Mohon tunggu...
Miftahul Abrori
Miftahul Abrori Mohon Tunggu... Freelancer - Menjadi petani di sawah kalimat

Writer & Citizen Journalist. Lahir di Grobogan, bekerja di Solo. Email: miftah2015.jitu@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Angsa di Seberang Sungai

16 Januari 2020   18:37 Diperbarui: 16 Januari 2020   18:43 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sekitar jam delapan pagi Sigit mengikuti rapat proyeksi di kantor dengan beberapa redaktur. Kegiatan rutin ini membahas isu liputan juga pembagian tugas kepada wartawan. Sigit mendapat tugas meliput acara bedah buku di Cafe De Five pada jam 9, sebuah tugas yang sudah menjadi langganan Hendra. Cafe De Five adalah cafe yang beroperasi 24 jam. Tidak biasanya acara bedah buku di kafe. Siang pula. Di rapat tersebut Hendrajaya tanpa alasan jelas mengajukan surat pengunduran diri sebagai wartawan Garda Metro.

Sigit baru selesai memarkir motornya lalu menuju cafe.

"Heh, kamu wartawan Garda Metro?" seorang lelaki berperawakan tinggi tak ramah menyambutnya. Badannya tak terlalu kekar tapi empat lelaki yang duduk di samping kiri yang kemungkinan besar adalah temannya seperti bersiap menerkam.

"Iya, benar. Kenapa, Mas?.

Tidak ada tanda-tanda kalau cafe ini akan digunakan untuk acara bedah buku. Sigit mengira para lelaki itu adalah gerombolan preman. Mungkin ada kaitannya dengan berita yang "menjatuhkan' EO musik kemarin.

Lelaki itu menarik kerah jaket lusuh sigit. Kepalan tangan kanannya menghantam perut Sigit lalu berpindah ke wajah. Sigit pasrah. Ia tak mau melawan. Jika melawan pasti preman itu akan lebih kejam memukul. Ia tak ingin nyawa melayang digebuki preman lalu hidupnya bermuara ke akhirat.

"Berani berbuat harus berani bertanggungjawab. Kamu telah mempermalukan kami. Giliran kami yang akan mempermalukan, Anda," ancam seorang lelaki.
Sigit terdiam. Dalam kondisi seperti itu tiada guna membela diri.
"Kamu kan yang menghamili Dyah?"
Sigit bangkit penuh semangat. Mendengar nama Dyah disebut seolah memberi kekuatan. Entah harus senang atau berduka, belum sempat memberi penjelasan, Sigit tersungkur akibat tendangan yang cukup keras tepat bersarang di perut.

***

Belum sempat Sigit mandi pagi handponenya berdering. Astuti sekretaris redaksi yang menghubunginya.

"Mas Sigit, segera ke kantor, Mas. Seseorang meminta pertanggungjawabanmu."

"Pertanggungjawaban apa?"  Sigit kaget.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun