Aku harus kembali berhadapan dengan sebuah tembok tak terlihat, bernama ketakutan dan rasa cemas. Tidak banyak yang bisa kujelaskan saat ini, selain perasaan mual dan sesak yang memenuhi dadaku, jantung berdebar tak beraturan, leher tercekat, dan napas yang tersendat-sendat.
Apa yang sedang kupikirkan saat ini? Aku tidak tahu.
Karena itulah aku sedang berada dalam gerbong kereta ini, mencari jawaban. Akhir-akhir ini banyak orang orang mulai kehilangan kesadaran atas dirinya sendiri. Demi menjawab segala hal yang terjadi, kini muncul tokoh tak bernama yang disebut-sebut bisa membantu menemukan apa yang selama ini tidak bisa ditemukan dalam diri seseorang.
Ah, mungkinkah dia yang dimaksud dengan juru selamat? Atau dia hanyalah tukang tipu yang mahir membual?
Yahh... untuk apa juga aku memikirkan siapa dia. Yang terpenting bagiku saat ini adalah aku harus bertemu dengannya. Mungkin dia membantuku menemukan jalan keluar dari kekacauan yang tak bisa kujelaskan ini.
Aku menarik napas panjang, mengalihkan pandanganku dari jendela yang gelap, tanpa cahaya apapun. Aku menyalakan ponselku, melirik jam yang terpampang jelas, pukul empat dini hari. Aku mengitarkan pandanganku ke seluruh arah, hanya ada satu dua orang yang mengisi gerbong ini dan semuanya masih sibuk terlelap.
Aku tersenyum simpul. Alangkah damainya wajah-wajah yang terlelap itu. Mereka pasti merasa sangat kelelahan dalam perjalanan ini. Kira-kira di mana stasiun akhir mereka nanti? Tempat seperti apa yang sedang mereka tuju dan apa yang sedang mereka cari?
Dalam hidup ini ada banyak hal yang memaksa seseorang untuk menyerah berkali-kali: kehilangan, kehampaan, kesedihan, ketidakberdayaan. Seberat apapun hari yang seseorang lewati, tidur bisa menjadi salah satu cara untuk mengistirahatkan diri sejanak.
Wajah-wajah yang damai itu, aku akan memberikan sebuah hadiah kecil. Aku membuka telapak tanganku, membiarkan cahaya-cahaya kecil berwarna kebiruan itu membebaskan dirinya, menghampiri orang-orang yang sedang terlelap dalam gerbong ini.
Aku bisa melihat orang-orang itu mulai tersenyum. Ya... mereka berhak mendapatkan mimpi indah itu. Dengan begitu, kuharap mereka bisa punya harapan dan semangat baru untuk melanjutkan hidup saat bangun nanti.
"Terasa damai, ya?"
Suara dari arah belakang itu mengejutkanku. Aku mendongak secara spontan, dia berdiri tepat di sana. Menopangkan diri pada kursi yang kududuki sambil tersenyum menatapku. Dia bergerak dari posisinya, berpindah, mengambil posisi di kursi sebelahku. Aku tak bisa melepaskan pandanganku darinya.
"Oh iya, apakah tadi yang kamu lakukan itu semacam sihir?" Tanyanya, sambil menatap telapak tanganya sendiri. Dia bermain-main menirukan gerakkan tanganku. Tunggu dulu! Apakah dia...
"Kamu melihatnya?"
"Iya." Dia menjawabnya dengan suara yang terdengar tenang, seolah itu bukan apa-apa.
"Semuanya?" Tanyaku.
Aku harus memastikannya. Biasa saja dia hanya datang untuk menggertakku. Tidak ada yang bisa melihat rahasiaku tadi, atau lebih tepatnya tidak boleh ada yang mengetahuinya.
"Se-mu-a-nya... Cahayanya benar-benar indah."
"Bagaimana bisa?" Tanyaku, lagi.
"Aku melihatnya begitu saja. Memangnya kenapa? Apakah seharusnya aku tidak melihatnya? Sebentar... apakah ini rahasia? Wahh... ini sangat menarik." Dia tersenyum lebar, terlihat begitu puas dengan kesimpulan yang Ia dapatkan dari reaksiku.
"Jadi... siapa kamu sebenarnya? Ah, atau kebih cocok jika aku tanya kamu itu apa?" Matanya yang bulat itu mengerjap-ngerjap menatapku.
"Aku tidak harus memberitahukan identitasku pada orang yang baru saja kutemui."
"Ah, benar juga." Dia terkekeh.
"Jadi... kenapa kamu harus pergi menemuinya? Orang tanpa nama itu."
Mataku membelalak, "apa maksudm-"
"Kau tahu? Aku sedikit banyak bisa membaca pikiran seseorang." Jawabnya ringan.Â
"Apakah memang masalahmu seberat itu?"
"Siapa kamu sebenarnya?" Tanyaku setengah panik.
"Yah... kupikir aku tidak harus memberitahukan identitasku pada orang yang baru pertama kali kutemui." Dia menyengir ke arahku.
Aku menelan ludahku yang terasa getir. Aku merasa seperti sedang dipermainkan, dan itu cukup membuatku terluka.
"Jadi... apa masalahmu?" lanjutnya.
Aku membungkam mulutku sejenak.
Baiklah...
"Itu bukan masalah. Aku hanya perlu seseorang membantuku mempertimbangkan sesuatu."
Itu memang bukan masalah besar. Lagi pula, untuk apa juga aku harus menyimpannya sendirian begitu lama? Menahan semuanya rapat-rapat lama tidak lantas menjadikan aku seseorang yang kuat dan mampu menyelesaikan semuanya. Mereka hanya akan berlarut-larut, menggumpal seperti gulungan benang kusut.
"Kalau begitu, kenapa tidak ceritakan sedikit padaku?" Bisiknya. Aku bisa merasakan kalau saat ini dia sedang mencoba merayuku. Membujukku membuka kunci sebuah ruangan yang selama ini berusaha kulupakan.
Aku menutup mataku beberapa saat. Menarik napas panjang, mencoba menarik semua hal di sekitarku. Aku berusaha memahami satu demi satu emosi yang tertanam jauh di dalam hatiku. Mengendalikannya, berharap bisa memproyeksikannya dengan kata-kata yang tepat.
"Aku ingin menghilang, tapi kurasa menghilang saja sudah tidak cukup. Jadi aku ingin tahu bagaimana caranya menghilang sembari menghapus keberadaanku dari ingatan orang-orang."
"Ah... kurasa itu sulit."
"Aku tahu..."
"Kenapa kamu ingin menghilang dari ingatan orang-orang?"
"Aku tidak ingin membuat mereka bersedih karena mengingatku setelah aku memutuskan untuk pergi nanti."
"Hmm.. bagaimana kalau kamu buat mereka semua membencimu?" Usulnya.
"Orang tidak mudah melupakan seseorang yang mereka benci." Kataku.
"Jadii... yang terpenting bagimu saat ini adalah mereka melupakanmu?" Tanyanya.
"Ya."
Hening. Hanya terdengar ritme beraturan dari napas orang-orang yang tertidur pulas, deru mesin, suara gerbong yang bergerak akibat kereta yang melaju dengan kecepatan sedang.
"Apakah kamu masih berencana melanjutkan perjalananmu?"
Rasanya, makin lama dia makin menyerupai mesin penanya. Dari mana dia mendapatkan semua ide pertanyaan itu?
"Ya." Kataku singkat. Aku merasa tak perlu menjelaskan apa-apa lagi. Toh, jika tebakkanku benar, harusnya dialah yang paling mengerti apa yang ada di pikiranku saat ini. Jadi, aku tak perlu besusah payah mengelak.
Dia menarik napas panjang, "Kamu tidak akan bisa membuat orang lain melupakanmu. Kenangan seseorang selalu berhubungan dengan hati. Dan keinginan untuk bermain-main dengan hati seseorang adalah sesuatu yang sangat kejam. Jadi pergilah ke manapun yang kamu mau, tapi kamu tetap tidak bisa mengubah apapun."
Aku tahu. Aku adalah orang yang paling tahu tentang hal itu. Tapi tetap saja... tidak bolehkah aku mencobanya? Tak bolehkah aku mendapatkannya? Di saat-saat seperti ini, tidak bisakah aku Tuhan mengabulkan keinginan terakhirku?
"Kalau memang itu tujuanmu, sebaiknya kamu turun dari kereta ini di stasiun pemberhentian selanjutnya. Kamu tidak boleh melibatkan orang lain ke dalam kematianmu." Katanya tegas.
Aku tersenyum. Benar. Aku tidak boleh membawa orang-orang tak bersalah ini dalam lubang gelap yang saat ini menganga di dadaku. Aku hanya harus menelannya bulat-bulat seperti biasa. Menanggungnya seorang diri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H