Menurut Paul Hirst dan Grahame Thompson, Globalisasi hanyalah mitos. Artinya selama ini globalisasi hanya wacana yang digulirkan untuk negara-negara dunia ketiga untuk kepentingan segeintir negara. Hist dan Thompson lebih menitikberatkan pada aspek ekonomi dengan alasan sebagai berikut[6]:
Tatanan ekonomi dunia saat ini yang ada akibat dari globalisasi hadir bukan tanpa preseden. Dalam beberapa hal, ekonomi internasional sekarang ini justru tidak lebih terbuka dibandingkan ekonomi dunia pada tahun 1870 hingga 1914. Hist dan Thompson melihat, keterbukaan ekonomi hanya berlaku bagi negara dunia ketiga.Perusahaan transnasional dan multinasional yang murni jarang ditemukan. Perusahaan transnasional pada umumnya berbasis negara nasional dan kegiatan perdanganan di berbagai belahan dunia bertumpu pada kekuatan produksi dan pemasaran di lokasi nasional.Lalu lintas modal tidak mengakibatkan berpindahnya penanaman modal dan kesempatan kerja secara besar-besaran dari negara maju ke negara berkembang. Sebaliknya penenaman modal asing justru banyak berpusat di negara industri maju.Seperti diakui para pendukung ekstrim teori globalisasi, ekonomi dunia jauh dari bersifat murni “global”. Sebaliknya perdanganan, investasi dan arus dana dewasa ini terpusat dinegara negara maju seperti Amerika, Uni Eropa, dan Jepang.Kekuatan ekonomi Tritunggal (G-3) ini memiliki kemampuan untuk mengatur pasar modal dan aspek-aspek lainya. Tidak benar jika dikatakan pasar dunia tidak dapat diatur dan dikendalikan, meski ruang lingkup dan tujuan yang ingin dicapai dengan mengatur ekonomi dunia masih terbatas, karena kepentingan negara-negara besar itu berbeda dan dokrin ekonoomi yang dianut oleh tiga elite itu juga berbeda.
Aspek Politik Globalisasi : Kuasa dan Pengetahuan
Aktor-aktor yang bekerja dibelakang globalisasi telah disebutkan diatas. Bahwa aktor tersebut bergerak dengan dan membawa ideologi. Pembahasan aspek politik tidak bisa dilepaskan dari aktor yang ada. Pembahasan aspek politik juga tidak bisa dilepaskan dari kekuasaan: karena hakikatnya politik juga kekuasaan. Analisis kekuasaan pada kali menggunakan pengertian kekuasan menurut Michel Foucault. Michel Foucault merupakan seorang strukturalis yang berbicara mengenai kekuasaan. Menurut Michel Foucault, kekuasaan merupakan satu dimensi dengan relasi. Setiap ada relasi, di situ ada kekuasaan.[7] Focault juga mengatakan bahwa kekuasaan itu menghasilkan pengetahuan, kekuasaan dan pengetahuan itu saling terkait. Foucault menjelaskan “tidak ada hubungan kekuasaan tanpa pembentuka yang berhubungan dengan pengethuan, tidak ada pengetahuan yang tidak mengandaikan serta membentuk sekaligus hubungan kekuasaan”[8].
Aspek politik globalisasi dapat kita kerucutkan bahwa dibalik globalisasi ada relasi kuasa dan struktur pengetahuan. Globalisasi yang merupakan keterhubungan semua negara di bumi ini juga bisa dipahami sebagai sebuah relasi. Aktor aktor yang bermain disini adalah setiap negara yang terdiri dari negara maju dan berkembang serta perusahaan multinasional. Relasi antar aktor ini bekerja relasi dan didalam relasi tersebut terdapat kekuasaan. Pemahaman kekuasaan sebagai sebuah relasi ini juga dapat membuat kita mengambil sikap. Selama ini kekuasaan di artikan sebagai satu aktor dapat mengendalikan aktor yang lain kini dengan pengertian kuasa sebagai relasi, kita bisa melawan hegemoni yang sedang terjadi.
Globalisasi yang di wacanakan sebenarnya juga berupa pengetahuan. Wacana yang tersebut digulirkan dan merasuk kedalam struktur pengetahuan kita. Sehingga kita mengamini bahwa globalisasi adalah fenomena biasa. Padahal dilhat dari ideologi yang dibawa oleh globalisasi adalah sebuah wacana yang digulirkan untuk menguasai. Wacana globalisasi digulirkan melalui media, kurikulum disekolah, dan perilaku tertentu. Globalisasi sebagai sebuah pengetahuan yang menghasilkan kuasa juga terdapat pada perjanjian dan pembuatan aturan main pada organisasi –organisasi dunia seperti WTO, PBB, ASEAN, AFTA dll.
Pengetahuan dan relasi yang menghasilan kekuasaan ada pada fenomena globalisasi. Dimana adanya globalisasi memunculkan relasi antar negara dan perusahan multinasional (MNC). Selain itu globalisasi yang di wacanakan terus menerus menjadi sebuah pengethauan yang wajar. Sebenarnya otak kita sudah terhegemoni dan kita dikuasai lewat struktur pengetahuan tentang globalisasi.
Indoensia juga tidak bisa dilepaskan dari adanya globalisasi. Pada aspek ekonomi, di Indoensia banyak berdiri perusahaan multinasional yang bukan milik Indoensia. Perusahaan multinasional yang ada di Indoensia hampir semua sektor, akan tetapi menurut penulis sektor yang paling merugikan bangsa Indonesia adalah sektor energi berupa pertambangan dan minyak. Fenomena globalisasi di ranah ekonomi juga memunculkan kebijakan privatisasi. Negara, melalui kebijakan privatisasi ,digerus peranannya dalam produksi dan distribusi berbagai kebutuhan masyarakat[9]. Kebijakan privatisasi menyasar BUMN (Badan Usaha Milik Negara).