Mohon tunggu...
Michael Sendow
Michael Sendow Mohon Tunggu... Wiraswasta - Writter

Motto: As long as you are still alive, you can change and grow. You can do anything you want to do, be anything you want to be. Cheers... http://tulisanmich.blogspot.com/ *** http://bahasainggrisunik.blogspot.co.id/ *) Menyukai permainan catur dan gaple. Menulis adalah 'nafas' seorang penulis sejati. I can breath because I always write something...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pengalaman Pribadi: Jangan Nilai Seseorang Dari Luarnya Saja

15 Juni 2016   14:34 Diperbarui: 15 Juni 2016   14:40 808
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Begini ceritanya. Posisi saya Group Leader atau setara supervisor pada saat itu, di perusahaan itu. Nah, setiap kali saya berhasil mencapai target dalam pekerjaan, umpamanya meminimalisir scrap, dan itu berarti sanggup meningkatkan produksi, serta juga berhasil menindaklanjuti customer complaint dengan sangat naik.....eeh tetap saja tidak pernah ada satupun apresiasi datang dari dia. Sekecil kacang goreng pun tidak. Benar-benar saya ini tidak dianggap. Baginya saya ini bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa. Saya hanyalah ‘kutu’ di perusahaan itu. Dia pernah bisiki saya kata-kata persis seperti itu. Apa dia mau buat saya benar-benar tertekan dan keluar dari perusahaan itu?

Banyak contoh kasus. Berkali-kali line atau divisi yang saya pimpin terpilih jadi yang terbaik.  Dari pusat memberikan predikat The best lah. Namun apa kata dia? “Kamu masih kurang, Mike..” Hah, what?!Are you crazy...?!” Demikianlah saya ngedumel dalam hati. Ya, hanya bisa di dalam hati.

Pokoknya di mata dia tidak ada satupun yang saya kerjakan yang berkenan dan menarik hatinya. Padahal saya sudah berusaha sekuat dan semampu saya, hasilnya pun diakui divisi lain. Tapi tidak bagi dia! Di mata saya dia itu manusia super arogan, bodoh, dan tidak punya hati. Ingin rasanya saya masak dia dalam sebuah kuali besar, biar tau rasa. Kok tiba-tiba saya teringat novel dan film berjudul “My Stupid Boss” ya? Jangan-jangan boss saya ini buta hati dan emang stupid kayak si boss dalam film itu ya? Abis kelakukannya kayak gitu, bikin jengkel saja.

Berbulan-bulan keadaan seperti itu terus berlanjut. Batas kesabaran saya mulai terkikis habis. Rasanya ingin cepat-cepat mengundurkan diri (resign) dari kerjaan ini. Siapa yang tidak sakit hati jadi orang yang tidak dihargai sama sekali. Kawan-kawan saya justru memanas-manasi saya, “Kalau kamu mundur berarti kamu kalah dari dia…” Ini yang membuat saya bertahan. Saya bukan manusia penakut yang cepat mengaku kalah, selama saya tahu apa yang saya kerjakan baik dan benar.

Akhirnya tibalah kita pada penilaian akhir tahun, dimana dewan direksi (pimpinan perusahaan) akan memberikan penilaian secara keseluruhan berdasarkan masukan, tanggapan, dan nilai-nilai yang diberikan atasan langsung (Manager) masing-masing kita.

Nama setiap kita (Group Leader) akan dipanggil dan semua apa yang kita lakukan akan dipertaruhkan. Giliran nama saya dipanggil, saya maju dengan tidak terlalu antusias. Saya tak melihat boss saya di ruangan itu, hati sedikit lega sih karena itu berarti tim penilai akan menilai secara langsung tanpa sanggahan, tanggapan, atau ocehan tak jelas dan tak ada juntrungan apapun dari boss keblinger saya itu. Tapi kok tumben ya dia kagak nongol di acara sepenting ini? Ada apa ya?

Eeeh baru saja semenit rasa senang saya menyeruak muncul, ternyata dari pintu depan masuklah boss saya ke dalam ruangan sambil duduk di atas kursi roda. Teringat saya, dia memang lagi sakit lumayan berat dan harus bolak-balik menggunakan kursi roda. Di hati saya berkecamuk dua rasa sekaligus, yaitu iba dan benci. Kayak permen nano-nano saja. Dalam hati saya sangat berharap dia tak usah muncul di ruangan itu, tetap saja sakit di rumah sakit sana. Betapa piciknya pikiran saya itu. Tetapi keadaan memang ‘memaksa’ saya untuk membencinya. Di sisi lain saya kasihan banget dia lagi sakit lumayan berat.

Dia mendekat ke arah depan dengan kursi rodanya yang didorong seorang staffnya. Berhenti sejajar dengan para big boss perusahaan yang akan memberikan penilaian.

Kini tiba gilirannya untuk bicara. Dia menatap saya tajam dengan sorotan mata yang terlihat ganas itu. Saya balik menatap dia dengan kebencian yang membuncah. Ingin sekali rasanya tangan ini memukul kepalanya yang setengah botak itu. Serius.

Jikalau saja saya punya kekuatan super, kayak si Iron Man di film hebat itu, sudah sejak lama saya lumat-lumat orang ini. Pikiran saya menerawang. Eh, suaranya semakin meninggi, seketika itu juga saya tersadar dari angan dan lamunan saya. Mencoba menyimak kata demi kata yang keluar dari mulutnya. Nada bicaranya berat, bergetar, dan kayaknya lagi menahan sakit sih.

Dia memulai dengan satu kalimat pendek, “I will only speak once, and after this I will go back to hospital for another check up…”.Di balik ketegaran, suaranya yang keras dan berat itu nampak sangat penderitaan sakit yang ia derita. Saya, dan mungkin banyak yang lain masih bisa melihat raut wajah menahan sakit yang coba ia sembunyikan. Sungguh kasihan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun