Mohon tunggu...
Humaniora

ISIS, Pemberontak,dan Teroris dalam Hukum Internasional

21 November 2015   10:55 Diperbarui: 21 November 2015   12:05 7812
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pihak yang berhak menentukan status pemberontak adalah negara tempat pemberontakan itu sendiri atau oleh negara lain namun dengan ketentuan netralitas negara ketiga tersebut. Jika pengakuan muncul dari negara yang bersengketa maka konsekwensinya negara yang bersangkutan harus memperlakukan para pemberontak seperti tawanan perang bukan sebagai penjahat, serta setiap pihak baik pemberontak maupun pemerintah bertanggung jawab atas apa yang dilakukan pemberontak terhadap warga asing yang berada dalam wilayah sengketa.

Pengakuan terhadap pemberontak ini pada dasarnya dilandasi atas dasar kemanusiaan semata, agar para pemberontak tidak diperlakukan sebagai penjahat biasa, namun meskipun pengakuan telah diberikan, pemerintah tetap diperbolehkan untuk menumpas pemberontakan tersebut. Karena pihak pemberontak telah menerima pengakuan sebagai pihak berperang maka peperangan yang terjadi bukan lagi di anggap perang saudara, konsekwensi dari itu ialah hukum yang di pakai adalah hukum perang yang telah diakui dalam penyelenggaraan perang non-internasional yakni konvensi Jenewa 1949 dalam pasal 3.

Sedangkan dalam permasalahan terror atau terorisme menurut Sasmini tidak dapat menjadi pihak dalam konflik jika merujuk pada konvensi ini. Hal ini terjadi karena konsep dalam konvensi Jenewa menyatakan bahwa pihak dalam sengketa memiliki tingkat minimum organisasi yang disyaratkan agar mampu melaksanakan kewajiban internasional. Teroris dalam melakukan operasinya sering tidak mematuhi kewajiban internasional sehingga sulit untuk mengklasifikasikan teroris sebagai pihak dalam pertikaian (Sasmini, 2010).

 

  1. Tahapan Status Pemberontak

Tindakan untuk menentang sebuah pemerintahan yang sah dengan tujuan mendirikan kekuatan sendiri atau bangsa terdapat dua tahapan dalam hukum internasional, tahap pertama adalah tahap pemberontakan atau disebut insurgensi dan kedua adalah tahap lanjutan atau disebut belligerensi. Tahapan yang kedua ini menunjukan kematangan organisasi serta gerakan yang semakin masif dan konsisten sehingga mirip dengan sebuah sistem pemerintahan.

Pada prinsipnya insurgensi merupakan kualifikasi pemberontakan dalam suatu negara namun secara fakta belum mencapai tingkat keteraturan sebagai organisasi yang terpadu dalam melakukan perlawanan. Jadi kedudukan pemberontak belum dapat diakui sebagai pribadi internasional yang menyandang hak dan kewajiban menurut hukum internasional.

Dalam kualifikasinya sebagai insurgen, pemberontak atau gerakan separatis secara hukum internasional masih dilihat sebagai gerakan yang bertujuan mencapai keberhasilan melalui penggunaan senjata. Jadi kualifikasi insurgensi belum dapat disebut sebagai perang saudara (civil war) dalam hukum internasional. Pada wilayah dimana terjadi pemberontakan, pemerintah masih memiliki semua hak dan kewajiban sebagai penguasa yang sah. Dalam hubungan ini maka sesuai dengan resolusi majelis umum PBB Nomor 2131 (XX) yang dikeluarkan tahun 1965, maka setiap upaya negara asing membantu kaum pemberontak merupakan tindakan intervensi, dan karenanya merupakan pelanggaran hukum internasional (Samekto, 2003).

Apabila pemberontakan insurgensi berkembang meliputi wilayah yang semakin luas dan menunjukkan kecenderungan semakin teratur pengorganisasiannya dan telah menduduki beberapa wilayah negara secara efektif, maka hal ini menunjukkan pemberontak telah berkuasa secara de facto atas beberapa wilayah . Dalam tahap ini, menurut hukum internasional, keadaan pemberontakan telah mencapai tahap belligerensi.

Gerakan separatis atau pemberontakan berdasarkan hukum humaniter adalah suatu gerakan perlawanan bersenjata (armed opposition group) yang berperang melawan negara dengan maksud menjadi negara yang merdeka, setara dan sederajat dengan negara lain. Untuk dapat dinyatakan sebagai kelompok yang didalamnya berlaku hukum kebiasaan berperang di darat, maka konvensi Den Haag ke-IV tahun 1907[5] dalam lampiranya menyatakan bahwa sebuah kelompok harus memenuhi empat syarat tertentu (sering disebut sebagai persyaratan klasik), yakni; (1) Memiliki pemimpin yang jelas dan bertanggung jawab terhadap anak buahnya; (2) Memiliki uniform (seragam) yang dapat diketahui dari kejauhan; (3) Membawa senjata secara terbuka; dan (4) Mematuhi hukum kebiasaan berperang (Permanasari, 2007: 786).

Sedangkan Adolf memberikan persyaratan yang sedikit berbeda terkait dengan persyaratan kelompok gerakan bersenjata ini, yakni: (1) Pemberontakan telah terorganisir dalam satu kekuasaan pemimpin yang teratur serta bertanggungjawab atas tindakan bawahannya. (2) Pemberontak memiliki tanda pengenal atau uniform yang jelas serta menunjukan identitasnya. (3) Pemberontak secara de facto telah menguasai secara efektif atas beberapa wilayah. (4) Para pemberontak mendapatkan dukungan dari rakyat diwilayah yang didudukinya (Adolf, 1991: 125-126) Menurut Adji terdapat satu tambahan lagi yang harus dipenuhi oleh kaum belligerensi adalah keharusan mereka menaati hukum dan kebiasaan perang seperti melindungi penduduk sipil dan membedakan diri dari penduduk sipil (Samekto; 2003).

Secara umum dari beberapa pandangan diatas inti gagasannya adalah adanya organisasi yang matang dan gerakan yang masif sehingga bisa disebut sebagai sebuah gerakan yang terstrukur. Apabila tahap pemberontakan di suatu negara telah mencapai tahap belligerensi, maka dimungkinkan adanya pengakuan negara lain yang mengakui kedudukan pemberontak tersebut. Tetapi apabila suatu negara memberikan pengakuan terhadap pemberontak sebagai belligeren, padahal sebenarnya tidak memenuhi persyaratan tersebut, maka pengakuan negara asing tersebut dapat dianggap sebagai campur tangan terhadap suatu negara yang sedang menumpas pemberontakan di dalam wilayahnya, dan karenanya merupakan pelanggaran hukum internasional.

  1. Ketentuan Hukum Perang
  1. Hukum yang harus dipatuhi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun