Mohon tunggu...
Miftahul Abrori
Miftahul Abrori Mohon Tunggu... Freelancer - Menjadi petani di sawah kalimat

Lahir di Grobogan, bekerja di Solo. Email: miftah2015.jitu@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Paras Perempuan Cadas

23 Januari 2020   11:38 Diperbarui: 23 Januari 2020   14:28 515
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi : Solopos.com/ JIBI Photo

Subsidi gas 3 kilogram jadi program pemerintah pusat. Pejabat kelurahan yang menjadi lidah  pemerintah membeber keuntungan memakai gas 3 kilogram atau gas melon. Kata mereka memasak lebih praktis dan tak ribet seperti menggunakan pawon.

Tiap kali tangan perempuan itu menggerakkan sebilah cangkul di tanah cadas, ia berkeyakinan sedang mengeruk tanah dan berharap menemukan harta karun. Tak jarang ia berangan sedang menambang emas di pekarangannya. Suara benturan antara cangkul dan tanah terdengar meraung-raung kecil dalam sekian waktu. Suara angin membuat dedaunan mendesah, bersahutan suara cericit segerombolan prenjak yang hinggap di pohon jati. 

Harta karun tak ia dapat, apalagi bongkahan emas. Ia memang hanya mengumpulkan tanah cadas sebagai bahan dasar pembuatan pawon, sebuah tungku tradisional. Baginya, tanah cadas lebih berharga ketimbang dua benda khayalannya tersebut.

Tanah cadas atau biasa disebut lemah padas  berpuluh tahun menjadi penyangga hidup Juwarni bersama Sugeng, suaminya yang bekerja serabutan. Sugeng bekerja sebagai buruh sawah dan kadang pergi ke kota menjadi kuli bangunan. Saat tak ada orang yang mempekerjakannya Sugeng mencari kayu bakar di hutan. Kayu itu dijual di pasar jika sudah kering.

Juwarni teringat anak perempuan satu-satunya, Farida. Kerinduan tiba-tiba menyeruak dalam siang yang sunyi. Tiga tahun Juwarni dan Farida tak tinggal satu atap. Putrinya sekolah di SMA Solo. Ia pelajar yang cerdas, mendapat beasiswa pendidikan dari kabupaten. Farida hanya pulang ketika libur semester. 

Dulu sewaktu masih di rumah, Farida sering membantunya mengambil padas. Dalam batin ia berharap sang anak memiliki masa depan yang lebih baik. Tidak menjadi perempuan cadas seperti dirinya.

Di kaki bukit desa Sendangsari, selain sebagai petani, kebanyakan para wanita punya pekerjaan sampingan sebagai pembuat pawon. Juwarni salah satunya. Justru pawon lah sumber penghasilan utam Juwarni karena tak punya sawah. Dalam sebulan ia bisa membuat pawon sekitar 25 buah. Dengan harga jual per bijinya dua puluh lima ribu rupiah, Warni bisa mengandalkan kerja sampingannya itu sekadar mencukupi kebutuhan harian.

Kepiawaian membuat pawon ia dapat dari ibunya. Sejak kecil Warni sering membantu dan mengamati ibunya. Sang ibu sudah renta. Warni bersyukur mewarisi keahlian itu. Tangannya pun lihai membuat pawon.

Tanah berwarna kekuningan itu disulap menjadi pawon. Orang Jawa menyebut dapur sebagai pawon. Pawon adalah bangunan di sebuah rumah untuk kegiatan masak-memasak. Pawon juga diartikan sebagai tungku untuk memasak.

Juwarni mengeruk tanah hingga kedalaman setengah meter. Sesekali ia melongok memandangi rumahnya. Rumah sederhana yang masih bertembok anyaman bambu. Ia berharap suaminya pulang dari hutan membawa ranting  kayu bakar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun