Wangsit berdiri di tepi kali. Ia menyusuri kesunyian hati yang tak terlukis. Ada segenggam rindu yang tak terkabarkan pada kekasihnya. Dengan langkah santai Wangsit menghampiri kekasihnya lalu duduk jongkok didekatnys
"Kemarin anak pak Lurah melamar saya, Mas," ujar Rohana yang bagi Wangsit hanya sebuah berita yang biasa.Â
"Kamu terima?"
"Ora lah. Aku menungu sampeyan,"Â
Rohana menghentikan mengucek pakaiannya.Â
"Bapak bilang kalau mas benar-benar serius, sampeyan disuruh cepat melamar aku."
"Nglamar? Tau sendiri aku ini enggak punya uang?".
"Usaha to, Mas. Kerja ke kota. Cari biaya buat nikah."
Wangsit diam, bukan karena marah, tetapi tak punya jawaban atas permintaan Rohana.
Terkadang Wangsit merasa kalau mempunyai kekasih yang berparas cantik dan anak orang kaya menjadi beban tersendiri. Apalagi ketika usia sudah cukup untuk berkeluarga. Orang tua Rohana memintanya segera menikahi Rohana. Wangsit masih diliputi keraguan, bukan ragu atas cinta, tapi ragu atas masa pernikahan. Wangsit yang hanya mempunyai sebidang tanah untuk menghidupi ia dan emaknya tentu tak ada uang lebih memikirkan pernikahan.Â
Satu hal yang harus ia lakukan jika tak ingin kehilangan Rohana: segera mencari biaya nikah. Bukan hanya anak pak Lurah yang telah melamar Rohana. Sudah lebih empat pemuda yang terang-terangan menemui orangtua Rohana berniat melamar putrinya.Â