Mohon tunggu...
Miftahul Abrori
Miftahul Abrori Mohon Tunggu... Freelancer - Menjadi petani di sawah kalimat

Writer & Citizen Journalist. Lahir di Grobogan, bekerja di Solo. Email: miftah2015.jitu@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Sungai Klampis

28 Januari 2020   10:38 Diperbarui: 28 Januari 2020   10:53 362
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: https://hachi.ilearning.me/2015/04/03/filsafat-sungai/

Rohana menunduk tak berani memandang dan menjawab pertanyaan Wangsit. Hati Wangsit bertambah perih ketika memandang perut Rohana sudah membuncit, hamil beberapa bulan.

"Aku terpaksa."

"Menikah dengan orang lain dan mengkhianatiku, kau bilang terpaksa?"

Mata Wangsit menatap redup. Ia melihat genangan air kedung atau danau kecil di hamparan sungai Klampis. Tatapannya tertuju pada seorang gadis yang mencuci setumpuk pakaian di pinggir kedung.

Wanita yang diam-diam menjalin kisah dengannya itu tampak duduk di sebongkah batu. Jari mungilnya mulai mengucek pakaian yang sudah dilumuri sabun colek. 

Lelaki kurus itu bersandar di pohon klampis yang berada tak jauh dari sungai. Pohon yang batangnya dipenuhi duri-duri tajam itu besarnya tiga rangkulan lelaki dewasa. Daunnya mulai berguguran menahan panas mentari. Wangsit melambaikan tangan disambut lambaian tangan dan senyuman sang kekasih yang teramat manis. 

Sungai Klampis atau warga desa biasa menyebut kali Klampis, seakan menjadi saksi bagi muara kisah mereka. Di sungai itu pertama kali ia mengenal wanita yang telah direncanakan menjadi istri. Dua tahun lalu kemarau panjang, ia melihat wanita itu mencari air di belik, sebuah sumur yang berkedalaman satu hingga dua meter. 

Di Tawangsari, sebuah desa di Grobogan, kemarau seakan menjadi bencana yang tak pernah dikeluhkan warga desa. Mereka tak terlalu berharap kepada pemerintah kabupaten untuk mengirim tangki-tangki air. Toh, meski bukan termasuk daerah pelosok, bantuan air dari pemerintah tak pernah sampai di desa itu. 

"Tahu kenapa kali ini dinamakan kali klampis?" tanya Rohana, nama perempuan itu suatu hari

"Mungkin karena ada pohon klampis di tepi sungai ini," jawab Wangsit. 

Rohana mengangguk. "Kata kakekku, dulu hampir di sepanjang sungai yang membelah empat kampung ini terdapat pohon klampis yang berjajar. Jumlahnya mencapai puluhan," Rohana mulai mendongeng. 

Rohana melanjutkan ceritanya. Dulu ada sepasang kekasih dari desa seberang yang saling mengasihi tetapi sang perempuan berpindah ke desa seberang yang tak begitu jelas keberadaannya. Sang lelaki memberi wanita itu segenggam biji pohon Klampis lalu di setiap beberapa jengkal wanita itu menjatuhkan sebiji demi sebiji. 

Hingga tiba di desa yang disinggahi, biji terakhir itulah yang kini pohonnya masih ada. Sedang kini pohon klampis yang lain sudah rapuh termakan usia dan banyak juga yang ditebang dijadikan kayu bakar. 

"Kenapa pohon itu tak ikut ditebang?" tanya wangsit. 

"Enggak ada yang berani, Mas. Itu pohon tersisa yang dipercaya dari biji terakhir dari sang wanita." 

Beberapa tahun berikutnya lelaki itu mencari pasangannya dan ketika mereka bertemu ternyata sang wanita sudah menikah dan mempunyai anak.

 Sang lelaki hatinya hancur. Berserak seperti pasir kali yang bercampur batu kerikil. Tak sanggup menahan sakit hati ia memilih menjemput ajalnya sendiri dengan bunuh diri di seutas tali yang disampirkan di pohon klampis. 

"Untung cintaku kamu terima ya, Nduk. Kalau tidak, aku mungkin akan bernasib sama dengan lelaki itu," Wangsit berbicara dengan nada menggoda. 

"Laki-laki kok cilik ati, cengeng."

Wangsit tersenyum mengingat waktu yang berlalu. 

Kemarau berakhir dengan hadirnya rintik hujan. Kadang menjelma banjir, dan menjadi pertanda musim kehidupan berganti. Petani akan sibuk mengolah tanah dan segera ditanami jagung, kedelai atau kacang hijau. 

Biasanya ketika Rohana melewati pohon Klampis ia menyempatkan memungut ale, kecambah yang tumbuh dari biji klampis. bentuknya mirip tauge. Bedanya tunas ale lebih besar dan bagian atas berwarna kekuningan. Ale sangat enak melebihi rasa kecambah. Ale dibuat sebagai campuran pelengkap sayur lodeh atau bisa juga dioseng. 

Wangsit berdiri di tepi kali. Ia menyusuri kesunyian hati yang tak terlukis. Ada segenggam rindu yang tak terkabarkan pada kekasihnya. Dengan langkah santai Wangsit menghampiri kekasihnya lalu duduk jongkok didekatnys

"Kemarin anak pak Lurah melamar saya, Mas," ujar Rohana yang bagi Wangsit hanya sebuah berita yang biasa. 

"Kamu terima?"

"Ora lah. Aku menungu sampeyan," 

Rohana menghentikan mengucek pakaiannya. 

"Bapak bilang kalau mas benar-benar serius, sampeyan disuruh cepat melamar aku."

"Nglamar? Tau sendiri aku ini enggak punya uang?".

"Usaha to, Mas. Kerja ke kota. Cari biaya buat nikah."

Wangsit diam, bukan karena marah, tetapi tak punya jawaban atas permintaan Rohana.

Terkadang Wangsit merasa kalau mempunyai kekasih yang berparas cantik dan anak orang kaya menjadi beban tersendiri. Apalagi ketika usia sudah cukup untuk berkeluarga. Orang tua Rohana memintanya segera menikahi Rohana. Wangsit masih diliputi keraguan, bukan ragu atas cinta, tapi ragu atas masa pernikahan. Wangsit yang hanya mempunyai sebidang tanah untuk menghidupi ia dan emaknya tentu tak ada uang lebih memikirkan pernikahan. 

Satu hal yang harus ia lakukan jika tak ingin kehilangan Rohana: segera mencari biaya nikah. Bukan hanya anak pak Lurah yang telah melamar Rohana. Sudah lebih empat pemuda yang terang-terangan menemui orangtua Rohana berniat melamar putrinya. 

Sedang Wangsit meski sering berkunjung belum pernah berbicara tentang niat melamar, apalagi pernikahan. 

Wangsit tak mau kehilangan Rohana. Ia pergi ke kota mencari kerja. Ia ingin segera mencari modal mempersunting Rohana. 

Pagi itu ia berpamitan dengan emaknya. Ia ingin mengadu nasib ke Surabaya. Lalu.., perpisahan dengan Rohana membuat perantauan ke kota menjadi berat. Di dekat pohon klampis Rohana menangis terisak di pelukannya. 

Tak ada bayangan sedikit pun, jika di Surabaya Wangsit akan bekerja menjadi kuli bangunan. Tapi hal itu ia lakoni demi sebuah janji kepada Rohana. Janji mengumpulkan uang untuk mempersuntingnya. Ia bekerja dengan tekun dan menyisakan beberapa uang bayarannya. 

Setiap sabtu sore Wangsit menerima upahnya. Ia membayangkan barang- barang apa nanti yang cocok dijadikan mahar pernikahan. Kalung emas, cincin emas atau .. 

Ah, ia tak berani memikirkannya lebih lanjut. Pernikahan tak cukup memikirkan sebuah mas kawin. Setelah menikah tentu banyak kebutuhan yang harus tercukupi. Apalagi jika nanti mempunyai anak. 

Di sebuah bedeng, tempat tidur para pekerja bangunan, Wangsit bersantai sejenak. Setiap hari minggu semua pekerja diliburkan. Banyak pekerja menggunakan waktu libur dengan pulang ke kampung halaman atau sekadar pergi ke pantai Kenjeran, menikmati angin laut yang menyapa lembut. 

Genap setahun Wangsit menjadi kuli bangunan. Uang yang ia kumpulkan dirasa sudah cukup untuk biaya nikah. Ia tak ingin cepat pulang. Ia masih menimbun hasrat mengumpulkan lebih banyak uang. 

Wangsit menikmati makan siang di sebuang warung, tanpa sengaja ia bertemu dengan Sudin, teman desa yang bekerja di pabrik plastik. 

Sudin baru saja datang dari desa. "Aku punya kabar untukku. Kamu jangan terlalu kecewa dengan apa yang aku katakan nanti. Rohana..., kini sudah menikah."

"Menikah?" ucap Wangsit mengulang perkataan Sudin. 

"Dia menikah dengan Rahmat."

"Rahmat anak kepala desa itu?" 

"Siapa lagi..." 

Keesokannya Wangsit langsung kembali ke desa. Hati tak kuat menahan kekecewaan. Kekasih berjanji setia ternyata menimang dusta. Rasa sakit hati berkecamuk meremuk perasaan. Cinta yang diharap menjadi satu di hari pelaminan. 

"Setega iki kowe karo aku?" Wangsit langsung menghujat Rohana ketika mereka bertemu di persimpangan desa. 

Rohana menunduk tak berani memandang mata Wangsit. Hati Wangsit bertambah perih ketika memandang perut Rohana sudah membuncit, hamil beberapa bulan.

"Aku terpaksa."

"Menikah dengan orang lain dan mengkhianatiku, kau bilang terpaksa?"

"Kau terlalu lama di Surabaya. Kenapa tak pernah pulang atau sekadar memberi kabar kepadaku? Aku menunggumu tapi kau tak lekas datang. Salah kalau aku menerima pinangan orang lain?! Toh aku sebelumnya tak pernah terikat resmi denganmu."

Mendengar pembelaan panjang dari Rohana Wangsit tak kuasa menahan hatinya. Ia melangkah cepat meninggalkan Rohana. 

Malam pekat bercampur hujan rintik. Di sebuah jalan kecil wangsit mencegat Rahmat. Ia baru saja pulang dari kondangan. Wangsit membekap mulut Rahmat hingga kehilangan napas. Wangsit menyeret tubuh Rahmat menuju tepi sungai.  

Tali tambang sudah siap di tangan. Susah payah Wangsit mengikat leher Rahmat lalu menggantungnya di pohon klampis. 

Sepintas ia teringat tentang kisah pohon klampis yang pernah diceritakan Rohana. (Miv)

Catatan: Sungai Klampis adalah cerpen karya Miftahul Abrori. Cerpen ini pertama kali dipublikasikan Harian Joglosemar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun