Aku tidak ingat kalau aku pernah tersenyum selabar itu. Hari-hari yang kutahu dan kuingat selama ini selalu diselimuti awan gelap yang siap mendatangkan badai kapanpun. Karena itu, aku melupakannya. Aku melupakan banyak hari baik yang terjadi dalam hidupku.
Leherku terasa tercekat dan hatiku kembali terasa tercabik-cabik. Dia tidak menangis, dia hanya berdiri di hadapan jasadku tanpa bergeming, tanpa jiwa. Benar-benar tidak ada binar yang tersisa di matanya. Mata itu bagai seonggok batu kali berwarna hitam keabu-abuan yang usang terkikis panas dan hujan.
Aku beranjak ke arahnya, berusaha memeluknya tapi tak bisa. Tidak ada yang bisa kusentuh dengan wujud seperti ini. Jadi aku hanya bisa bersujud, menciumi kaki ibuku dengan derai air mata yang wujudnya tak lagi bisa dilihat atau dirasa. Aku ingin memohon ampun pada ibuku. Aku amat menyesal.
Selama ini kupikir ibu tidak menyayangiku, tapi aku salah. Hari kematianku adalah kali ketiganya ibuku mati. Hari di mana dia sudah benar-benar kehilangan jiwanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H