"Kau yang menutup diri dariku. Aku selalu berusaha menjangkaumu tapi kau tak pernah mau menanggapiku."
"Kau tidak tahu betapa sulitnya untuk tersenyum bahkan sedetik saja."
"Aku akan mengerti bila kau tidak sibuk mengacuhkanku."
Aku terdiam. Aku sangat iri melihatnya begitu berbahagia dengan hidup yang ia miliki. Ia miliki segalanya dalam hidup. Ia berusaha mendekatiku, berusaha merangkulku. Aku langsung menepis tangannya. Aku langsung keluar dalam amarah. Aku lihat Bu Rina dari jauh, tapi aku tidak menggubrisnya. Aku tidak tahu apa yang terjadi dengan Bu Rina dan dirinya. Aku langsung berlari keluar sekolah, pulang ke rumah.
Aku merasa begitu tidak enak dengan sikapku pagi itu, aku berusaha menelfonnya, namun tidak ada yang mengangkat. Dalam keraguan mendalam aku menelfonnya hampir tiga kali. Namun aku berhenti setelah merasa tidak pantas untuk meminta maaf lewat telefon.
Keesokan harinya tidak ada hal yang bisa kuingat setelah aku melihat surat yang bertuliskan namaku. Semua buram kepalaku serasa pecah, kakiku lemas, tidak dapat menopang tubuhku dan rasa bersalahku. Andai aku tidak egois dan sadar akan keadaannya. Seandainya aku paham keadaanmu, kawan, kau tidak akan berakhir seperti ini.
Tertuliskan di ujung kanan atas di surat itu, "Ia yang dicintai dan mencintai telah berpulang." Â Selamat jalan, kawan.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H