu besar. Karena apa? Karena ini Kompasiana, yang sudah mempunyai nama besar, tulisannya sering menjadi bahan pembicaraan dan bahkan sering dijadikan referensi oleh media lain, sudah dikenal bukan hanya diseluruh penjuru tanah air tapi di manca negara, sehingga punya ratusan ribu user dan jutaan peng akses, bukan sebagai blog pribadi.

Orang bilang menulis adalah hal mudah. Benar, saya setuju 1 juta % !!! Siapapun orang yang pernah sekolah pastinya bisa menulis dan pernah menulis. Walau hanya menulis sms atau cuma menulis komen aja, itu sudah bisa disebut sebagai tulisan. Tapi, apakah itu karya tulis? Hmmm...

Orang bilang menulis itu susah, ini juga saya setuju 1 juta %. Karena, supaya bisa menuangkan atau mengeluarkan apa yang ada dipikiran (uneg uneg) kedalam tulisan, untuk bisa menghasilkan sebuah karya tulis bukanlah perkara mudah.

Bagi beberapa orang (terutama saya), butuh waktu lama dan konsentrasi supaya apa yang ingin kita sampaikan tidak nyasar kemana mana. (kecuali ada ide spontan, dan itu biasanya tidak akan bisa menghasilkan tulisan yang bagus, contohnya seperti tulisan ini dan ini).

Untuk mulai menulis bukan hal yang gampang, seperti yang sudah tulis di atas, masih harus ditambah dengan keberanian khusus. Setelah selesai menulis, mesti dibaca berulang ulang dan diedit sana sini lagi. Dan juga harus punya rasa percaya diri yang cukup untuk menekan tombol “publish(kuatir tulisan kita ga ada yang baca kan?).

Begitu juga ketika kita sudah lama absen, maka untuk memulai kembali menulis sama susahnya. Karena rasa percaya diri kita pastinya sudah berkurang banyak. (sekedar saran, kalau hilang mood atau habis ide menulis, membacalah. Tidak dapat ide dari membaca, menontonlah, dari situ bisa timbul ide untuk membuat sebuah tulisan)

Jadi, menulis itu ibarat sebuah pisau yang harus terus diasah, kalau didiemin terus, tar bisa jadi karatan. Pisau karatan, akan tetap bisa berguna, tapi bukan lagi buat memotong tapi buat korek kuping. Hahahaha...

*****

Apakah saya sudah puas?

Dari semua contoh tulisan di atas (kecuali Rumah Kaca), kita bisa melihat peran seorang Pepih Nugraha sebagai pengayom Kompasiana yang sibuk jumpalitan ketika menghadapi beragam respon dari orang atau institusi yang merasa tersenggol dengan tulisan Kompasianer. Dan dari tulisan tulisan itu kita bisa lihat berapa besar efek yang sudah dihasilkan dari sebuah tulisan.

(masih ingat apa penyebab perang saudara yang terjadi di Amerika Serikat? Bisa dilihat disini)

Tapi dari semua itu, apa ada Kompasianer yang dirugikan? Dipanggil bolak balik ke Polsek atau Polres? Atau dibawa ke ranah hukum? Paling banter tulisannya dihapus aja kan???

(oleh sebab itu, walaupun ada disclaimer yang menyatakan tulisan adalah tanggung jawab penulis, tapi melihat beberapa kejadian diatas, saya merasa nyaman dan aman menulis di Kompasiana, karena saya merasa terlindungi. Ini juga yang sering saya promosiin ke teman! Tapi tentunya kita juga harus menjaga supaya tulisan kita ga berisi fitnah, dooong...)

Akhirnya, eng ing eeeng...(seperti biasa, edisi narsis lagi nih...wakakaka....)

Siapa yang pernah nyangka, bahkan saya sendiri juga ga nyangka, dari pertama cuma bisa nulis seperti gambar dibawah ini aja.

[caption caption="Saya adalah salah satu contoh orang yang belajar dari 0, menulis di Kompasiana...Saya ga malu tulisan saya dulu cuma seperti itu, dan ga akan hapus tulisan itu, untuk jadi bahan introspeksi diri...(cuma sayang, karena proses migrasi, jumlah kliknya udah ga ada lagi)"]

[/caption]

 

Tapi kemaren saya sudah bisa nulis sampe 2.999 kata!!! Dimana lagi saya belajarnya kalo bukan di Kompasiana yang banyak guru menulisnya dan banyak tulisannya yang bermanfaat...

Kalo liat tulisan pertama yang kaya gitu, terus mana pernah nyangka kalo saya bisa terus nulis sampe 221 artikel . Menurut statistik sih hampir 10% HL dan 44.8% dikilau admin.

***TERIMA KASIH YANG SEBESAR BESARNYA UNTUK ADMIN DAN PARA SAHABAT KOMPASIANER SEMUANYA...***

(Beberapa hari lalu, saya ada ketemu teman lama, dia sampe penasaran, dia pesen minta dibuatin tulisan soal Candranaya! Hahahaha... Sebuah ide gila juga, itu kan sejarah yang panjang dari tahun 1875 an gitu. Lagian itu kan udah banyak orang yang nulis...Ga bakalan bisa seminggu kelar, cuyyy... Mesti bongkar banyak tulisan orang. Duh, kayanya berat banget...)

Apakah itu sebuah prestasi? Buat saya, Ya.

Tapi, apakah dengan pencapaian yang seperti itu saya sudah puas? Oh, tentu saja tidak!!!

Bagaimana mungkin saya bisa puas hanya dengan membuat 221 tulisan? Justru saya malu kalau liat temen temen lain sudah publish tulisan sampe ribuan. Tapi, saya akan terus belajar, belajar dan belajar lagi supaya tulisan saya semakin baik! Saya juga akan terus dan terus menulis di Kompasiana sampai ada sesuatu hal yang membuat saya tidak bisa lagi mengakses Kompasiana. Saya punya cita cita mau buat buku kalau nanti tulisan saya udah banyak!

(Nyomot pepatah dari yang paling sepuh di Kompasiana...)

Makdarit (maka dari itu)...

Ayo...Menulis...

Terus semangat menulis...

Menulislah dengan hati...

Tumpahkan semua perasaan dan pikiranmu dalam tulisan...

Entah senang, riang gembira atau ngamuk sekalipun...

Supaya keliatan ada nyawa dalam tulisan itu...

Tapi, janganlah membuat tulisan SARA dan fitnah!!!

*****

*** Manusia adalah pusatnya salah dan dosa. Di bulan kemenangan bagi para sahabat muslim yang berbahagia ini, adalah sebuah kesempatan buat saya untuk memohon maaf yang sebesar besarnya kepada siapapun, terutama admin atau sesama penulis maupun kepada silent reader semuanya, karena seringkali dalam tulisan maupun komentar, mungkin secara sengaja maupun tidak sengaja, ada yang telah menyinggung admin atau para sahabat sekalian...

[caption caption="***SELAMAT HARI RAYA IDUL FITRI 1436 H***MOHON MAAF LAHIR DAN BATHIN...***"]

[/caption]

 

Gambar bawah dari

(http://www.canstockphoto.com/hugs-and-kisses-9240318.html) dan (http://www.imgnly.com/)

 

Salam Damai...

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun