Mohon tunggu...
Miftahul Abrori
Miftahul Abrori Mohon Tunggu... Freelancer - Menjadi petani di sawah kalimat

Writer & Citizen Journalist. Lahir di Grobogan, bekerja di Solo. Email: miftah2015.jitu@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Angsa di Seberang Sungai

16 Januari 2020   18:37 Diperbarui: 16 Januari 2020   18:43 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
"Lihat! Gadis itu sedang menatap ke arahmu. Dia si angsa betina yang tak tahu bagaimana cara menyeberangi sungai untuk menemuimu. Ils : cikimm.com

Lelaki bermata merah layu menahan kantuk. Ia mendapat jatah piket redaksi. Sigit nama lelaki itu. Ia tampak kegerahan sembari memandang layar komputer di ruang redaksi harian Garda Metro, sebuah koran nasional yang mempunyai anak cabang di kota ini. Ternyat deadline hari Sabtu membuatnya tak bisa konsentrasi penuh. Ia dikejar waktu menyelesaikan feature edisi minggu, mendapat tugas menulis artikel rubrik Budaya dan Humanioria. Semestinya ia mempunyai waktu yang leluasa untuk mengatur jam menulis karena rubrik itu terbit di hari Minggu. Ide kreatifitasnya  terpacu justru ketika mendekati deadline.

Sigit Ardian menyiapkan sebuah tulisan tentang pementasan teater monolog yang semalam ditonton di Taman Budaya. Putu Wijaya, seniman senior menjadi aktor tunggal pementasan malam itu. Sigit berhasil bertemu langsung dengan Putu Wijaya dan melakukan wawancara eksklusif yanf akan dimuat di rubrik Tiang Budaya. Pikirannya mulai mengkerut. Pekerjaan menulis memang membutuhkan konsentrasi penuh. Ia memilih membekukan isi otak, mencoba mengendapkan ingatan lalu menyaring menjadi sebuah tulisan.

Menjadi wartawan bukanlah pilihan utama bagi Sigit. Awalnya ia hanya menyukai sastra dan memulai menjadi penulis lepas dengan mengirim puisi dan cerpen ke berbagai media. Wintarto, seorang novelis yang juga redaktur sastra Garda Metro memberitahu kalau korannya membutuhkan wartawan budaya. Mungkin inilah saat ijasah S1 miliknya berfungsi.

Ia membuka folder MyFiles, folder yang berisi foto Dyah, seorang gadis yang diam-diam sering berdiri mematung sambil menajamkan pandangan tepat ke arah kantor Garda Metro. Wajahnya yang ayu di suatu pagi memaksa Sigit untuk mengabadikan dengan kamera  DSLR. Sudah seminggu ini gadis di seberang jalan itu menatap kosong. Kata Hendrajaya, rekan wartawan sekantor, perempuan itu kelahiran Wonogiri dan bekerja di warung kelontong. Hendra yang memberi tahu tentang nama perempuan berkulit putih itu. Sempat terbersit khayalan nyeleneh, memacari Dyah, mengajaknya nonton teater di taman Budaya atau menonton wayang orang di Gedung kesenian. Ah, gadis sekarang mana suka dengan tontonan yang bernilai seni tinggi itu, atau tontonan yang ketinggalan Zaman? Tapi Sigit bisa juga mengajaknya menonton konser musik, Slank, Ungu, Dewa yang juga sering mampir ngamen di kota ini.

Dua hari lalu Sigit sempat mampir ke warung itu. Saat itu Dyah memang tampak gelisah. Apa benar kata Hendra, kalau Dyah memperhatikanku? Gadis berwajah sendu itu tampak memerah kedua pipinya ketika menyadari Sigit memperhatikan wajahnya.
Gila, benar-benar gila. Tulisan yang seharusnya hari ini jadi, lalu tinggal diemail ke redaktur dengan dilampiri beberapa foto tak diselesaikannya. Ia hanya mengirim pesan ke redaktur kalau 4 jam sebelum deadline tulisannya baru dikirim.

***

"Kau suka gadis itu?" tuduh Hendra siang itu di kantor.
"Su-ka?"

"Layar komputer itu sudah jadi buktinya."

Sigit tak bisa mengelak. Ia baru saja menjadikan foto Dyah sebagai wallpaper layar desktop komputer.

"Lihat di seberang sana! Gadis itu sedang menatap ke arahmu," ujar Hendra. Dia si angsa betina yang tak tahu bagaimana cara menyeberangi sungai untuk menemuimu. Lihatlah tatapan matanya yang kau tangkap dengan kameramu."

"Dia hanya seorang penjaga toko"

"Lalu kenapa?, dia kuli, kau juga kuli, kuli tinta apa bedanya?"

Beda status pekerjaan bukan menjadi persoalan bagi Sigit. Ia mendambakan seorang kekasih yang bisa mandiri. Toh, diam-diam Sigit mulai jatuh hati kepada Dyah. Ia mendamba seorang pacar lebih tepatnya calon istri. Di usianya yang mulai menapaki usia 30 sudah tak wajar kalau hanya mengenal wanita untuk bersenang-senang. Lalu apakah angsa betina di seberang sungai itu benar-benar menanti dirinya?

Dua bulan berlalu. Setelah cuti lebaran Sigit kelimpungan mencari gadis asal Wonogiri itu. Iseng-iseng ia menanyakan kabar Dyah ke pemilik toko. Gubuh Sigit seketika lunglai mendengar kabar kalau gadis itu kembali ke daerah asalnya dan tak akan kembali bekerja di toko. Hilang sudah impiannya. Hilang sudah angsa berkilau idamannya.

Menjelang dini hari Sigit masih berada di kantor. Baru saja ia mendapat tugas meliput konser musik, yang seharusnya menjadi jatahnya Hendra.

"Apa benar konser musik di GOR semalam kamu yang nulis, Git?". Tanya pak Agung, Pemred Garda Metro.

"Iya, pak"

"Kenapa kamu menyebut konser tersebut sepi dan tak menarik. Editlah tulisanmu sebelum masuk bagian percetakan."

"Kapasitas ribuan kalau hanya diisi kurang lebih dua ratus penonton, bukankah itu sepi pak? Hujan membuat pecinta musik di kota ini memilih diam di rumah ketimbang hujan-hujanan melihat konser."

"Tapi disini jelas-jelas kamu menyebut Event Organizernya. Itu bisa menjatuhkan mereka. EO kalau sudah jatuh susah bangkit lagi."

"Anda lebih tahu, Pak, mana berita yang layak dipublikasikan dan yang tidak."

Sigit tetap keukeh dengah pendiriannya dan tak mau mengedit tulisan. Esok hari ia tersenyum menang ketika membaca tulisannya tidak diubah editor.

Sekitar jam delapan pagi Sigit mengikuti rapat proyeksi di kantor dengan beberapa redaktur. Kegiatan rutin ini membahas isu liputan juga pembagian tugas kepada wartawan. Sigit mendapat tugas meliput acara bedah buku di Cafe De Five pada jam 9, sebuah tugas yang sudah menjadi langganan Hendra. Cafe De Five adalah cafe yang beroperasi 24 jam. Tidak biasanya acara bedah buku di kafe. Siang pula. Di rapat tersebut Hendrajaya tanpa alasan jelas mengajukan surat pengunduran diri sebagai wartawan Garda Metro.

Sigit baru selesai memarkir motornya lalu menuju cafe.

"Heh, kamu wartawan Garda Metro?" seorang lelaki berperawakan tinggi tak ramah menyambutnya. Badannya tak terlalu kekar tapi empat lelaki yang duduk di samping kiri yang kemungkinan besar adalah temannya seperti bersiap menerkam.

"Iya, benar. Kenapa, Mas?.

Tidak ada tanda-tanda kalau cafe ini akan digunakan untuk acara bedah buku. Sigit mengira para lelaki itu adalah gerombolan preman. Mungkin ada kaitannya dengan berita yang "menjatuhkan' EO musik kemarin.

Lelaki itu menarik kerah jaket lusuh sigit. Kepalan tangan kanannya menghantam perut Sigit lalu berpindah ke wajah. Sigit pasrah. Ia tak mau melawan. Jika melawan pasti preman itu akan lebih kejam memukul. Ia tak ingin nyawa melayang digebuki preman lalu hidupnya bermuara ke akhirat.

"Berani berbuat harus berani bertanggungjawab. Kamu telah mempermalukan kami. Giliran kami yang akan mempermalukan, Anda," ancam seorang lelaki.
Sigit terdiam. Dalam kondisi seperti itu tiada guna membela diri.
"Kamu kan yang menghamili Dyah?"
Sigit bangkit penuh semangat. Mendengar nama Dyah disebut seolah memberi kekuatan. Entah harus senang atau berduka, belum sempat memberi penjelasan, Sigit tersungkur akibat tendangan yang cukup keras tepat bersarang di perut.

***

Belum sempat Sigit mandi pagi handponenya berdering. Astuti sekretaris redaksi yang menghubunginya.

"Mas Sigit, segera ke kantor, Mas. Seseorang meminta pertanggungjawabanmu."

"Pertanggungjawaban apa?"  Sigit kaget.

"Wanita hamil meminta pertanggungjawaban!"

Secepat kilat Sigit menuju kantor. Sesampainya di kantor Sigit dikejutkan dengan apa yang dilihatnya. Dyah memandang tajam ke arah Sigit. Sudah lama ia merindukan tatapan seperti itu. Tapi kini perempuan itu yangmenghampirinya. Saat Sigit melihat perempuan itu mengenakan pakaian longgar dan perutnya agak membuncit, Sigit kelabakan.

Lima lelaki yang kemarin mengeroyoknya di caf berada di belakang Dyah. Sedang beberapa awak redaksi memandang ke arah Sigit, seakan tak menyangka salah satu wartawan telah menghamili anak orang. Tentu ini merupakan berita besar jika saja yang melakukannya bukan wartawan dari Garda Metro atau justru tambah besar karena seorang wartawan justru menjadi berita bagi korannya sendiri.

Dyah mendekati Sigit.
"Hen-., Hendra mana?" kata Dyah terbata-bata.

"Hendra tidak ada di sini. Dia sudah keluar dari Garda Metro."

Wanita itu menangis. Lima preman itu sudah bersiap menghajar sigit.

"Bukan, bukan dia, Pak," teriak Dyah.

Dalam tangis, Dyah mengatakan kalau selama ini ia pacaran dengan Hendra. Lelaki itu menanam benih di rahimnya dan tak mau bertanggung jawab. Bahkan ketika Dyah meminta pernikahan karena tak mungkin anaknya lahir tanpa bapak, Hendra menyuruh Dyah menggugurkan kandungan. Dyah menolak. Dia tak ingin melakukan dosa tambahan. Hendra menyuruh Dyah menjalin hubungan dengan pria lain. Ia tak mau hidup terkekang karena pernikahan. Hendra tahu kalau Sigit secara diam-diam menaruh harapan kepada Dyah.

Ah, ternyata angsa anggun itu jinak di tangan Hendra, teman yang hendak menjerumuskan dalam kubangan.  Angsa itu kini sedang mencari pejantan yang tega meninggalkannya. Barangkali Hendra telah menyeberang ke sungai lain.

Bumi Mangkuyudan, Awal Oktober 2009

*) Angsa di Seberang Sungai adalah cerpen karya Miftahul Abrori. Cerpen ini pertama kali dipublikasikan di buletin Sastra Pawon Solo, 2009. Dipublikasikan ulang di Kompasiana dengan beberapa perubahan, sebagai pendokumentasian karya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun