Menurut James Alm (1999), salah satu upaya pemerintah untuk meningkatkan kepatuhan pajak adalah memperbaiki administrasi perpajakan. Semakin berkembangnya perekonomian di era kemajuan teknologi dan digital tentunya mendorong perbaikan administrasi perpajakan ke arah yang sama.
Menurut OECD's Tax Administration Series (2019), telah terjadi pergeseran yang signifikan menuju e-administration di negara-negara OECD. Administrasi elektronik ini berupa pelaporan online, pembayaran online, hingga pengajuan restitusi pajak secara online. Dari negara-negara OECD, 70% Wajib Pajak Orang Pribadi memanfaatkan e-Filing, dan Wajib Pajak Badan sebesar 85%. Sarana komunikasi secara manual langsung juga turun 15%, sedangkan sarana digital seperti tatap muka online dan email meningkat 20%. Lebih dari 40 otoritas pajak sedang mengembangkan kecerdasan buatan atau artificial intelligence dalam pelaksanaan pelayanan dan pengawasan perpajakan.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Lazos et.al. (2022) di Yunani menyimpulkan bahwa dua faktor utama penentu cost of tax compliance adalah kompleksitas sistem perpajakan dan tingkat layanan elektronik perpajakan yang disediakan oleh administrasi pajak.
Coolidge dan Ylmaz (2014) menyampaikan bahwa penggunaan e-filing dapat mengurangi kesalahan dan peluang korupsi. Selain itu, cost of compliance juga akan berkurang karena waktu yang dibutuhkan Wajib Pajak lebih singkat. Namun reformasi ini harus dilakukan dengan hati-hati terutama di negara berkembang. Mereka tidak boleh terburu-buru untuk mendorong e-filing pada semua wajib pajak sampai otoritas pajak, infrastruktur, dan wajib pajak siap
Penelitian serupa juga dilakukan di Indonesia oleh Tarmidi et.al (2017) yang memberikan simpulan bahwa implementasi SPT online berpengaruh positif signifikan pada tingkat kepatuhan pajak.
Berdasarkan penelitian-penelitian tersebut, tampak bahwa penggunaan layanan administrasi digital akan menurunkan cost of compliance, dan hal ini tentunya akan meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak. Sesuai dengan langkah dromologi positif Paul Virilio, transformasi harus dilakukan dengan hati-hati dan jangan terburu-buru.
Dulunya, semua administrasi perpajakan di Indonesia dilakukan secara manual, secara tertulis. Mulai dari pelaporan Surat Pemberitahuan Pajak (SPT) hingga penyetoran pajak dan hal administratif lainnya. Saat ini sistem tersebut telah bertransformasi menjadi berbasis elektronik. Untuk menggantikan SPT kertas, saat ini pelaporan dilakukan menggunakan aplikasi elektronik, seperti e-SPT 1721 untuk pelaporan SPT Masa PPh Pasal 21, e-SPT 1111 untuk pelaporan SPT Masa PPN dan SPT elektronik lainnya. Begitu pula dengan penyetoran pajak yang saat ini sudah menggunakan Surat Setoran Pajak Elektronik (SSE) yang menggantikan Surat Setoran Pajak (SSP).
Beberapa kemajuan teknologi yang diadopsi dalam sistem administrasi perpajakan Indonesia saat ini antara lain:
- e-Registration. Kewajiban perpajakan pertama warga negara adalah mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP bila syarat subjektif dan objektif telah terpenuhi. Dulu orang harus datang ke kantor pajak untuk mendaftarkan diri sebagai Wajib Pajak dan memperoleh NPWP. Namun sekarang, Wajib Pajak dapat menggunakan layanan e-Registration melalui laman ereg.pajak.go.id. Selain memperoleh NPWP, melalui aplikasi ini, juga tersedia layanan pengukuhan PKP. Kemudahan pendaftaran ini diharapkan dapat meningkatkan jumlah Wajib Pajak yang terdaftar. Selain itu, pelayanan secara elektronik ini juga memudahkan petugas pajak dalam memproses pendaftaran dan mengklasifikasikan berbagai jenis Wajib Pajak.
- e-Payment. Hingga sekitar tahun 2013, Wajib Pajak yang akan menyetorkan pajaknya harus ke bank atau kantor pos dengan membawa Surat Setora Pajak (SSP) yang diisi secara manual. SSP ini berisi beberapa rangkap yang nantinya masing-masing salinan diberikan kepada pihak-pihak yang membutuhkan, seperti untuk kantor pajak, lawan transaksi, dan disimpan Wajib Pajak sendiri sebagai arsip. Saat ini pembayaran pajak cukup dengan menggunakan Surat Setoran Pajak Elektronik (SSE) dimana Wajib Pajak hanya perlu membuat ID billing kemudian membayarnya melalui bank / kantor pos / ATM / internet banking / SMS banking atau alat pembayaran elektronik lainnya. Kemudian Wajib Pajak akan mendapatkan NTPN sebagai validasi penyetoran pajak ke negara. Tidak ada salinan, paperless, dan Wajib Pajak hanya perlu menyimpan NTPN sebagai bukti setor.
- e-Reporting. Siapa yang merasa bingung karena SPT memiliki banyak jenis, dan masing-masing jenis berbeda cara pengisiannya Dahulu Wajib Pajak melaporkan setiap pemenuhan kewajiban perpajakannya melalui SPT yang disampaikan secara manual ke kantor Pajak. Namun saat ini SPT cukup disampaikan secara elektronik, baik melalui eSPT maupun eFilling. DJP juga menggandeng perusahaan penyedia jasa aplikasi perpajakan (PJAP) untuk membantu memberikan layanan administrasi perpajakan. Bahkan mulai tahun 2022 SPT cukup dilaporkan menjadi satu, yaitu SPT Unifikasi. Dengan pelaporan SPT secara elektronik, administrasi Wajib Pajak menjadi lebih ringan dan tentunya juga memudahkan tugas fiskus.
- Layanan elektronik lainnya, seperti e-Bupot untuk pembuatan bukti pemotongan PPh; e-Objection untuk pengajuan keberatan; ; e-SKD untuk pelaporan Surat Keterangan Domisili;Â e-SKTDÂ untuk penyampaian Surat Keterangan Tidak Dipungut; KSWP untuk permohonan Surat Keterangan lainnya, dan e-PBK untuk pengajuan pemindahbukuan setoran pajak, serta berbagai portal konfirmasi lainnya.
Dilibatkannya teknologi informasi dalam administrasi perpajakan tidak lepas dari pengaruh dromologi. Mau tidak mau pemerintah dalam hal ini otoritas pajak perlu mengikuti ritme kecepatan perekonomian. Apakah semua berjalan lancar?
Tentu tidak. DJP belum dapat mengimbangi kecepatan pengguna layanan administrasi perpajakan. Sistem elektronik yang dibangun DJP sampai saat ini masih menghadapi banyak kendala seperti
- downtime error saat traffic pengguna layanan meningkat
- platform yang belum siap tatkala adanya peluncuran peraturan baru
- Wajib Pajak yang belum sepenuhnya memahami mengenai mekanisme penggunaan sistem teknologi digital dalam perpajakan
- Kurangnya sosialisasi aplikasi yang baru diluncurkan padahal sudah harus diterapkan
Menurut ADB (2022), faktor dan tantangan yang mempengaruhi transformasi pajak digital di negara berkembang antara lain:
- Kapasitas. Keterbatasan kapasitas yang dimaksud disini adalah kapasitas pemerintah maupun kapasitas Wajib Pajak, baik dalam bidang pajak, teknologi dan manajemen data terutama di negara berkembang
- Kedalaman dan pemahaman teknologi. Lagi-lagi, kendala teknologi di negara berkembang adalah kematangan digital yang rendah yang mungkin disebabkan oleh keterbatasan pendanaan, kapasitas, prioritas strategis, atau visi.
- Ketersediaan dan aksesibilitas data. Di negara berkembang yang mana data belum sepenuhnya terintegrasi, ketersediaan data masih sangat terbatas yang disebabkan oleh ketidakmampuan untuk menerima, menyimpan, dan/atau melindungi data
- Tata kelola dan keterbukaan. Kedua hal ini merupakan hal yang penting dalam transformasi digital. Tata kelola yang terpercaya dan transparansi akan meningkatkan kepercayaan pengguna, baik Wajib Pajak maupun otoritas pajak pada sistem digital tersebut.