Mohon tunggu...
Humaniora

ISIS, Pemberontak,dan Teroris dalam Hukum Internasional

21 November 2015   10:55 Diperbarui: 21 November 2015   12:05 7812
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sengeketa bersenjata non-internasional sebelum berlakunya konvensi Jenewa 1949 pada prinsipnya adalah tidak termasuk pengaturan hukum internasional dan masuk pada pengaturan hukum nasional. Namun kemungkinan terjadinya perang itu menjadi sengketa internasional adalah ketika yang mengakui kelompok tersebut adalah negara lain atau negara ketiga sebagai belligerent (Kusumaatmadja, 1986: 22). Akan tetapi karena pengakuan sebagai belligerensi pada hakikatnya adalah kemauan pihak negara sah yang ditentang sehingga hukum perang internasional dan pertikaian senjata non-internasional menjadi tidak menentu, terlebih pengakuan tersebut akan membuat pihak pemberontak menjadi semakin kuat posisinya, maka wajar negara yang ditentang selalu menghindari pengakuan ini. Oleh karenanya semenjak diberlakukanya konvensi Jenewa 1949 hukum perang non-internasional tidak lagi bergantung pada pengakuan negara yang ditentang dan diharuskan oleh pasal 3 KJ 1949 (Istanto, 1992: 47-48).

Latar belakang pembentukan protokol tambahan II adalah karena setelah perang dunia II konflik-konflik yang terjadi kebanyakan adalah konflik yang bersifat non-internasional. Konflik bersenjata non-internasional diatur dalam Pasal 3 ketentuan yang bersamaan (common articles) konvensi Jenewa 1949. Namun, karena dirasakan belum cukup memadai untuk menyelesaikan masalah-masalah kemanusiaan yang serius akibat terjadinya konflik bersenjata non-internasional, maka diperlukan peraturan yang memadai untuk mengatasi hal ini.

Ketentuan-ketentuan dalam Protokol Tambahan II antara lain menentukan:

  1. Mengatur: Jaminan-jaminan fundamental bagi semua orang, apakah mereka terlibat ataukah tidak terlibat lagi dalam suatu pertempuran;
  2. Menentukan: Hak-hak bagi orang-orang yang kebebasannya dibatasi dalam menerima peradilan yang baik;
  3. Memberikan: Perlindungan penduduk sipil dan obyek-obyek perlindungan;
  4. Melarang: Dilakukannya tindakan starvasi secara disengaja.

Protokol tambahan II juga menentukan bahwa orang-orang yang luka harus dlindungi dan dirawat, para personil kesehatan beserta alat-alat transportasi mereka harus dilindungi dan dihormati. Lambang-lambang palang merah dan bulan sabit merah harus dihormati, dan penggunaannya terbatas hanya kepada mereka yang secara resmi berha memakainya. Prinsip-prinsip umum yang terdapat dalam pasal 3 common articles kembali ditegaskan dalam protokol tambahan II. Namun demikian, kendati terdapat penegasanpenegasan, protokol tambahan II ini juga tidak membatasi hak-hak negara untuk menegakkan hukum dan ketertiban berdasarkan peraturan mereka masing-masing.

Orang-orang yang tidak mengambil bagian aktif dalam sengketa itu, termasuk anggota-anggota angkatan perang yang telah meletakkan senjatasenjata mereka serta mereka yang tidak lagi turut serta (hors de combat) karena sakit, luka-luka, penawanan atau sebab lain apapun dalam keadaan bagaimanapun harus diperlakukan dengan perikemanusiaan, tanpa perbedaan merugikan apapun juga yang didasarkan atas ras, warna kulit, agama atau kepercayaan, kelamin, keturunan atau kekayaan, atau setiap kriteria lainnya serupa itu.

Untuk maksud ini, maka tindakan-tindakan berikut dilarang dan akan tetap dilarang untuk dilakukan terhadap orang-orang di atas pada waktu dan tempat apapun juga, tindakan tersebut adalah:

  1. Tindakan kekerasan atas jiwa dan raga, terutama setiap macam pembunuhan, penyekapan, perlakuan kejam dan penganiayaan;
  2. Penyanderaan;
  3. Perkosaan atas kehormatan pribadi, terutama perlakuan yang menghina dan merendahkan martabat;
  4. Menghukum dan menjalankan hukuman mati tanpa didahului keputusan pengadilan yang dibentuk secara teratur, memberikan segenap jaminan peradilan yang diakui sebagai keharusan oleh bangsa-bangsa beradab (Wagiman, 2005: 17-18).
  1. Pihak yang harus dilindungi

Istilah ‘orang yang dilindungi’ menunjuk pada orang-orang peserta dalam perang atau sengketa bersenjata yang telah menjadi korban perang. Dalam arti luas meliputi juga orang-orang sipil yang jatuh ke tangan musuh sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Konvensi IV. Selain itu, mengandung pengertian pula orang-orang yang karena pekerjaannya harus dihormati dan tidak boleh diserang, yaitu para anggota dinas kesehatan, petugas rumah sakit, dan para rohaniwan.

Pasal 13 konvensi I dan II serta Pasal IV Part. A konvensi III menetapkan bahwa orang-orang yang dilindungi dalam ketiga konvensi tersebut adalah:

  1. Anggota angkatan perang dari pihak dalam sengketa, begitu pula anggota milisi atau barisan sukarela, yang merupakan bagian dari angkatan perang tersebut;
  2. Anggota milisi serta anggota dari barisan sukarela lainnya, termasuk gerakan perlawanan ter-organisir, yang tergolong pada suatu pihak dalam sengketa serta beroperasi di dalam atau di luar wilayah mereka, sekalipun wilayah itu diduduki;
  3. Anggota-anggota angkatan perang tetap yang tunduk pada suatu pemerintah atau kekuasaan yang tidak diakui oleh negara penahan;
  4. Orang - orang yang menyertai angkatan perang yang bukan menjadi anggota dari angkatan perang itu, seperti anggota sipil, awak pesawat terbang militer, wartawan perang, pemasok makanan, anggota-anggota kesatuan kerja atau dinas yang bertanggung jawab atas kesejahteraan angkatan perang, dengan ketentuan mereka telah mendapat pengesahan dari angkatan perang yang mereka sertai;
  5. Anggota awak kapal pelayaran niaga termasuk nakhoda pemandu laut, taruna dan awak-awak pesawat terbang sipil dari pihak dalam sengketa tidak berhak mendapatkan perlakuan lebih baik menurut ketentuan hukum internasional.
  6. Penduduk wilayah yang belum diduduki tatkala musuh mendekat, atas kemauan mereka sendiri dan dengan serentak mengangkat senjata untuk melawan pasukan yang menyerbu, tanpa mempunyai waktu untuk membentuk kesatuan-kesatuan bersenjata teratur, dengan ketentuan mereka memikul senjata secara terang-terangan dan menghormati hukum-hukum dan kebiasaan-kebiasaan perang.
  1. Masa berlakunya perlindungan

Ketentuan mengenai lamanya perlindungan diberikan, misalnya dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 5 dari Konvensi III mengenai perlakuan terhadap tawanan perang, yang berbunyi,

Konvensi ini akan berlaku bagi orang-orang yang disebut dalam pasal 4 sejak mereka jatuh dalam kekuasaan musuh hingga saat pembebasan dan pemulanga mereka terakhir. Bilamana timbul keraguraguan apakah orang-orang yang telah melakukan perbuatan yang bersifat perbuatan permusuhan dan telah jatuh dalam tangan musuh termasuk dalam golongan-golongan yang disebut dalam Pasal 4, maka orang-orang demikian akan memperoleh perlindungan dari Konvensi ini, hingga saat kedudukan mereka ditentukan oleh pengadilan yang kompeten”.

Dari ketentuan yang disebutkan di atas, dapat disimpulkan bahwa saat jatuhnya orang-orang yang dilindungi oleh konvensi ke tangan musuh saat itulah mulai berlakunya pemberian perlindungan kepada orang-orang sebagaimana yang ditentukan dalam konvensi jenewa 1949.

  1. Pengawasan
  1. Pengawasan dan Perlindungan: Negara Pelindung

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun