Progres yang lambat terlihat pada amandemen peraturan perpajakan, penyederhanaan ketentuan perpajakan, perbaikan sistem perpajakan, kebijakan manajemen SDM, dan pengukuran kinerja
Lalu, bagaimana hasilnya?
Di atas kertas, dalam kurun waktu 2001 hingga 2006 rasio pajak atas GDP Indonesia meningkat 1,2%. Peningkatan ini lebih disebabkan oleh perbaikan ekonomi Indonesia pascakrisis, termasuk perbaikan daya beli konsumen dan peningkatan harga komoditi.
Terlepas dari faktor ekonomi, perbaikan administrasi cukup membantu memberikan efek positif pada peningkatan kepatuhan, terutama untuk jenis pajak PPN, namun tidak untuk PPh. Sedangkan untuk perbaikan regulasi tidak terlalu berkontribusi karena amandemen ini masih terganjal di parlemen.
Reformasi Perpajakan Jilid I ini penting untuk memberikan penyederhanaan dan penurunan biaya kepatuhan yang mana hal ini baik bagi peningkatan iklim investasi. Namun, reformasi perpajakan saja tidaklah cukup bila kita bercerita mengenai investasi.
Tercatat beberapa rekomendasi yang menjadi pekerjaan rumah pemerintah kedepannya. Satu yang utama adalah perbaikan regulasi. Selain itu memperkuat institusi DJP, struktur organisasi, penilaian kinerja, pelayanan dan penegakan hukum, kebijakan SDM, pengawasan pemerintah dan pemanfaatan teknologi informasi juga penting.
Kewenangan DJP harus diperkuat, sistem penyelesaian sengketa pajak harus lebih baik, percepatan restitusi, risk-based audit, pemanfaatan data pihak ketiga, dan sanksi yang lebih adil. Keseluruhan “pe-er” ini ditujukan untuk menyeimbangkan kewenangan DJP dan hak wajib pajak.
Reformasi Perpajakan Jilid II, apa selanjutnya?
Reformasi Perpajakan Jiid I diakhiri dengan catatan prestasi penerimaan pajak yang cukup baik. Penerimaan pajak mencapai 106,7% atau surplus Rp37 triliun dari target Rp535 triliun. Hal ini salah satunya disebabkan oleh kebijakan Sunset Policy berupa penghapusan sanksi bagi WP yang memenuhi persyaratan tertentu.
Jumlah Wajib Pajak juga mengalami peningkatan pesat. Namun hal ini belum dibarengi dengan sistem yang baik yang mampu mengimbangi peningkatan jumlah Wajib Pajak. Penggunaan e-SPT dan e-filing belum berjalan dengan baik, sehingga masih banyak Wajib Pajak yang melaporkan SPT secara manual. Masa transisi ini cukup meningkatkan beban administrasi kantor pajak.
Penurunan tarif PPh Badan dari 28% menjadi 25% juga membayangi penurunan penerimaan pajak. Di samping itu tax gap terus melebar, karena Wajib Pajak terdaftar semakin banyak namun tidak sampai 40% saja yang aktif. Disinilah awal mula Reformasi Perpajakan Jilid II. Indonesia kembali menggandeng ahli, kali ini dari Bank Dunia.