Mohon tunggu...
Michael Sendow
Michael Sendow Mohon Tunggu... Wiraswasta - Writter

Motto: As long as you are still alive, you can change and grow. You can do anything you want to do, be anything you want to be. Cheers... http://tulisanmich.blogspot.com/ *** http://bahasainggrisunik.blogspot.co.id/ *) Menyukai permainan catur dan gaple. Menulis adalah 'nafas' seorang penulis sejati. I can breath because I always write something...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pengalaman Pribadi: Jangan Nilai Seseorang Dari Luarnya Saja

15 Juni 2016   14:34 Diperbarui: 15 Juni 2016   14:40 808
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Catatan: Tulisan ini akan sangat panjang, tapi saya enggan memotongnya karena akan mengurangi esensinya. Jadi silakan tutup saja kalau ragu membaca tulisan panjang nan berliku, atau siapkan bantal supaya bisa tertidur nyenyak sehabis membaca tulisan ini......Hahahaha!

*** 

Kalimat don’t judge the book by its cover sudah sangat sering kita dengar. Pengajaran seupaya kita tidak menilai orang dari tampak luarnya saja sudah begitu sering kita terima, dan selalu diulang-ulang sepanjang masa. Nasehat yang mengajak kita supaya jangan melihat dari bungkusnya saja melainkan isinya. Pertanyaan sederhananya adalah apakah kita lalu kemudian mudah untuk mempratekkannya? Belum tentu.

Sangat sering, dalam hal apapun, kita justru langsung cepat-cepat menilai seseorangdari apa yang nampak oleh mata kita. Seketika secepat kita langsung bergunjing dan menilai seseorang begitu melihat tampilan luarnya seperti apa. Kadang kita menilai orang hanya dari tampilan luarnya saja, bukan dari perbuatannya, atau apa yang ada dalam hati orang tersebut.

Melihat orang berpakaian rombeng, kita cap dia itu miskin dan pengemis, peminta-minta. Melihat orang pakai baju bagus dan mentereng, kita cap dia itu kaya dan sombong, sok banyak duit. Lalu ada orang bicara keras dan kasar, kita serta merta cap dia itu tidak berakhlak dan orangnya tidak baik. Ketika ada kawan pendiam dan tak banyak bersuara, kita cap dia bodoh dan dungu, atau sok alim?

Saya punya beberapa pengalaman yang sangat berarti, yang begitu dalam mengajarkan saya untuk tidak boleh menilai orang dan menjustifikasi orang tersebut secepat membalikkan telapak tangan. Mengajarkan saya untuk tidak menilai orang lain hanya dari apa yang kita lihat semata. Dalamnya laut bisa diukur, namun isi hati orang siapa yang tau? Kan begitu. Jujur saja, saya beberapa kali gagal mempratikkan hal itu. Terkadang kita terlalu cepat mengambil kesimpulan yang belum tentu benar adanya.

Norman Cousins, seorang wartawan politik, penulis, professor dan juga sebagai pengacara perdamaian dunia pernah suatu kali mengatakan begini, Maut bukanlah kehilangan terbesar dalam hidup. Kehilangan terbesar adalah apa yang mati dalam sanubari sementara kita masih hidup...”Bagi saya, kata-kata itu teramat benar. Salah satu kematian paling mengerikan adalah bila nurani kita sudah mati, sehingga kita menjadi amat gampang memvonis atau menilai orang lain tanpa dasar yang jelas serta akurat lalu kemudian membuly dan memfitnah orang tersebut. Dugaan yang bisa jadi keliru itu lantas kemudian menjadikan kita cakap ber-negative thinking terhadap orang lain.

Pengalaman Sebagai Guru Terbaik

Lebih dari sepuluh tahun saya bekerja di negeri Paman Sam. Negeri yang kata orang berlimpah susu dan madu. Tentu saja saya amat mensyukuri apa yang saya alami dan jalani di negeri orang itu. Sebab ada begitu banyak hal positif yang saya dapatkan.

Artinya, walaupun saya harus berlelah-lelah, meskipun saya harus menjalani semuanya sendirian, saya tetap mensyukurinya. Karena apa? Karena ternyata kemandirian itu akhirnya tertanam indah dalam jiwa dan diri saya. Punya sikap ‘tahan banting’, kuat, serta pantang menyerah. Bagaikan seorang pejuang.

Saya pernah punya pengalaman sangat berat ketika baru pertama kali menjajal New Jersey. Sekitar enam bulan pertama di Amerika memang saya langsung tinggal di Michigan, salah satu negara bagian di Amerika yang masih sangat kurang orang Indonesianya. Di state ini saya tinggal lumayan lama, lebih setengah setahun. Setelah ‘puas’ menikmati kehidupan penuh makna di Michigan, saya akhirnya mesti pindah ke New Jersey (NJ). Sebelum berangkat ke NJ kawan-kawan saya di Michigan mengatakan dengan tatapan meyakinkan: ‘selamat berjuang’. Saya tanya kenapa? Mereka bilang ‘selamat berjuang’ oleh karena menurut mereka kehidupan di NJ akan sangat berbeda dibanding di Michigan. Jauh beda.

Di NJ dan NY itu katanya sangatlah keras dan berat. Banyaknya pendatang dari berbagai negara, termasuk Asia dan tentu saja Indonesia, ini lalu kemudian menjadikan persaingan di dua negara bagian itu menjadi luar biasa keras. Saya sudah diwanti-wanti terlebih dahulu. Dengan persiapan sedikit uang dan kemampuan berbahasa Inggris yang lumayan, kata orang di atas rata-rata sih, maka berangkatlah saya, Membawa rasa penasaran, dengan sedikit modal nekat, namun tetap juga dengan berbesar harap. Guru saya pernah mengajari bahwa pengharapan adalah salah satu kunci sukses.

Seminggu pertama di NJ dan NY saya mengalami stress tingkat tinggi. Sebulan pertama, saya tambah stress. Wah, ada apa ini kok tambah mumet saja hidup ini. Percaya tidak percaya ternyata memang sodara yang jemput saya sudah bilang bahwa nothing is so easy in this cruelty world. Eh, ternyata bener lo! Saya harus merangkak dengan susah payah untuk dapat mulai menghasilkan dan juga untuk dapat diterima belajar. Maklumlah, kita ini kan laiknya ‘warga negara kelas tiga’ (third class citizenship). Ya mau tidak mau harus siaplah, kan begitu.

Perjuangan sangat keras harus saya lewati hari demi hari tanpa henti. Pernah suatu ketika, tepatnya di bulan Agustus pada saat puncaknya summer time, dengan cuaca yang amat sangat panas, lebih panas dari Jakarta dan Manado, saya diberi schedule periksa kesehatan untuk suatu keperluan kerjaan. Acara periksa kesehatan ini sangat penting dan luar biasa menentukan. Nah, jadwal periksa kesehatan (pemeriksaan lab) di Cranbury (salah satu kota di NJ). Jaraknya ya sekitar 30-an kilometer dari kota dimana saya tinggal waktu itu, yaitu Edison. Kebetulan uang ditangan yang saya bawa memang sudah sangat pas-pasan. Tetapi saya harus tetap berangkat dong ya. Bola harus dikejar.

Saya sih sudah hitung-hitung. Untuk naik kereta sekitar 4,5 dollar, lalu dari stasiun kereta api naik taksi, ya paling bayar sekitar 20 dollar saja menuju ke laboratorium. Jadi untuk pulang pergi saya harus sedia sedikitnya 49.0 dollar lah. Di tangan saya ada 65 dollar waktu itu, sisanya masih bisa dipakai untuk beli makan seadanya, nggak apa-apa junk foodjuga oke. Dalam pikiran saya yang paling penting itu adalah supaya bisa sampai ke lab dengan baik, dan hasil pemeriksaan labnya akan oke-oke saja.

Turun dari stasiun kereta saya langsung cari taksi di sekitar stasiun. Menunggu begitu lama tetap saja belum ada tanda-tanda taksinya lewat. Padahal perut sudah mulai keroncongan. Tak kuasa menahan rasa lapar akhirnya saya menuju Burger King di seberang jalan. Lalu dengan lahap saya menyantap Burger yang cepat saji itu. Maklum perut kosong dan sudah minta diisi sesegera mungkin.

Setelah kenyang, saya menuju kasir untuk bayar. Saya bayar burger itu, hitungannya sudah sama kentang goreng dan air minum ya sekitar 4.5 dollar lah. Tetapi saya jadi kaget bin terkejut, dan lalu mulai gemetar sesaat,  kayak itu loh, ehhhm kayak disengat listrik tegangan tinggi. Kok uang di kantong saya tinggal 5 dollar? Jadi setelah bayar makanan saya yang 4.5 dolar praktis di tangan saya tinggal 50 cents dong. Alamak, gimana caranya bisa nyampe di lab kalau begini ujungnya, belum lagi untuk biaya pulang nantinya. Cemas, takut, dan stress kuadrat sayanya. Peluh bercucuran tak terbendung lagi, mana udaranya panas nggak kelulungan lagi, eh maksudnya nggak ketulungan lagi.

Saya sempat curiga ada yang nyopet uang di kantong saya sewaktu di jalan tadi. Ah, akhirnya saya buang jauh-jauh pikiran itu, sebab kereta sepi dan tidak ada yang berdesak-desakkan kayak di dalam metro mini atau transjakarta di Indonesia. Lalu kemana uangnya toh? Saya menduga bahwa uang itu bisa jadi jatuh sewaktu sayanya duduk selonjoran di bangku kereta. Salah saya sih, duduk kok selonjoran kayak orang nggak ada kerjaan saja. Tapi ya sudahlah, mau disesalin juga percuma sih. Apeeeesss nian.

Stress dan kelimpungan sendiri saya di pelataran stasiun kereta itu, karena jelas tidak mungkin saya cegat taksi sementara saya tidak punya sisa uang lagi. Yang tertinggal ya 50 cents itu tadi. Untuk apa 50 cents itu? Dipakai beli permen pun hanya dapat 1 biji kali. Saya hanya bisa berdoa dan terus berdoa. Meminta mujizat Tuhan terjadi saat itu juga di stasiun kereta itu pukul satu.

Waktu terus berjalan, tetapi mujizat tak kunjung datang, bukannya mujizat yang datang eeh malah yang tiba-tiba nongol entah dari mana, adalah seorang petugas security berbadan kekar, yang mungkin sedari tadi sudah mulai curiga melihat gerak gerik saya yang bingung dan planga plongo kayak orang linglung bin mencurigakan. Ia anggap gerak gerik saya amat mencurigakan. Jangan-jangan saya ini teroris katanya. Idih, amit-amit deh, saya kan nggak ada tampang teroris. Kesal juga sih, kan saya nggak ada tampang penjahat gitu loh. Sembarangan aja sekuriti itu....Hehehe.                                                                                                   

Akhirnya, saya tiba pada kesimpulan, tidak boleh menunggu lebih lama lagi karena lab bisa-bisa keburu tutup, apalagi kalau sudah terlalu sore. Harus segera bertindak nih. Lalu saya mesti bagaimana coba? Tak perlu berlama-lama otak saya langsung ambil keputusan untuk mulai jalan kaki saja menuju lab itu. Panas terik, jarak yang pastinya lumayan jauh, atau bahkan sangat jauh, ditambah lagi tidak ada persediaan air minum tidak membuat saya kepikiran untuk mundur atau bersurut langkah. Ah, tapi tidak boleh seperti itu. Maju terus adalah harga mati. “Semangat....”, begitu kata batin saya.

Perjalanan memang jauh dan menanjak. Lengkap sudah penderitaan saya ini. Sudah sekitar 1 jam lebih saya jalan, hari semakin menyore (istilah saya untuk bilang semakin sore). Karena panasnya cuaca maka beberapa kali saya pun harus berhenti sejenak untuk berteduh di bawah pohon rindang pinggir jalan. Istirahat pun tak bisa berlama-lama karena kejar waktu (bukan kejar tayang). Memang sih, sang waktu tidak akan lari namun harus saya kejar lah, kalau perlu kejarnya ya dengan berlari-lari, bayangkan coba. Betapa menderitanya saya. Anak Jakarta bilang, “Kasihan deh gue...”

Memasuki dua jam saya berjalan di teriknya mentari yang amat tidak bersahabat itu, harapan saya sedikit demi sedikit mulai pupus, dan seketika perasaan putus asa kerap menyeruak muncul tiba-tiba. Pertama, saya sudah tidak kuat menahan haus. Kedua, saya mulai ragu apakah saya bisa sampai sebelum lab itu benar-benar tutup. Ketiga, saya tidak punya uang lagi untuk beli apapun termasuk untuk beli air minum. Memang benar-benar tak sanggup lagi berpikir jernih saat itu.

Braaak! Tiba-tiba saya jatuh. Kaget saya, karena begitu lelahnya, ketika kaki saya terantuk batu pinggir jalan yang lumayan besar dengan mudahnya saya jatuh. Pas terjatuh itu, tiba-tiba mata saya tertuju pada sebuah botol Sprite yang masih ada isinya setengah (bukan mau promosi Sprite loh ya). Mungkin itu punya orang yang dibuang sembarangan, atau ditinggal pergi begitu saja di sebelah batu besar itu. Tanpa malu, ragu, dan khawatir apapun saya langsung saja ambil botol itu dan meminum sisa sprite yang di kerongkongan saya terasa bagaikan cairan penyelamat. Nggak ada orang yang lihat karena situasi sepi.

Benar-benar kehausan saya, dan seketika itu juga dahaga langsung terpuaskan dengan setengah botol sprite sisa orang. Saya harus bersyukur ada sisa minuman itu di situ, sehingga saya pun urung mati kehausan. Ternyata, ada hal-hal dalam hidup ini yang membuat kita untuk terus bersyukur ya. Sisa minuman orang itupun pantas saya syukuri. Bersyukur tentu tidak melulu ketika kita dapat sesuatu yang besar, yang enak, yang baik, yang manis, yang harum, yang sedap, atau yang hebat-hebat saja. Bersyukur itu mestinya dalam segala hal.

Saya kembali berjalan. Perjalanan inipun seperti jadi saksi, rupanya untuk meraih sesuatu tidak ada yang instant. Dengan langkah kaki gontai saya lanjutkan perjalanan. Tiba-tiba dari arah depan muncul sebuah mobil CR-V hitam yang secara mendadak berhenti tak jauh di samping saya. Dari dalam mobil terlihat turun tergesa-gesa tiga orang hitam berbadan kekar. Ada tato burung elang di tangan salah seorang diantara mereka yang badannya paling gede, wuih badannya man, segede gaban. Saya duga mereka ini pendatang asal Nigeria atau Kenya. Belakangan saya tahu bahwa memang mereka itu asal Kenya dan Nigeria.

Di pikiran saya langsung muncul macam-macam. Saya pikir mereka ini pasti penjahat yang akan coba merampok saya. Tatapan mereka tanpa senyuman dan gaya mereka slengean banget. Saya mundur dan jaga jarak. Tentu walau tidak mahir berkelahi saya sudah pasang kuda-kuda siap meladeni pengeroyokan ini bila benar terjadi. Rada ketir dan takut juga sih.Tetapi apa boleh buat, keadaan sudah kepepet begini, tidak ada ruang untuk lari, tenaga sudah habis, ya mau tidak mau harus siap. Di otak saya hanya satu, yaitu supaya jangan sampai saya pulang nanti tinggal nama, sementara raga sudah tidak dikandung badan lagi.

Mereka makin mendekat, dengan langkah agak cepat ketiganya semakin mendekat, lalu terus mendekat. Setelah benar-benar berhadapan, orang hitam bertato itu berkata pelan, “Do you need help? We saw you fell down...” Saya kaget namun tetap curiga. Saya sedikit menggertak mereka dan ancam untuk supaya mereka tidak macam-macam dengan saya. Habis itu saya diam saja menunggu mereka berkata apa. Satu di antara mereka, yang orangnya paling tinggi, kayak pemain basket NBA itu tertawa kuat, "Hua ha ha!" katanya. Lalu ia berucap begini, Where do you go? we can drop you off...” Mereka lalu bilang dengan sangat tenang bahwasanya mereka sama sekali tidak bermaksud jahat. Mereka juga bilang pada saya untuk jangan hanya melihat penampilan luar mereka saja. Saya tambah kaget, namun cepat-cepat saya bilang kemana arah tujuan saya. (Tentu saja saya malu, karena orang yang saya anggap punya niat jahat ternyata merekalah yang menolong saya). Itu.

Ternyata setelah ngobrol cukup lama dengan mereka, nampaknya sih mereka itu orang baik-baik. Lalu, singkat cerita, saya dianterin langsung ke lab. Dan, di sana saya akhirnya berhasil periksa kesehatan sesuai jadwal, serta mendapatkan hasilnya keesokan hari dengan hasil sangat baik.

Yang ingin saya katakan adalah betapa cepatnya kita menilai orang hanya oleh karena penampilan mereka. Saya salah menilai ketiga orang hitam itu karena penampilan luar mereka semata. Akan tetapi, justru merekalah yang menolong saya sampai dua kali. Setelah hari itu, mereka jugalah yang mengenalkan saya pada seseorang yang kelak di kemudian hari menjadi boss saya. Akhirnya mereka juga jadi teman saya, dan masih saling kontak sampai saat ini. Luar biasa.

Selanjutnya.............

Pengalaman ke dua adalah tentang boss saya yang amat keras, dan pemarah. Menurut sebagian orang dia itu bengis dan tak punya hati. Saya sih masih percaya bahwa tidak ada manusia yang tak punya hati. Ayam saja punya hati, dan kalau sudah dimasak oooh enak banget itu hati ayam. Bener. Serius. Coba saja sendiri kalau masih kurang yakin.

Nah, boss saya yang satu ini memang luar biasa ‘kejam’. Kata beberapa kawan sekantor saya dia itu arogan dan tak pedulian orangnya. Itu juga menurut yang saya rasakan sih.

Begini ceritanya. Posisi saya Group Leader atau setara supervisor pada saat itu, di perusahaan itu. Nah, setiap kali saya berhasil mencapai target dalam pekerjaan, umpamanya meminimalisir scrap, dan itu berarti sanggup meningkatkan produksi, serta juga berhasil menindaklanjuti customer complaint dengan sangat naik.....eeh tetap saja tidak pernah ada satupun apresiasi datang dari dia. Sekecil kacang goreng pun tidak. Benar-benar saya ini tidak dianggap. Baginya saya ini bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa. Saya hanyalah ‘kutu’ di perusahaan itu. Dia pernah bisiki saya kata-kata persis seperti itu. Apa dia mau buat saya benar-benar tertekan dan keluar dari perusahaan itu?

Banyak contoh kasus. Berkali-kali line atau divisi yang saya pimpin terpilih jadi yang terbaik.  Dari pusat memberikan predikat The best lah. Namun apa kata dia? “Kamu masih kurang, Mike..” Hah, what?!Are you crazy...?!” Demikianlah saya ngedumel dalam hati. Ya, hanya bisa di dalam hati.

Pokoknya di mata dia tidak ada satupun yang saya kerjakan yang berkenan dan menarik hatinya. Padahal saya sudah berusaha sekuat dan semampu saya, hasilnya pun diakui divisi lain. Tapi tidak bagi dia! Di mata saya dia itu manusia super arogan, bodoh, dan tidak punya hati. Ingin rasanya saya masak dia dalam sebuah kuali besar, biar tau rasa. Kok tiba-tiba saya teringat novel dan film berjudul “My Stupid Boss” ya? Jangan-jangan boss saya ini buta hati dan emang stupid kayak si boss dalam film itu ya? Abis kelakukannya kayak gitu, bikin jengkel saja.

Berbulan-bulan keadaan seperti itu terus berlanjut. Batas kesabaran saya mulai terkikis habis. Rasanya ingin cepat-cepat mengundurkan diri (resign) dari kerjaan ini. Siapa yang tidak sakit hati jadi orang yang tidak dihargai sama sekali. Kawan-kawan saya justru memanas-manasi saya, “Kalau kamu mundur berarti kamu kalah dari dia…” Ini yang membuat saya bertahan. Saya bukan manusia penakut yang cepat mengaku kalah, selama saya tahu apa yang saya kerjakan baik dan benar.

Akhirnya tibalah kita pada penilaian akhir tahun, dimana dewan direksi (pimpinan perusahaan) akan memberikan penilaian secara keseluruhan berdasarkan masukan, tanggapan, dan nilai-nilai yang diberikan atasan langsung (Manager) masing-masing kita.

Nama setiap kita (Group Leader) akan dipanggil dan semua apa yang kita lakukan akan dipertaruhkan. Giliran nama saya dipanggil, saya maju dengan tidak terlalu antusias. Saya tak melihat boss saya di ruangan itu, hati sedikit lega sih karena itu berarti tim penilai akan menilai secara langsung tanpa sanggahan, tanggapan, atau ocehan tak jelas dan tak ada juntrungan apapun dari boss keblinger saya itu. Tapi kok tumben ya dia kagak nongol di acara sepenting ini? Ada apa ya?

Eeeh baru saja semenit rasa senang saya menyeruak muncul, ternyata dari pintu depan masuklah boss saya ke dalam ruangan sambil duduk di atas kursi roda. Teringat saya, dia memang lagi sakit lumayan berat dan harus bolak-balik menggunakan kursi roda. Di hati saya berkecamuk dua rasa sekaligus, yaitu iba dan benci. Kayak permen nano-nano saja. Dalam hati saya sangat berharap dia tak usah muncul di ruangan itu, tetap saja sakit di rumah sakit sana. Betapa piciknya pikiran saya itu. Tetapi keadaan memang ‘memaksa’ saya untuk membencinya. Di sisi lain saya kasihan banget dia lagi sakit lumayan berat.

Dia mendekat ke arah depan dengan kursi rodanya yang didorong seorang staffnya. Berhenti sejajar dengan para big boss perusahaan yang akan memberikan penilaian.

Kini tiba gilirannya untuk bicara. Dia menatap saya tajam dengan sorotan mata yang terlihat ganas itu. Saya balik menatap dia dengan kebencian yang membuncah. Ingin sekali rasanya tangan ini memukul kepalanya yang setengah botak itu. Serius.

Jikalau saja saya punya kekuatan super, kayak si Iron Man di film hebat itu, sudah sejak lama saya lumat-lumat orang ini. Pikiran saya menerawang. Eh, suaranya semakin meninggi, seketika itu juga saya tersadar dari angan dan lamunan saya. Mencoba menyimak kata demi kata yang keluar dari mulutnya. Nada bicaranya berat, bergetar, dan kayaknya lagi menahan sakit sih.

Dia memulai dengan satu kalimat pendek, “I will only speak once, and after this I will go back to hospital for another check up…”.Di balik ketegaran, suaranya yang keras dan berat itu nampak sangat penderitaan sakit yang ia derita. Saya, dan mungkin banyak yang lain masih bisa melihat raut wajah menahan sakit yang coba ia sembunyikan. Sungguh kasihan.

Boss saya lalu melanjutkan penilaiannya, yang membuat saya seperti disambar petir, dan membuat saya susah untuk bisa tidur beberapa hari setelah itu. Saat dia membuka mulut pertama kali, saya yakin bahwa kini tamatlah sudah riwayat saya di perusahaan itu karena dia pasti akan hajar dan jelek-jelekin saya habis-habisan, menurut versi dia. Saya sudah siapkan antisipasi untuk hasil terburuk, ya apalagi kalau bukan surat pengunduran diri. Ini batas terakhir menurut saya.

Namun ternyata semuanya di luar dugaan. Apa yang dia katakana di ‘sidang’ itu tak pernah terlintas sedikitpun dalam benak saya. Boss saya justru memuji saya habis-habisan. Dia mengatakan bahwa tidak akan pernah divisi yang saya tangani ini jadi bagus seperti ini kalau saya tidak ditempatkan di situ dan diberi kesempatan. Dia masih menambahkan, kalau boleh ada orang yang mendapat penghargaan “Best Achievement” di bagian yang dia pimpin maka menurutnya orang itu adalah saya.

Setelah dia menjelaskan panjang lebar, dia lalu mengunci dengan satu kalimat, yang membuat saya harus menititkkan air mata, sesuatu yang sebetulnya sebagai laki-laki pantang saya lakukan jikalau tidak dalam kondisi amat sangat terpaksa. Kalimat itu adalah, “Karena saya sakit, mungkin saja umur saya sudah tidak akan lama lagi, maka saya rekomendasikan Mike untuk menggantikan posisi saya, bila itu memungkinkan dan valid…Dia orang paling tepat dan paling pantas saat ini, menurut kacamata saya!” Ini luar biasa membekas di hati saya. Sampai sekarang.

Singkat cerita, setelah selesai dan dia dengan kursi rodanya sudah dalam perjalanan menuju mobil, saya cepat-cepat susul dia. Sambil jalan beriringan saya tanya kenapa dia bisa berubah begitu cepat untuk saya? Bukankah sudah selama setahun ini dia amat membenci saya?

Jawabannya juga akhirnya kembali menampar saya cukup keras. “Kamu hanya melihat saya dari luarnya saja, tetapi kamu tidak pernah tahu isi hati saya kan?” Dia lalu mengatakan bahwa sebetulnya selama setahun ini dia memang kagum luar biasa dengan apa yang saya lakukan, tetapi ia tidak mau saya jadi cepat puas, oleh karena itu juga maka sikap seperti itulah yang selama ini ia tunjukkan. Dia ingin membentuk saya lebih baik lagi.

Dia bilang bahwa setiap boss punya cara tersendiri dalam mendidik dan menghargai anak buahnya, dan itulah cara yang dia pakai. Caranya dia sendiri.“Asal kamu tahu, semua keberhasilanmu saya catat dalam catatan khusus saya, dan sebetulnya sudah saya siapkan hadiah untuk kamu. Hadiahmu ya kamu sudah tahu tadi. Jadi ingatlah bahwa saya tidak pernah menutup mata atau tidak menghargai kamu, tetapi ya begitulah cara saya….harap kamu mengerti”,kira-kira seperti itulah kalimat terkahir dia sebelum kembali ke RS. Sambil saling berjabat tangan erat, ia menepuk pundak saya dan tersenyum hangat.

Saya hanya bisa berdoa pada Tuhan, supaya ia masih diberikan kekuatan dan kesehatan menjalani hari-hari hidupnya. Saya juga meminta maaf karena sudah ber-negative thinking pada seseorang yang sebetulnya baik hatinya.

So guys, nikmatilah hidup ini dan jangan sekali-kali hanya menilai orang dari penampilan luarnya saja, atau apa yang hanya kelihatan dari kulitnya semata....Cheers! ---Michael Sendow---

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun