"Dia tertawa terbahak-bahak." "Kehadirannya selalu mampu membawa kecerahan dalam setiap perjumpaan kami." "Aku masih tidak habis pikir."
Sedari taman kanak-kanak, aku bersamanya. Mulai dari bertengkar siapa yang mendapatkan roti tart duluan, siapa yang mendapat balon duluan. Kami ini bukan saudara kandung, tapi sepertinya kedekatan kami menggambarkan suatu ikatan batin. Saling mengejek, menangis, saling mendorong, menangis bersahabat lagi beberapa menit kemudian karena entah kenapa kami memang sangat cocok.Â
Memasuki masa SD kami terpisah karena masalah keluargaku. Meski begitu kami tetap sering bermain, kadang juga bertengkar kecil karena saling membanggakan sekolah. "Sekolahku dong! Gurunya baik!" "Sekolahku dong! Kantinnya bersih!" Bila kuingat-ingat, pertengkaran kami memang sangat kekanak-kanakkan.
Seiring berjalannya waktu, kami punya teman-teman baru, hubungan pun agak sedikit renggang. Aku ingin bermain dengan teman baruku dan dia ingin bermain dengan teman barunya, tak masalah. Kami saling memaklumi pilihan masing-masing.Â
Lama kelamaan aku tidak pernah memberi kabar karena aku merasa ia mulai berubah, kadang ia menelepon, ingin bermain denganku katanya, tapi aku kurang begitu mengindahkan ajakannya bermain karena aku merasa kami mulai agak tidak cocok.Â
Dulu kami sering bermain konsol bersama namun sekarang tidak. Aku menghindar bermain dengannya dengan berbagai alasan, entah mengapa rasanya memang begitu malas bermain dengannya. Lalu, kami sama sekali tidak memberi kabar satu sama lain selama 3 tahun karena jarak SMP kami yang terbentang dan juga rumah kami yang cukup jauh.
Tahun ajaran baru di SMA mulai, tiba-tiba aku menemukan namanya di daftar kelasku. Seperti biasa, dia yang lebih mudah bergaul dengan orang-orang langsung mendapatkan teman untuk bersenda gurau, sedangkan aku terdiam di belakang, menyendiri, tak mengindahkan tawanya dan teman-temannya. Aku menutupi kepalaku dengan tas, ingin rasanya hari pertama itu cepat berakhir dan aku bisa cepat pulang. Tiba-tiba seseorang merangkulku
"Tidak kusangka kita bisa bersama lagi ya!!"
Aku sontak terkejut, dengan senyum yang agak terpaksa aku menjawab
"Iya, hahah."
"Kriiiinggggg!!!!" Bel berbunyi, aku langsung mengambil tasku dan pergi
"Maaf ya, aku duluan."
Aku merasa semua mata di kelas memandangku, melihat keanehanku. Tidak tau kenapa aku sangat tidak dalam suasana senang hari itu. Seharusnya aku senang bisa satu kelas lagi dengan sahabatku, tapi aku malah merasa malas. Aku malah merasa tidak memiliki teman, hari itu rasanya ingin bermalas-malasan di rumah tanpa ada yang mengganggu. Aku mengunci pandangan pada laptopku dan bermain seharian sampai malam, setelah itu aku langsung tertidur nyenyak.
Keesokan harinya aku datang hampir pagi-pagi sekali, melamun lama, menyendiri di pojok belakang kelas karena aku masih merasa sangat malas. Aku bahkan tidak memiliki gairah sama sekali untuk bersekolah. Namun dia lagi-lagi datang menghampiriku. Aku langsung mendorongnya sampai terjatuh
"Maumu ini apa!? Jangan ganggu aku!"
Seakan kehilangan diri aku langsung memukulinya. Dia yang sudah tidak bisa menahan emosi pun melawan. Terjadi baku hantam antara dua sahabat sejati lama yang menjadi asing. Wali kelas kami pun langsung melerai kami dan membawa kami ke BK, ruangan yang familiar bagiku. Guru BK, Bu Rina duduk di kursinya dan mulai bertanya-tanya pada kami. Namun aku tidak pernah mengira bahwa beliau tidak seperti guru BK yang pernah aku temui. Suaranya begitu menentramkan hati, serasa berbicara dengan ibuku sendiri. Dulu, saat kami bertengkar ibukulah yang menenangkan kami.
"Kalian ini kenapa?"
"Dia tidak mau meninggalkanku, Bu."
Dia hanya terdiam.
"Bukannya kalian sahabat waktu kecil?"
Aku terdiam. Semua kenangan masa kecilku bersama muncul satu per satu ke dalam benakku. Kalimat Bu Rina seakan memanggil kenangan-kenangan itu ke dalam pikiranku. Aku ingat persis tiap pertengkaran kami, tiap salah aku atau dia yang menolak masuk jika salah satu tidak hadir. Aku ingat suara ibuku yang melerai kami saat bertengkar.
"Iya, Bu," jawabnya. Aku masih tetap terdiam melihat lantai, agak malu dengan diriku sendiri yang malah membuat masalah dengan sahabat sendiri. Aku tidak tahu apa yang terjadi pada diriku, aku tidak tahu sejak kapan aku jadi orang yang emosional. Bu Rina yang sudah mengenalku dari kecil tahu semua masalahku karena beliau adalah tetanggaku, aku sering main ke rumahnya dari SD, bahkan Bu Rina sudah kuanggap keluargaku sendiri.
"Ibu tinggal sebentar, ya."
Celaka aku. Aku tahu betul beliau meninggalkan kami bukan karena ada urusan namun memang itu caranya agar kami bisa berbicara menyelesaikan masalah sendiri. Emosiku sudah agak mereda dan sepertinya ia sadar bahwa emosiku sudah mereda.
"Dulu, waktu kecil, ibu selalu melerai kita saat bertengkar gara-gara rebutan makanan. Kau ingat kan?"
Aku masih diam, seakan tidak berani menjawab pertanyaannya.
"Semenjak saat itu kau selalu menghindar dariku, aku ingin sekali bermain denganmu lagi."
Aku masih membisu. Dia membuka dompet, mengambil secarik kertas dan menunjukkannya padaku.
"Ini foto ulang tahun kita bersama ibu. Aku selalu menyimpannya sebagai kenangan."
Aku mengambil foto hitam putih itu perlahan dari tangannya dan melihat foto itu secara seksama. Melihat senyum kami, melihat betapa aku anak yang begitu berbahagia, melihat senyum ibu, senyumnya, air mata perlahan-lahan menetes. Aku tidak kuasa menahan tetesan air mataku.
"Kau tidak tahu betapa sulitnya. Kau selalu hidup bahagia, tidak pernah kesulitan mencari teman, kau memiliki keluarga yang begitu menyayangimu, kau tidak pernah kekurangan. Kau tidak pernah kehilangan orang-orang yang amat kau cintai."
Ia terdiam, membiarkanku meluapkan amarahku.
"Kau, kau selalu melewati hari tanpa beban. Kau selalu melewati hari dengan orang-orang yang kau cintai. Sedangkan aku?"
"Kau yang menutup diri dariku. Aku selalu berusaha menjangkaumu tapi kau tak pernah mau menanggapiku."
"Kau tidak tahu betapa sulitnya untuk tersenyum bahkan sedetik saja."
"Aku akan mengerti bila kau tidak sibuk mengacuhkanku."
Aku terdiam. Aku sangat iri melihatnya begitu berbahagia dengan hidup yang ia miliki. Ia miliki segalanya dalam hidup. Ia berusaha mendekatiku, berusaha merangkulku. Aku langsung menepis tangannya. Aku langsung keluar dalam amarah. Aku lihat Bu Rina dari jauh, tapi aku tidak menggubrisnya. Aku tidak tahu apa yang terjadi dengan Bu Rina dan dirinya. Aku langsung berlari keluar sekolah, pulang ke rumah.
Aku merasa begitu tidak enak dengan sikapku pagi itu, aku berusaha menelfonnya, namun tidak ada yang mengangkat. Dalam keraguan mendalam aku menelfonnya hampir tiga kali. Namun aku berhenti setelah merasa tidak pantas untuk meminta maaf lewat telefon.
Keesokan harinya tidak ada hal yang bisa kuingat setelah aku melihat surat yang bertuliskan namaku. Semua buram kepalaku serasa pecah, kakiku lemas, tidak dapat menopang tubuhku dan rasa bersalahku. Andai aku tidak egois dan sadar akan keadaannya. Seandainya aku paham keadaanmu, kawan, kau tidak akan berakhir seperti ini.
Tertuliskan di ujung kanan atas di surat itu, "Ia yang dicintai dan mencintai telah berpulang." Â Selamat jalan, kawan.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H