"Ibu tinggal sebentar, ya."
Celaka aku. Aku tahu betul beliau meninggalkan kami bukan karena ada urusan namun memang itu caranya agar kami bisa berbicara menyelesaikan masalah sendiri. Emosiku sudah agak mereda dan sepertinya ia sadar bahwa emosiku sudah mereda.
"Dulu, waktu kecil, ibu selalu melerai kita saat bertengkar gara-gara rebutan makanan. Kau ingat kan?"
Aku masih diam, seakan tidak berani menjawab pertanyaannya.
"Semenjak saat itu kau selalu menghindar dariku, aku ingin sekali bermain denganmu lagi."
Aku masih membisu. Dia membuka dompet, mengambil secarik kertas dan menunjukkannya padaku.
"Ini foto ulang tahun kita bersama ibu. Aku selalu menyimpannya sebagai kenangan."
Aku mengambil foto hitam putih itu perlahan dari tangannya dan melihat foto itu secara seksama. Melihat senyum kami, melihat betapa aku anak yang begitu berbahagia, melihat senyum ibu, senyumnya, air mata perlahan-lahan menetes. Aku tidak kuasa menahan tetesan air mataku.
"Kau tidak tahu betapa sulitnya. Kau selalu hidup bahagia, tidak pernah kesulitan mencari teman, kau memiliki keluarga yang begitu menyayangimu, kau tidak pernah kekurangan. Kau tidak pernah kehilangan orang-orang yang amat kau cintai."
Ia terdiam, membiarkanku meluapkan amarahku.
"Kau, kau selalu melewati hari tanpa beban. Kau selalu melewati hari dengan orang-orang yang kau cintai. Sedangkan aku?"