Pendahuluan : Paradoks Globalisasi
Globalisasi merupakan fenomena penting yang setiap orang, bangsa manapun, dan negara manapun tidak bisa menghindar. Globalisasi menjadi penting karena dalam faktanya globalisasi memunculkan persaingan dimana ada yang menang dan ada yang kalah. Tak sedikit pula negara yang tidak siap menghadapi globalisasi. Disinilah titik paradoksnya, dimana selama ini globalisasi di wacanakan akan membawa kepada kesejahteraan dan kedamaian dunia justru memunculkan ketimpangan dan penjajahan model baru.
Kehadiran globalisasi –terutama globalisasi ekonomi- telah menggiring hampir semua elemen kehidupan dan seluruh pranatanya untuk masuk kedalamnya. Acuan dalam perkembangan institusi, bidang sosial dan ekonomi nasional adalah arah proses globalisasi itu sendiri. Dalam kerangka tersebut, maka kebijakan ekonomi atau strategi pembangunan nasional yang tidak sejalan dengan globalisasi dianggap tidak relevan karena proses global saat ini tidak bisa ditolak siapapun.
Sampai saat ini para ilmuan belum sepakat tentang makna dari globalisasi. Akan tetapi ada lima kategori besar definisi globalisasi. Pertama, globalisasi di pandang sebagai internasionalisasi. Kedua, globalisasi sebagai liberalisasi. Artinya globalisasi akan membuat integrasi ekonomi internasional melalui sebuah formasi sosial global baru yaitu free trade.Hal tersebut didasarkan asumsi bahwa sistem perdagangan yang terbuka lebih efisien dibanding dengan sistem proteksionis. Ketiga, globalisasi adalah universialisasi. Artinya globalisasi adalah proses menyebarkanya bermacam-macam barang dan ilmu kepada masyarakat seluruh dunia. Keempat, gloalisasi adalah westernisasi atau modernisasi. Terakhir, globalisasi di pandang sebagai deteritorialisasi atau superteritorialisasi.[1]
Jika ditelusuri lebih jauh, globalisasi hadir pada awalnya akibat dari perkembangan teknologi informasi, yang akan mengintegrasikan seluruh sistem. Sedangkan kita tahu bahwa perkembangan teknologi adalah hasil dari berkembangnya pengetahuan. Tak bisa dipungkiri wacana globalisasi membawa nilai tertentu dan kita tahu bahwa globalisasi sejalan dengn kapitalisme global. Kemunculan wacana globalisasi tak semata-mata hanya sekadar meluasnya interaksi setiap negara akan tetapi globalisasi muncul bersama dengan neoliberalisme.
Agenda dan wacana globaliasi justru memunculkan pertanyaan yang perlu di jawab. Pertama, Apakah globalisasi menguntungkan dan sebagai satu-satunya jalan menuju kesejahteraan dunia?. Kedua, jika globalisasi menguntungkan, siapakah yang di untungkan?. Ketiga, Bagaimana analisa politik dari globaliasasi dan siapakah aktor-aktor yang berperan? Terakhir, Bagaimana globalisasi mempengaruhi Indonesia?. Pada tulisan ini, penulis menggunakan prespektif strukturalis untuk menjelaskan globalisasi dan menjawab pertanyaan tersebut. Selain itu penulis menitik beratkan pada pembahasan politik di balik wacana globalisasi karena selama ini kajian yang berkembang kebanyakan lebih menitikberatkan pada bidang ekonomi.
Prespektif strukturalis tidak melihat individu sebagai suatu aktor yang mempengaruhi. Justru perilaku individu dipengaruhi oleh keberadaan struktur atau fenomena tertentu. Individu dan masyarakat hanya lah bagian dari struktur. Diluar itu masih terdapat struktur yang mempengaruhi individu maupun masyarakat. Fenomena sosial hanya dapat di mengerti dengan menganalisis keterkaitanya dengan struktur lain.[2] Strukturalisme pada mula muncul sebagai sebuah gerakan yang berasal dari karya filusuf linguistik Ferdinand De Saussre. Saussre memandang bahwa bahasa dipahami sebagai sebuah sistem: dengan kata lain, hubungan antarkata itu terstruktur. Pandangan Saussre ini mulai di adopsi oleh peneliti dan penulis dibidang lain, salah satunya adalah ilmu politik. Ilmuan politik yang paling berpengaruh dalam gerakan strukturalis salah satunya adalah Karl Marx.[3]
Dalam prespektif strukturalis, realistas sosial diatur oleh interaksi kompleks antara struktur ekonomi, politik dan ideologi yang mempunya pengaruh dan otonomi satu sama lain.[4] Menurut Althusser individu betindak sesuai dengan struktur yang tidak bisa mereka lihat dan mereka tidak sadar. Oleh karena itu dalam membahas globalisasi kita tidak bisa melepaskan struktur yang bekerja dibalik wacana dan agenda globalisasi. Menganalisis menggunakan prespektif strukturalis adalah menjelaskan fenomena atau realitas sosial dengan meneliti perkembangan dan interaksi struktur.
Sejarah dari munculnya fenomena globalisasi perlu dibahas terlebih dahulu untuk mengetahui latar belakang dari muculnya globalisasi. Selain itu dengan mengetahui sejarah munculnya globalisasi kita juga akan mengatahui struktur yang bekerja dibalik globalisasi yatu struktur politik dan ideologi.
Globalisasi dalam ranah ekonomi muncul dengan indikasi adanya perdagangan internasional. Munculnya perusahaan multinasioanl (MNC) menjadi indikasi awal. Selain itu kemunculan organisasi ekonomi seperti Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) pada tahun 1995 juga menjadi tanda bahwa globalisasi muncul. Kehadiran WTO sendiri merupakan bibit dari tersebarnya wacana perdagangan bebas(Globalisasi ekonomi). Dari segi politik globalisasi mulai tumbuh pesat setelah tumbangnya Uni Soviet. Bahkan Fukuyama mengungkapkan runtuhnya Uni Soviet adalah akhir dari pertarungan ideologi dan demokrasi liberal ini menjadi akhir dari evolusi ideologi umat manusia. Tidak bisa dipungkiri bahwa dari segi politik, berakhirnya perang dingin dengan runtuhnya Uni Soviet adalah awal dari menghegemoninya ideologi neoliberalisme yang tidak bisa dilepaskan dengan globalisasi.
Kemajuan teknologi juga tidak bisa dilepaskan dari globalisasi. Kemajuan tekologi dalam sistem produksi, komunikasi, dan media lain sangat mempengaruhi wacana globalsasi. Teknologi membuat manusia tak memiliki batas teritorial untuk ia akses. Jika kita telusuri lagi dari segi ekonomi, negara penggagas WTO – Amerika, Kanada,Jepang, dan Uni Eropa- adalah negara dengan sistem demokrasi liberal. Selain itu 4 aktor penggagas WTO tersebut juga memiliki MNC yang bercokol di beberpa negara, terutama negara berkembang. Selain itu, menurut penulis ,adanya wacana perdangan bebas ini adalah cara negara yang sudah mapan secara ekonomi dapat menguasai negara yang masih rentan secara ekonomi. Negara yang belum bisa berproduksi secara mandiri hanya akan menjadi pasar untuk berjualan oleh negara yang secara ekonomi sudah mapan.
Globalisasi dan Neo Liberalisme
Sejarah awal kemunculan globalisasi secara politik di dukung dengan runtuhnya Uni Soviet menjadi titik penting pembahasan. Hal tersebut menandakan bahwa ada kemenangan ideologi liberal. Globalisasi dan neoliberalisme nampaknya tidak bisa dipisahkan. Neoliberalisme berbeda dengan liberalisme konservatif ala Adam Smith. Menurut neoliberalisme mekanime pasar tidak hanya dipakai untuk mengatur ekonomi negara tetapi juga ekonomi global. Menurut Hayek , pasar bebas tidak selalu beroperasi sempurna, akan tetapi keuntunganya lebih besar dari pada kerugianya.[5] Sejak kemunculanya fenomena dan wacana globalisasi tidak pernah netral. Ada ideologi yang dibawa oleh wacana globalisasi ini. Kemenangan ideologi liberal ini telah menjadikan inspirasi bagi pengambil kebijakan di negara dunia ketiga dengan pandangan neoliberal.
Parahnya banyak pengambil kebijakan yang latah dan menerima saja ide dan pandangan dari ideologi yang sedang disebarkan lewat istilah globalisasi ini (baca:neoliberalisme). Padahal globalisasi yang telah menciptakan pasar bebas dan persaingan bebeas telah memunculkan persoalan yang serius. Para penentang globalisasi –terutama globalisasi ekonomi- dari World Sosial Forum(WSF) menyebutkan bahwa globalisasi ekonomi bertanggung jawab atas kemiskinan di negara dunia ketiga, kerusakan lingkungan di berbagai belahan dunia, dan kehancuran modal sosial di berbagai negara.
Munculnya perusahaan multinasional juga menjadi ancaman bagi demokrasi sebuah negara. Pasalnya MNC menjadi aktor yang cukup berkuasa yang mempertinggi ketimpangan dalam distribusi pendapatan dan kemiskinan. Dibidang politik, pengaruh perusahan multinasional merambah kepada kebijakan politik yang diambil. Pasalnya dengan sumber daya (uang) yang mereka miliki sering kali bisa melakukan lobi-lobi pada pejabat pemerintahan. Akibatnya kebijakan yang diambil tidak akan merugikan perushaan multinasional akan tetapi justru palah merugikan masyarakat.
Dari analisis sejarah awal munculnya globalisasi dan pertarungan ideologi, globalisasi bukan sekadar hal yang tidak sengaja ada. Akan tetapi dibalik globalisasi ini ada ideologi, gagasan, dan pandangan yang menyertainya. Tak lain, didalam kata globalisasi ini juga terselip kepentingan negara-negara yang berideologi liberal untuk menguasai dan menghegemoni negara lain. Kebutuhan akan pasar, dan sumber daya untuk bahan produksi hanya menjadi alasan sampingan saja. Dibalik itu semua, globalisasi membawa ideologi yang akan mengubah cara pandang masyarakat.
Bekerjanya struktur ideologi dibalik globalisasi adalah sebuah keniscyaan. Slogan globalisasi yang membawa kesjahteraan dunia hanyalah slogan politik dan doktrin semata. Faktanya bekerjanya globalisasi justru memarginalkan negara-negara dunia ketiga karena investasi hanya mengalir di negara-negara kaya. Globalisasi hanya akan menguntungkan negara yang memiliki kekuatan secara ekonomi dan menguasai pengetauan untuk membuat teknologi produksi.
Menurut Paul Hirst dan Grahame Thompson, Globalisasi hanyalah mitos. Artinya selama ini globalisasi hanya wacana yang digulirkan untuk negara-negara dunia ketiga untuk kepentingan segeintir negara. Hist dan Thompson lebih menitikberatkan pada aspek ekonomi dengan alasan sebagai berikut[6]:
Tatanan ekonomi dunia saat ini yang ada akibat dari globalisasi hadir bukan tanpa preseden. Dalam beberapa hal, ekonomi internasional sekarang ini justru tidak lebih terbuka dibandingkan ekonomi dunia pada tahun 1870 hingga 1914. Hist dan Thompson melihat, keterbukaan ekonomi hanya berlaku bagi negara dunia ketiga.Perusahaan transnasional dan multinasional yang murni jarang ditemukan. Perusahaan transnasional pada umumnya berbasis negara nasional dan kegiatan perdanganan di berbagai belahan dunia bertumpu pada kekuatan produksi dan pemasaran di lokasi nasional.Lalu lintas modal tidak mengakibatkan berpindahnya penanaman modal dan kesempatan kerja secara besar-besaran dari negara maju ke negara berkembang. Sebaliknya penenaman modal asing justru banyak berpusat di negara industri maju.Seperti diakui para pendukung ekstrim teori globalisasi, ekonomi dunia jauh dari bersifat murni “global”. Sebaliknya perdanganan, investasi dan arus dana dewasa ini terpusat dinegara negara maju seperti Amerika, Uni Eropa, dan Jepang.Kekuatan ekonomi Tritunggal (G-3) ini memiliki kemampuan untuk mengatur pasar modal dan aspek-aspek lainya. Tidak benar jika dikatakan pasar dunia tidak dapat diatur dan dikendalikan, meski ruang lingkup dan tujuan yang ingin dicapai dengan mengatur ekonomi dunia masih terbatas, karena kepentingan negara-negara besar itu berbeda dan dokrin ekonoomi yang dianut oleh tiga elite itu juga berbeda.
Aspek Politik Globalisasi : Kuasa dan Pengetahuan
Aktor-aktor yang bekerja dibelakang globalisasi telah disebutkan diatas. Bahwa aktor tersebut bergerak dengan dan membawa ideologi. Pembahasan aspek politik tidak bisa dilepaskan dari aktor yang ada. Pembahasan aspek politik juga tidak bisa dilepaskan dari kekuasaan: karena hakikatnya politik juga kekuasaan. Analisis kekuasaan pada kali menggunakan pengertian kekuasan menurut Michel Foucault. Michel Foucault merupakan seorang strukturalis yang berbicara mengenai kekuasaan. Menurut Michel Foucault, kekuasaan merupakan satu dimensi dengan relasi. Setiap ada relasi, di situ ada kekuasaan.[7] Focault juga mengatakan bahwa kekuasaan itu menghasilkan pengetahuan, kekuasaan dan pengetahuan itu saling terkait. Foucault menjelaskan “tidak ada hubungan kekuasaan tanpa pembentuka yang berhubungan dengan pengethuan, tidak ada pengetahuan yang tidak mengandaikan serta membentuk sekaligus hubungan kekuasaan”[8].
Aspek politik globalisasi dapat kita kerucutkan bahwa dibalik globalisasi ada relasi kuasa dan struktur pengetahuan. Globalisasi yang merupakan keterhubungan semua negara di bumi ini juga bisa dipahami sebagai sebuah relasi. Aktor aktor yang bermain disini adalah setiap negara yang terdiri dari negara maju dan berkembang serta perusahaan multinasional. Relasi antar aktor ini bekerja relasi dan didalam relasi tersebut terdapat kekuasaan. Pemahaman kekuasaan sebagai sebuah relasi ini juga dapat membuat kita mengambil sikap. Selama ini kekuasaan di artikan sebagai satu aktor dapat mengendalikan aktor yang lain kini dengan pengertian kuasa sebagai relasi, kita bisa melawan hegemoni yang sedang terjadi.
Globalisasi yang di wacanakan sebenarnya juga berupa pengetahuan. Wacana yang tersebut digulirkan dan merasuk kedalam struktur pengetahuan kita. Sehingga kita mengamini bahwa globalisasi adalah fenomena biasa. Padahal dilhat dari ideologi yang dibawa oleh globalisasi adalah sebuah wacana yang digulirkan untuk menguasai. Wacana globalisasi digulirkan melalui media, kurikulum disekolah, dan perilaku tertentu. Globalisasi sebagai sebuah pengetahuan yang menghasilkan kuasa juga terdapat pada perjanjian dan pembuatan aturan main pada organisasi –organisasi dunia seperti WTO, PBB, ASEAN, AFTA dll.
Pengetahuan dan relasi yang menghasilan kekuasaan ada pada fenomena globalisasi. Dimana adanya globalisasi memunculkan relasi antar negara dan perusahan multinasional (MNC). Selain itu globalisasi yang di wacanakan terus menerus menjadi sebuah pengethauan yang wajar. Sebenarnya otak kita sudah terhegemoni dan kita dikuasai lewat struktur pengetahuan tentang globalisasi.
Indoensia juga tidak bisa dilepaskan dari adanya globalisasi. Pada aspek ekonomi, di Indoensia banyak berdiri perusahaan multinasional yang bukan milik Indoensia. Perusahaan multinasional yang ada di Indoensia hampir semua sektor, akan tetapi menurut penulis sektor yang paling merugikan bangsa Indonesia adalah sektor energi berupa pertambangan dan minyak. Fenomena globalisasi di ranah ekonomi juga memunculkan kebijakan privatisasi. Negara, melalui kebijakan privatisasi ,digerus peranannya dalam produksi dan distribusi berbagai kebutuhan masyarakat[9]. Kebijakan privatisasi menyasar BUMN (Badan Usaha Milik Negara).
Disisi lain Indonesia sejak lama memainkan peran di ASEAN. Selain itu bekembangnya AEC merupakan efek dari globalisasi dan tanda terhegemoninya kita dengan neoliberalisme. Liberalisasi menimbulkan dampak di Indonesia, salah satunya adalah kesenjangan. Ketidakmerataan pendapatan di Indoensia ini karena diskursus yang berkembang tentang pembangunan adalah pertumbuhan ekonomi bukan distribusi ekonomi.
Pada akhirnya, globalisasi bukan sebuah fenomena yang hadir begitu saja, akan tetapi dibalik wacana globalisasi bekerja struktur ideologi yang sedang menghegemoni dan berusaha mempertahankan. Selain itu globalisasi juga bekerja relasi kuasa antara aktor yang ada. Globalisasi juga telah merasuk menjadi sebuah pengetahuan yang diamini oleh banyak orang. Dengan analisa Michel Foucault, pengetahuan menghasilkan kekuasaan, globalisasi yang juga merupakan sebuah pengetahuan. Secara tidak sadar kita telah dikusasi karena pengetahuan tersebut masuk kedalam rasionalitas kita.
Daftar Pustaka
David Marsh, G. S. (2012). Teori Politik dan Metode dalam Ilmu Politik. Bandung: Penerbit Nusa Media.
Gustomi, R. (2010). Negara Menata Umat. Yogyakarta: POLGOV Research.
Khozin, A. (2012). Konsep Kekuasaan Michel Foucault. Teosofi, 132.
Nanang Pamuji, U. M. (2006). Kritik Globalisasi dan Neoliberalisme. Yogyakarta: FISIPOL UGM.
Paul Hirst, G. T. (2001). Globalisasi Adalah Mitos. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Rianto, P. (2004). Globalisasi, Liberasi Ekonomi dan Krisis di Indoensia. Jurnal Ilmu Sosial dan Politik, 7-8.
[7] Gustomi, Rachmad. 2010. Negara Menata Umat.Yogyakarta:POLGOV Research. Hal.15
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H