Ibu tidak berteriak, tapi air dan pakaian-pakaian basah dengan aroma sabun yang hampir membusuk itu memaksaku bangun. Aku basah kuyup dengan tugas sekolah yang sudah susah payah kubuat berhari-hari hingga kelelahan. Ia melemparkan ember kosong itu ke arahku, lalu berbalik meninggalkanku tanpa mengatakan apapun.
Aku menatap baju-baju basah itu berserakan di lantai dan meja belajarku. Ibuku tidak berteriak, jadi aku memutuskan untuk menjadi orang yang berteriak malam itu. Aku mengejar ibuku dan menjambaknya, persis seperti yang Ia lakukan padaku saat aku masih kecil. Aku bisa merasakan kemarahannya menjalar melalui rambut-rambut yang kugengam, jadi aku makin kuat mencekramnya.
Ibuku mengerikan. Aku tidak tahu dia bisa mendapatkan kekuatan sebesar itu dari mana, tapi dia berhasil lepas dari genggamanku, dan kedudukannya kini berbalik. Dia sudah mencekik leherku dengan bersungguh-sungguh.
Di tengah kesadaran yang makin samar-samar, aku tersenyum sambil berkata, "Ya, benar! Bunuh saja aku."
Saat itu cekikannya mengendur, membuatku terlepas dari kedua tangannya. Aku terkulai lemah sembari terbatuk-batuk dengan perasaan kecewa. Kupikir aku bisa mati hati hari itu.
"Anak tidak tahu diuntung, tidak berguna, iblis! Sangat mirip dengan laki-laki bajingan itu! Harusnya aku tidak membiarkannya lahir!"
Mendadak aku merasa oksigen di sekitarku menghilang. Aku lingung. Kalimat itu terdengar lagi.
Harusnya aku tidak membiarkannya lahir.
Aku hanya bisa mengap-mengap seperti ikan yang diangkat dari akuarium, dibiarkan terkapar tanpa air. Dengan sisa napas yang kukumpulkan dengan susah payah, aku berkata dengan suara sekeras mungkin- memastikan agar suaraku mencapainya.
"Aku tidak pernah memintamu melahirkan aku ke dunia." Kataku dengan suara bergetar.
Dia kembali menoleh ke arahku dengan tatapan yang tak pernah kulihat sebelumnya. Tidak ada amarah, tidak ada kesedihan. Hanya tatapan redup. Ia tak berjalan ke arahku. Di tengah kesadaranku yang memudar, dia hanya mematung di sana hingga tatapanku berubah menjadi sepenuhnya gelap.