Mohon tunggu...
Humaniora

ISIS, Pemberontak,dan Teroris dalam Hukum Internasional

21 November 2015   10:55 Diperbarui: 21 November 2015   12:05 7812
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Mengenai ketentuan ini terdapat dalam Pasal 8 keempat konvensi, yang berbunyi “konvensi ini harus dilaksanakan dengan kerja sama serta di bawah pengawasan dari negara-negara pelindung yang berkewajiban melindungi kepentingan-kepentingan pihakpihak dalam sengketa. Untuk maksud ini, negara-negara pelindung boleh mengangkat di samping diplomatik dan konsuler mereka, utusan-utusan yang dipilih dari warga negara mereka atau warga negara-warga negara netral lainnya. Utusan tersebut harus mendapat persetujuan negara dengan siapa mereka akan melakukan kewajiban mereka”.

  1. Pengawasan dan Bantuan: Palang Merah Internasional dan Organisasi Kemanusiaan lainnya

Ketentuan mengenai hal ini terdapat dalam pasal 9 yang menyatakan “ketentuan-ketentuan konvensi ini bukan merupakan penghalang bagi kegiatan-kegiatan perikemanusiaan, yang mungkin diusahakan oleh komite internasional palang merah atau tiap organisasi humaniter lainnya yang tidak berpihak untuk melindungi dan menolong yang luka dan sakit, anggota dinas kesehatan dan rohaniwan-rohaniwan selama kegiatan-kegiatan itu mendapat persetujuan pihak-pihak dalam sengketa bersangkutan”. Pasal ini membuka kemungkinan untuk kegiatan kemanusiaan yang dilakukan, baik oleh palang merah atau organisasi humaniter.

  1. Sanksi Pelanggaran Konvensi

Ketentuan - ketentuan mengenai pelanggaran terhadap konvensi ini, terdapat dalam Pasal 49-50 Konvensi I, Pasal 50-51 Konvensi II, Pasal 129-130 Konvensi III dan Pasal 146-147 Konvensi IV. Pasal 49 Konvensi I menyatakan: “ Pihak peserta agung berjanji untuk menetapkan undang-undang yang diperlukan untuk memberi sanksi pidana efektif terhadap orang-orang yang melakukan atau memerintahkan untuk melakukan salah satu diantara pelanggaran berat atas konvensi ini seperti di dalam pasal berikut. Tiap Peserta Agung berkewajiban untuk mencari orang-orang yang disangka telah melakukan atau memerintahkan untuk melakukan pelanggaran-pelanggaran berat yang dimaksudkan, dan harus mengadili orang-orang tersebut dengan tidak memandang kebangsaannya. Pihak peserta agung, dapat juga sesuai dengan ketentuan perundang-undangannya sendiri, menyerahkan kepada pihak peserta agung lain yang berkepentingan orang-orang tersebut untuk diadili. Tiap peserta agung harus mengambil tindakan-tindakan yang perlu untuk memberantas pelanggaran berat yang ditentukan dalam pasal, berikut segala perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan-ketentuan konvensi ini.

Dalam segala keadaan, orang yang dituduh harus mendapat jaminan-jaminan peradilan dan pembelaan yang wajar, tidak boleh melanggar dari jaminan-jaminan yang diberikan oleh konvensi jenewa mengenai perlakuan tawanan perang tertanggal 12 Agustus 1949 dalam Pasal 105 dan seterusnya. Ketentuan mengenai sanksi pidana terhadap pelanggaran-pelanggaran konvensi dan kewajiban-kewajiban yang ditetapkan bagi pihak penandatangan seperti terdapat Pasal 49 ini, harus dilihat dalam hubungannya dengan ketentuan dalam Pasal 1, bahwa pihak penandatangan tidak saja harus menaati ketentuan-ketentuan konvensi, tetapi juga “harus menjamin ditaatinya ketentuan-ketentuan konvensi”.

Namun, sebagaimana telah sedikit disinggung di awal bagian ini bahwa terdapat suatu kecenderungan bahwa negara-negara sengketa enggan memberlakukan konvensi ini dengan mengajukan berbagai alasan, diantaranya karena kekhawatiran pemberlakuan Protokol II akan memberikan status belligerensi kepada pemberontak dan terdapat berbagai aturan yang terkadang menghalangi dalam mewujudkan stabilitas nasional. Tidak itu saja menurut Theodor Meron negara-negara juga enggan untuk memberlakukan konvensi Jenewa, karena dengan penafsirannya yang meluas pada berbagai macam jenis konflik internal, membuat negara-negara menolak menerapkannya seperti yang terjadi dewasa ini (Haryomataram, 1988: 20).

  1. ISIS dalam Sudut Pandang

ISIS merpuakan kelompok ekstremis yang mengikuti ideologi garis keras Al-Qaidah dan dinilai oleh berbagai kalangan menyimpang dari prinsip-prinsip jihad sebenarnya. Seperti halnya al-Qaeda dan banyak kelompok jihad modern lainnya, ISIS muncul dari ideologi Ikhwanul Muslimin, kelompok Islam pertama di dunia pada tahun 1920-an di Mesir. ISIS mengikuti ekstrim anti-Barat yang menurutnya sebagai penafsiran Islam, mempromosikan kekerasan agama dan menganggap mereka yang tidak setuju dengan tafsirannya sebagai kafir dan murtad. Secara bersamaan, ISIS (sekarang IS) bertujuan untuk mendirikan negara Islam Salafi yang berorientasi di Irak, Suriah dan bagian lain dari Syam (www.wikipedia.com).

Jika kita melihat lebih mendalam, gerakan ISIS merupakan gerakan Islam modern yang mengusung nostalgia sejarah masa awal Islam, menolak "inovasi" dalam agama yang mereka percaya telah "korup" dari semangat aslinya. Kelompok ini mengutuk kekhalifahan terakhir dan kekaisaran Ottoman karena menyimpang dari apa yang mereka sebut sebagai Islam murni dan karenanya telah berusaha untuk membangun kekhalifahan sendiri. Namun, ada juga tokoh Sunni seperti Zaid Hamid, bahkan kelompok salafi seperti Adnan al-Aroor dan Abu Basir al-Tartusi, yang mengatakan bahwa ISIS dan kelompok teroris yang terkait tidak mempresentasikan islam sunni sama sekali.

Dari berbagai catatan sejarah, ISIS terbentuk dari gejolak dalam negeri di Irak dan Suriah. Berawal pada tanggal 18 Maret 2003, ketika Pasukan Multinasional pimpinan Amerika Serikat menyerang Irak dengan tuduhan membuat senjata pemusnah masal (meski akhirnya tidak terbukti). Saddam Hussein dengan mudah dikalahkan Tentara Koalisi Internasional pimpinan AS pada saat itu, namun gerakan rakyat Irak yang terhimpun dalam beberapa kelompok gerilyawan memilih bertahan. Mereka bahkan melakukan perang gerilya untuk mempertahankan negerinya dari invasi pasukan asing.

Pada tanggal 15 Agustus 2005, kelompok pejuang mempersatukan diri dan membentuk Majelis Syura Mujahidin. Berawal dari Majelis Syura Mujahidin inilah akhirnya dideklarasikan Negara Islam Irak pada tanggal 13 Oktober 2006, dan mengangkat Abu Umar al-Baghdady sebagai pemimpinnya. (simomot.com).

Kelompok-kelompok ini mendapat bantuan dari para pejuang di luar negeri, termasuk dari Negara Islam Irak. Kelompok pejuang rakyat Suriah akhirnya mampu membebaskan beberapa kota termasuk wilayah perbatasan dengan Irak, sehingga menyatulah beberapa kota di Irak dan Suriah di bawah kendali Negara Islam Irak. Fakta inilah yang mengilhami pendeklarasian Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) pada 9 April 2013 dengan pemimpin tetap Abu Bakar Al-Baghdady. Hingga Maret 2014, wilayah yang dikuasai ISIS meliputi 400.000 km2 di dua negara tersebut, atau lebih luas dari beberapa negara Arab seperti Qatar, Emirat Arab, Bahrain, Yaman, dan Lebanon.

 

  1. Teroris

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun