Mohon tunggu...
Mia Rosmayanti
Mia Rosmayanti Mohon Tunggu... Penulis - Freelancer

Menulislah dan jangan mati.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Aku Membunuh Ibuku Sebanyak Tiga Kali

5 Januari 2022   17:12 Diperbarui: 5 Januari 2022   18:24 275
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Aku tahu, malam itu adalah kematian kedua ibuku.


Setelah hari itu, aku menjalani hari-hari seperti biasanya. Seperti tidak ada yang terjadi, aku kembali bersekolah setelah di rawat beberapa hari di rumah sakit. Ibu pun kembali sibuk bekerja hingga malam seperti biasanya.

Aku hidup dalam waktu lama di tengah keheningan berkepanjangan. Makin hari, rumah yang kutinggali makin dingin dan mencekam. Karena itulah, suatu hari aku membulatkan tekad untuk meninggalkan rumahku. Aku tidak punya alasan lagi untuk tetap tinggal di sana.


Aku pergi sejauh yang kubisa, sambil berharap tidak lagi perlu bertemu dengan ibuku. Apa yang orang-orang bilang tentang kasih sayang seorang ibu hanyalah lelucon bagiku. Itu semua terasa lebih mirip sebuah olok-olok yang mencabik-cabik hatiku.


Di tengah badai dan kegelapan berkepanjangan, seseorang datang, memberi harapan pada hari-hariku seperti sebuah cahaya. Untuk pertama kalinya, aku bertemu dengan seseorang yang bersedia sarapan di atas meja yang sama denganku. Seseorang yang mengizinkanku menangis di hadapannya. Seseorang yang bersedia menepuk bahuku dengan lembut agar aku lekas jatuh tertidur.


Kupikir semuanya akan terasa sempurna, jadi aku memberikan segalanya. Tanpa menyadari bahwa jiwaku sedang digerogoti secara paksa. Aku tidak tahu bagaimana seseorang selembut itu bisa berubah menjadi orang paling buruk yang pernah kutemui, selepas aku memberitahukannya tentang kehamilanku.

Aku terlambat menyadari kalau nyatanya aku mengalami siklus yang sama seperti kehidupan ibuku. Laki-laki itu pergi meninggalkanku. Aku benar-benar telah kehilangan satu-satunya alasanku untuk tetap bertahan hidup.


Tidak, tidak! Jika anak ini lahir, maka dia akan mengalami apa yang kualami selama ini. Aku tidak bisa. Aku tidak mau hidup seperti ibuku. Aku tidak mau calon anakku mengalami apa yang kualami. Aku harus menghentikan siklus ini. Aku harus melakukan sesuatu sebelum semuanya terlambat.


Di tengah kepanikan, kemarahan, dan keputusasaan yang meluap-luap, aku memutuskan untuk mengakhiri hidupku. Saat itu, saat ayam mulai berkokok, aku memutuskan tali-tali kehidupan di pergelangan tanganku. Hari itu, saat matahari mulai terbit dan memulai hari seperti biasanya, aku terbenam dalam keabadian yang kuberi nama kematian.


Aku tidak pernah mengingat rasa sakit yang di terima oleh tubuhku. Karena itulah, aku sudah lupa bagaimana rasanya berada di ujung kehidupan hari itu. Tapi sensasi panas di kerongkongan ini, aku masih bisa merasakannya dengan jelas.


Aku tidak tahu, bagaimana ini bisa terjadi, tapi aku melihat ibuku sedang berdiri menatap peti mati berisi jasadku yang sudah diurus dengan baik. Dia memeluk bingkai berisi foto yang entah kapan dia ambil.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun