Mohon tunggu...
Alfa Mightyn
Alfa Mightyn Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Mercu Buana | Dosen: Prof. Dr. Apollo, M.Si, Ak. | NIM: 55521120047

Universitas Mercu Buana | Dosen: Prof. Dr. Apollo, M.Si, Ak. | NIM: 55521120047 | Magister Akuntansi | Manajemen Perpajakan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

K3_Diskursus Perjalanan Reformasi Perpajakan Indonesia

22 September 2022   10:45 Diperbarui: 24 September 2022   04:37 515
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Perjalanan Reformasi Perpajakan Indoensia (Dokpri)

Reformasi Perpajakan, apa urgensinya?

Reformasi sendiri menurut KBBI adalah perubahan secara drastis untuk perbaikan (bidang sosial, politik, atau agama) dalam suatu masyarakat atau negara. Sedangakan menurut Cambridge Dictionary, reformasi adalah tindakan membuat perbaikan, terutama dengan mengubah perilaku seseorang atau suatu struktur. 

Di Indonesia, gaung reformasi mulai terdengar pada runtuhnya rezim Orde Baru di tahun 1998. Gaung reformasi ini dipicu oleh krisis ekonomi yang dialami Indonesia mulai tahun 1997.

Di tengah badai krisis ekonomi, Indonesia sebagai anggota International Monetary Fund (IMF) mendapatkan bantuan likuiditas dengan syarat IMF diperbolehkan melakukan supervisi di pemerintahan. Setelah meninjau kondisi saat itu, IMF merekomendasikan untuk melakukan reformasi perpajakan

Lalu apa yang dilakukan pemerintah Indonesia? Pemerintah mengikuti rekomendasi IMF dengan melakukan reformasi administrasi perpajakan sebagai salah satu strategi pemulihan fiskal. Reformasi ini tidak lain dan tidak bukan dilakukan untuk memperbaiki kondisi APBN, meningkatkan pertumbuhan ekonomi, mencapai stabilitas makroekonomi, pengentasan kemiskinan, dan mengurangi kerentanan fiskal. 

Menurut IMF, kondisi perpajakan Indonesia sangat lemah. Pada tahun 2000, rasio pajak atas PDB hanya berada pada kisaran 9,9% yang tergolong rendah dibanding rata-rata negara non-OECD 14% atau negara OECD Asia 24.9%.

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sendiri mengklaim reformasi pajak sesungguhnya dimulai pada 1983, ditandai dengan terbitnya tiga Undang-Undang di bidang perpajakan, yaitu UU No.6 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, UU No.7 tentang Pajak Penghasilan, dan UU No.8 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. 

Era inilah menandai selesainya official assessment dan penerapan self assessment, dimana Wajib Pajak diminta untuk menghitung, membayar dan melaporkan pajaknya sendiri.

Selanjutnya DJP melaksanakan Reformasi Perpajakan Jilid I atau Modernisasi Administrasi Perpajakan pada tahun 2000 – 2008. Kemudian Reformasi Perpajakan Jilid II pada tahun 2009 hingga 2014. Dan terakhir, Reformasi Perpajakan Jilid III mulai tahun 2017 hingga nanti 2024.

Reformasi Perpajakan Jilid I, penyesuaian fiskal di tengah krisis ekonomi

Untuk memulihkan perekonomian makro Indonesia saat itu, tujuan modernisasi administrasi perpajakan adalah meningkatkan penerimaan negara dan mendorong investasi. Untuk memahami strategi peningkatan penerimaan pajak, kita harus memahami terlebih dahulu konteks “tax gap”.

Tax gap adalah selisih antara penerimaan pajak yang seharusnya terkumpul (dengan kepatuhan penuh) dan penerimaan pajak yang sebenarnya dikumpulkan. 

Selisihnya merupakan pajak yang sah namun tidak dibayar sebagai hasil atas ketidakpatuhan Wajib Pajak. Ketidakpatuhan disini meliputi ketidakpatuhan formal dan material, yaitu tidak lapor, kurang lapor, maupun kurang setor. Untuk itulah strategi peningkatan penerimaan negara harus menyasar pada kepatuhan, baik kepatuhan sukarela maupun kepatuhan berdasarkan paksaan (akibat dari penegakan hukum).

Sedangkan kemudahan dan kesederhanaan administrasi perpajakan menjadi salah satu nilai tambah bagi peningkatan iklim investasi karena menurunkan biaya kepatuhan. Untuk itu strategi yang diambil pemerintah melalui adalah reformasi organisasi dan reformasi regulasi.

Pada tahun 2000, kondisi administasi perpajakan memang memerlukan perubahan, diantaranya ketentuan perpajakan yang kompleks, kurang kompetennya petugas pajak/fiskus, dan lamanya prosedur pengembalian pajak atau restitusi. Seluruh permohonan restitusi diproses melalui pemeriksaan yang membutuhkan waktu 12 bulan tanpa terkecuali.

Saat itu belum dikenal adanya risk-based audit atau pemeriksaan dengan mempertimbangkan risiko Wajib Pajak. Padahal tenaga audit juga terbatas dan alhasil permohonan restitusi tidak mampu diselesaikan secara lebih cepat. Hal ini tentunya memberatkan cash flow Wajib Pajak, terutama eksportir yang rutin melakukan permohonan restitusi.

Menurut IMF, saat itu administrasi perpajakan Indonesia memiliki tata kelola dan regulasi yang buruk, lemah dalam pengaturan organisasi dan sistem kepegawaian, pelayanan dan penegakan hukum perpajakan yang tidak efektif, dan sistem informasi yang ketinggalan zaman. Segala kondisi dan masalah ini memicu ketidakpatuhan dan meningkatkan biaya bisnis di Indonesia.

Saat itu, peraturan perpajakan memberikan kewenangan yang terbatas bagi fiskus dibanding sistem pajak modern, seperti sanksi yang lemah, tidak adanya akses pada data perbankan dan penagihan pajak yang juga lemah. 

Sedangkan dari sisi Wajib Pajak, mereka tidak memiliki perlindungan dalam perpajakan, seperti lamanya waktu restitusi, ketetapan pajak yang kerap menjadi celah negosiasi Wajib Pajak dan petugas pajak, dan proses keberatan banding yang dianggap memihak DJP.

Dari segi organisasi, saat itu kantor pajak tersegmentasi berdasarkan jenis pajak, bukan berdasar fungsi. Setiap bagian melakukan fungsi penuh, misal bagian Pajak Penghasilan (PPh) melakukan fungsi administrasi pendaftaran, pelaporan SPT, dan pengawasan. Hal ini dinilai usang dan menyebabkan tidak adanya sinkronisasi antarjenis pajak. Padahal satu jenis pajak dengan yang lain saling terkait.

Penegakan hukum saat itu terutama tindakan pemeriksaan dan penagihan kurang memaksimalkan kewenangannya, sehingga banyak Wajib Pajak yang luput dari pengawasan. Begitu pula dengan pelayanan, petugas dinilai kurang terlatih dan kurang berorientasi pada pelayanan. 

Pelayanan dan seluruh proses bisnis masih dilakukan secara manual. Tidak ada satupun jalur pelayanan elektronik. Hal ini juga berdampak pada kesulitan yang dihadapi manajemen karena tidak memiliki informasi yang akurat untuk evaluasi kebijakan.

Lantas, apa yang dilakukan?

Untuk mempersempit tax gap tadi, dibutuhkan peningkatan kepatuhan, baik kepatuhan sukarela maupun kepatuhan yang dipaksakan, melalui penegakan hukum. Kepatuhan sukarela menyumbang sebagian besar penerimaan pajak. Perubahan kecil yang terjadi pada kepatuhan suakarela memberikan efek yang cukup signifikan. 

Sebaliknya, kepatuhan melalui penegakan hukum dan pengawasan memberikan porsi yang sedikit namun lebih cepat meningkat karena tidak perlu mempengaruhi perilaku kepatuhan Wajib Pajak.

Berdasarkan dua jenis kepatuhan tersebut, diambil strategi jangka pendek dan jangka menengah. Strategi jangka pendek ini diimplementasikan pada 12 hingga 18 bulan. Untuk memberikan efek dalam jangka pendek, strategi yang dipilih adalah peningkatan kepatuhan berdasarkan penegakan hukum. 

Selain penegakan hukum, dilakukan pula ekstensifikasi dengan memanfaatkan data eksternal berupa kepemilikan properti dan kendaraan untuk menjaring lebih banyak Wajib Pajak terdaftar dan pemberian surat teguran bagi WP yang belum melaporkan SPT. Di sisi pemeriksaan, dilakukan peningkatan kualitas audit dengan identifikasi penghasilan yang tidak dilaporkan, pemeriksaan berbasis risiko, dan sistem monitoring pemeriksaan. 

Sedangkan bagi penagihan pajak, dilakukan melalui penambahan juru sita dan pemaksimalan kewenangan blokir rekening.

DJP juga melakukan clustering Wajib Pajak. Beberapa Wajib Pajak besar dipisahkan pengadministrasiannya dengan membentuk KPP Wajib Pajak Besar. 

Pemisahan ini diharapkan dapat memberikan pelayanan yang lebih baik, juga memudahkan pengawasan bagi 27% penyumbang penerimaan pajak. KPP Wajib Pajak Besar ini juga digunakan sebagai tempat piloting kebijakan baru, seperti percepatan prosedur restitusi.

Dari segi pemanfaatan teknologi informasi, dilakukan sinkronisasi penyetoran pajak dari bank pada data DJP yang langsung di-assign ke setiap data Wajib Pajak secara real time. Hal ini tentunya meningkatkan kepercayaan Wajib Pajak pada sistem pembayaran.

Sedangkan untuk jangka menengah, DJP menyusun strategi untuk implementasi selama kurang lebih 3 tahun. Strategi ini harus menyasar pada kelemahan dasar sistem perpajakan, yaitu tata kelola organisasi dan hukum administrasi perpajakan, penataan organsiasi dan staf, pelayanan dan penegakan hukum, pemanfaatan teknologi informasi, dan kebijakan manajemen SDM. 

Reformasi jangka menengah ini bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak secara berkelanjutan, peningkatan kepercayaan Wajib Pajak, dan administrasi perpajakan yang efisien melalui berbagai langkah.

Pertama, dilakukan reorganisasi dengan menggabungkan kantor pemeriksaan dan kantor pelayanan serta pembagian pekerjaan didasarkan pada pembedaan fungsi, bukan lagi jenis pajak.

Kedua, manajemen SDM dilakukan berdasarkan kompetensi dan kinerja, seperti untuk kebijakan remunerasi, penempatan, dan promosi. Pengukuran kinerja dibagi dalam tiga tingkatan, yaitu level stratejik, organisasi dan individu dengan tiga aspek, yaitu administrasi pajak, kepuasan Wajib Pajak, dan kepuasan karyawan.

Ketiga, perbaikan pelayanan dan sarana prasarana. Pada reformasi perpajakan ini mulai dibentuk contact center.

Keempat, melanjutkan clustering Wajib Pajak dengan membentuk KPP Madya dan KPP Pratama.

Kelima, untuk pemeriksaan, dilakukan perluasan tipe audit dan metode yang digunakan. Kantor Pusat menerbitkan panduan atau petunjuk pemeriksaan sektoral agar pemeriksa memiliki kompetensi yang cukup untuk melakukan pemeriksaan. Selain itu, metode tidak langsung mulai diperkenalkan dalam pemeriksaan atas Wajib Pajak yang tidak memiliki pembukuan yang memadai.

Untuk meningkatkan kualitas pemeriksaan, dilakukan pelatihan-pelatihan audit berbantu komputer. Pengawasan dan quality assurance juga diterapkan untuk mencegah adanya penyelewengan atau korupsi.

Keenam, peraturan perpajakan disederhanakan dengan eliminasi sistem yang kurang berdaya guna. Selain itu, percepatan restitusi juga dilakukan dengan adanya Wajib Pajak kriteria tertentu dan Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan tertentu.

Ketujuh, pemanfaatan teknologi informasi dengan jalan sentralisasi pemrosesan dan penyimpanan data, pembentukan data warehouse, penyandingan data pihak ketiga dengan data internal, dan pelayanan berbasis web.

Kedelapan, pembentukan Unit investigasi Internal di Kementerian Keuangan yang merupakan pihak eksternal dari DJP untuk melakukan pengawasan.

Cukup banyak langkah reformasi yang direncanakan dan dilaksanakan. Namun, tidak semua strategi reformasi ini berjalan sesuai keinginan. Beberapa aspek sukses berubah, terutama bagi strategi jangka pendek. Sedangkan pada strategi jangka menengah, banyak pula yang hanya menunjukkan sedikit perkembangan. 

Progres yang lambat terlihat pada amandemen peraturan perpajakan, penyederhanaan ketentuan perpajakan, perbaikan sistem perpajakan, kebijakan manajemen SDM, dan pengukuran kinerja

Lalu, bagaimana hasilnya?

Di atas kertas, dalam kurun waktu 2001 hingga 2006 rasio pajak atas GDP Indonesia meningkat 1,2%. Peningkatan ini lebih disebabkan oleh perbaikan ekonomi Indonesia pascakrisis, termasuk perbaikan daya beli konsumen dan peningkatan harga komoditi. 

Terlepas dari faktor ekonomi, perbaikan administrasi cukup membantu memberikan efek positif pada peningkatan kepatuhan, terutama untuk jenis pajak PPN, namun tidak untuk PPh. Sedangkan untuk perbaikan regulasi tidak terlalu berkontribusi karena amandemen ini masih terganjal di parlemen.

Reformasi Perpajakan Jilid I ini penting untuk memberikan penyederhanaan dan penurunan biaya kepatuhan yang mana hal ini baik bagi peningkatan iklim investasi. Namun, reformasi perpajakan saja tidaklah cukup bila kita bercerita mengenai investasi.

Tercatat beberapa rekomendasi yang menjadi pekerjaan rumah pemerintah kedepannya. Satu yang utama adalah perbaikan regulasi. Selain itu memperkuat institusi DJP, struktur organisasi, penilaian kinerja, pelayanan dan penegakan hukum, kebijakan SDM, pengawasan pemerintah dan pemanfaatan teknologi informasi juga penting. 

Kewenangan DJP harus diperkuat, sistem penyelesaian sengketa pajak harus lebih baik, percepatan restitusi, risk-based audit, pemanfaatan data pihak ketiga, dan sanksi yang lebih adil. Keseluruhan “pe-er” ini ditujukan untuk menyeimbangkan kewenangan DJP dan hak wajib pajak.

Reformasi Perpajakan Jilid II, apa selanjutnya?

Reformasi Perpajakan Jiid I diakhiri dengan catatan prestasi penerimaan pajak yang cukup baik. Penerimaan pajak mencapai 106,7% atau surplus Rp37 triliun dari target Rp535 triliun. Hal ini salah satunya disebabkan oleh kebijakan Sunset Policy berupa penghapusan sanksi bagi WP yang memenuhi persyaratan tertentu. 

Jumlah Wajib Pajak juga mengalami peningkatan pesat. Namun hal ini belum dibarengi dengan sistem yang baik yang mampu mengimbangi peningkatan jumlah Wajib Pajak. Penggunaan e-SPT dan e-filing belum berjalan dengan baik, sehingga masih banyak Wajib Pajak yang melaporkan SPT secara manual. Masa transisi ini cukup meningkatkan beban administrasi kantor pajak.

Penurunan tarif PPh Badan dari 28% menjadi 25% juga membayangi penurunan penerimaan pajak. Di samping itu tax gap terus melebar, karena Wajib Pajak terdaftar semakin banyak namun tidak sampai 40% saja yang aktif. Disinilah awal mula Reformasi Perpajakan Jilid II. Indonesia kembali menggandeng ahli, kali ini dari Bank Dunia.

Kondisi DJP saat itu memang masih banyak yang membutuhkan perbaikan diantaranya integrasi data yang belum baik dan prosedur operasional yang belum lengkap. Untuk itu Reformasi Perpajakan Jilid II hadir dengan perbaikan mutu dan integritas pegawai DJP, perbaikan SOP, dan pengukuran kinerja. Dari segi organisasi ditandai dengan dibentuknya KPP Wajib Pajak Besar Orang Pribadi.

Perbaikan SOP dilakukan dengan pembagian proses bisnis, seperti pelayanan, penyuluhan, pengawasan, pemeriksaan, keberatan dan banding. Setelah dilakukan pembagian proses bisnis, barulah dikembangkan SOP dan dukungan sistem informasinya.

Reformasi Perpajakan Jilid II dilakukan dengan menggunakan balance score card (BSC) untuk membantu perencanaan dan evaluasi. DJP juga melakukan Sensus Pajak Nasional dan berhasil meningkatkan jumlah Wajib Pajak terdaftar secara signifikan. Namun lagi-lagi, banyak diantaranya yang ternyata penghasilannya masih di bawah PTKP sehingga tidak terlalu berkontribusi pada penerimaan negara.

Pada reformasi ini, DJP meningkatkan peran humas dengan mulai menggunakan media sosial sebagai sarana sosialisasi. Disamping itu peningkatan sistem informasi dan penggunaan teknologi informasi terutama pada pelayanan kepada Wajib Pajak semakin ditingkatkan, seperti diperkenalkannya faktur pajak elektronik dan pengembangan Compliance Risk Management (CRM). 

CRM ini digunakan untuk basis pengawasan dan pemeriksaan. Pengembangan sistem juga dilakukan melalui sinkronisasi data NPWP dan Nomor Induk Kependudukan (NIK), dan keberlanjutan pelaporan SPT melalui e-filing.

Reformasi Perpajakan Jilid III, era digital dan transparansi

Pada tahun 2016, pemerintah melalui DJP melaksanakan Program Amnseti Pajak. Pengampunan pajak sebenarnya bukan hal baru dalam sejarah perpajakan Indonesia. Tercatat beberapa kali pemerintah meluncurkan program pengampunan pajak, pertama pada 1964-1965, 1984-1985, Sunset policy di tahun 2018 dan Reinventing Policy pada tahun 2015. 

Sederet panjang pengampunan pajak ini sedikit memberikan dampak pada peningkatan kepatuhan. Namun, tetep saja masih kurang diminati.

Muncullah Program Amnesti Pajak pada tahun 2016. Bedanya, bila dulu pengampunan pajak yang didasarkan pada pengungkapan penghasilan, kali ini pengampunan didasarkan pada harta yang belum dilaporkan. Melalui amnesti pajak juga diharapkan harta-harta tersebut dapat kembali ke Indonesia dan meningkatkan permodalan dalam negeri. 

Amnesti pajak diakhiri dengan deklarasi harta yang cukup besar, mencapai Rp4.884,26 triliun. Namun ternyata nilai repatriasi harta masih jauh dari target, yaitu hanya Rp146,7 triliun. Rendahnya repatriasi harta menunjukkan bahwa iklim investasi Indonesia masih jauh dari kata baik dan menarik.

Selesainya Program Amnesti Pajak menjadi awal Reformasi Perpajakan selanjutnya, yaitu Jilid III. Reformasi kali ini juga dipicu oleh perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional, turunnya penerimaan pajak, menurunnya likuiditas hingga nerca perdagangan Indoensia yang defisit. 

Reformasi Perpajakan Jilid III ini menargetkan sinergi yang baik antarlembaga, kepatuhan yang tinggi, dan rasio pajak terhadap PDB sebesar 15% pada akhir reformasi, yaitu 2024. Reformasi Perpajakan Jilid III memiliki tujuan yang masih sama, yaitu kepatuhan sukarela untuk optimalisasi penerimaan pajak yang didasarkan pada lima pilar, yaitu organisasi; SDM; teknologi informasi dan basis data; proses bisnis; dan peraturan.

Dari segi regulasi, terbitlah Omnibus Law, yaitu UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. UU ini juga mencerminkan perwujudan cita-cita sinergi antarlembaga. UU Cipta Kerja ini terbagi menjadi 11 klaster dan merevisi lebih dari 80 undang-undang. Di tahun berikutnya, UU Cipta Kerja disempurnakan melalui UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.

Beberapa semangat yang dibangun sejak Reformasi Perpajakan Jilid I akhirnya terwujud melalui harmonisasi ini, seperti penggunaan NIK sebagai pengganti NPWP, penghitungan sanksi yang lebih sesuai (menggunakan suku bunga acuan plus uplift factor yang disesuaikan setiap bulan), penurunan sanksi yang timbul dalam proses sengketa pajak. 

Pengaturan lain di bidang PPh adalah penurunan tarif PPh badan dan pemberian batas bawah (PTKP) bagi pelaku UMKM. Sedangkan dari segi PPN, saat ini restitusi tidak semua dilakukan melalui pemeriksaan. DJP memberlakukan batas bawah dan jalur Wajib Pajak kriteria tertentu dan yang memenuhi persyaratan tertentu untuk bisa mendapatkan pengembalian pendahuluan.

Sebelumnya pada tahun 2017, terbitlah Perpu 1 Tahun 2017 mengenai akses informasi keuangan untuk tujuan perpajakan. Perpu yang telah disahkan menjadi UU No.9 Tahun 2017 ini memberikan kewenangan pada otoritas pajak (DJP) untuk mendapatkan akses informasi perbankan Wajib Pajak. Hal ini sejalan pula dengan cita-cita yang sudah ada sejak Reformasi Perpajakan Jilid I.

Dari segi organsiasi, melanjutkan program reformasi sebelumnya, saat ini DJP memiliki 4 KPP Wajib Pajak Besar, 9 KPP Wajib Pajak Khusus (bagi PMA, perusahaan yang terdaftar di bursa, badan dan orang asing, dan Wajib Pajak migas), dan 38 KPP Madya. Hal ini menunjukkan keseriusan DJP dalam melakukan clustering Wajib Pajak untuk meningkatkan pelayanan dan pengawasan.

Dari segi SDM, DJP juga terus berbenah. Saat ini remunerasi, promosi dan mutasi didasarkan pada kinerja dan penilaian individu, dengan pola yang jelas, bukan hanya capaian target keseluruhan kantor. Pengawasan dan kepatuhan internal juga semakin diperkuat. Bila dulu unit investigasi hanya ada pada lingkup eksternal DJP, saat ini Unit Kepatuhan Internal sudah ada di tiap kantor.

Dari segi pengawasan dan penegakan hukum, CRM digunakan dan mulai diimplementasikan untuk menaksir risiko Wajib Pajak. Dengan dimilikinya akses data perbankan dan masukan data dari pihak ketiga lainnya, DJP memiliki basis data yang cukup kuat untuk dapat melakukan kontrol atas self assessment yang dilakukan Wajib Pajak.

Dari sisi pelayanan, kemudahan pelaporan diwujudkan dengan adanya e-Bupot dan penggunaan SPT unifikasi. Wajib Pajak tidak lagi melaporkan SPT secara terpisah per jenis pajak, dan hampir semua pelaporan menggunakan jalur elektronik. Hal ini terlihat pada Tempat Pelayanan Terpadu (TPT) di sebagian besar KPP yang tidak seramai dulu. Saat ini TPT lebih beralih fungsi menjadi tempat bagi Wajib Pajak yang ingin berkonsultasi secara langsung.

Lalu bagaimana arah reformasi ke depan?

Reformasi Perpajakan Jilid III direncanakan selesai tahun 2024 bersamaan dengan selesainya kabinet saat ini. Perkembangan ekonomi dan globalisasi menuntut institusi perpajakan untuk terus berbenah dan memperbaiki diri. Perpajakan akan mengikuti perekonomian. 

Berekembangnya ekonomi digital menjadi tantangan supaya perpajakan, baik regulasi maupun administrasi dapat mengejar dan menyesuaikan diri dalam waktu yang tidak terlalu lama, sehingga tidak jauh tertinggal. Dari Reformasi Perpajakan Jilid I, II, dan III, terdapat beberapa hal yang sangat dibutuhkan, yaitu dukungan politis, pimpinan yang tepat yang dapat menjadi motor reformasi, dan bantuan serta sinergi dari pihak eksternal.

Referensi:

Brondolo, J., Silvani, C., le Borgne, E., & Bosch, F. (2008). Tax Administration Reform and Fiscal Adjustment: The Case of Indonesia (2001-07); IMF Working Paper 08/129; May 1, 2008.

Direktorat Jenderal Pajak. (2021). Cerita di Balik Reformasi Perpajakan : Reformasi adalah Keniscayaan, Perubahan adalah Kebutuhan. Jakarta

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun