[caption caption="Koleksi pribadi"][/caption]
Mia masih terjaga meski telah lewat tengah malam. Sunyi. Tak ada suara lain kecuali geraman lemari pendingin di ruang makan dan suara dengkur halus ibu di kamar sebelah. Bapak masih seminggu lagi pulang dari ‘tur’, kata rahasia antara ia dan Bapak yang bekerja sebagai supir truk pengangkut kargo perusahaan ekspedisi yang harus mengantar muatan sampai ke seberang pulau.
Masih terngiang pertengkaran barusan tadi dengan ibu. Sudah seminggu ini Mia selalu pergi keluar setelah makan malam. Tentu saja ibu khawatir. Anak gadis satu-satunya kelayapan sendirian malam-malam. Buta lagi!
Tentu saja ibu tak tahu, atau tak mau mendengar, bahwa meskipun kornea matanya berubah menjadi abu-abu muda sejak dirinya diserang demam panas tinggi sewaktu batita dulu, Mia tetap dapat melihat. Memang yang dilihat Mia berbeda dengan penglihatan manusia dengan mata normal. Mia juga sudah lupa ‘melihat dengan mata normal’ itu seperti apa.
Kalau saja ia tahu cerita komik tentang pengacara buta yang menjadi pahlawan bertopeng pembela kebenaran bernama Dare Devil, maka mungkin ia bisa menjelaskan tentang kemampuan melihatnya, meskipun buta. Ia mampu melihat ‘emosi’ makhluk hidup yang berada di depannya, manusia, hewan ataupun tumbuhan. Hanya saja karena ia tak mengenal nama warna, ia tak bisa menjelaskan bahwa jika seseorang sedang bersedih, sensor tanpa nama yang ia miliki akan memunculkan warna biru laut. Seekor kucing yang terinjak akan memancarkan warna kuning kemerahan. Rumput yang nyaris mati kering akan tampak seperti helai coklat pudar. Mia bukan melihat cahaya, karena itu ia tak bisa mengetahui rupanya sendiri yang cantik meski berdiri di muka cermin dalam cahaya terang benderang. Oh ya, ia tahu ada kaca di depannya karena indra yang belum diketahui jenisnya itu juga memantulkan logam, seperti silikon yang ada pada cermin.
Gelap menghitam menindih kelam
Kala lensa mengelabui sendu
Menyamar raga dibuai malam
Menggulung bibir dalam ringkih syahdu
Seminggu yang lalu, Mia baru sadar bahwa dompetnya tertinggal di laci kelas tempatnya mengajar setelah lepas makan malam. Besok hari libur dan uangnya hanya yang tersisa di dompet itu. Maka ia pamit menuju SLB dimana ia menjadi guru membaca—huruf braille, tentu saja—dengan harapan mang Oyen belum balik ke kampung. Penjaga sekolah itu memang setiap akhir pekan pulang ke rumah istri mudanya di kampung. Bi Encun, istri tua mang Oyen yang tinggal di sekolah itu sudah duluan ke rumah anaknya di pinggiran kota siang tadi.
Untung mang Oyen belum berangkat, nyaris selisih dalam detik karena mang Oyen sudah mengunci pintu gerbang sekolah ketika Mia sampai. Dompetnya sudah didapat.
Rute pulang yang dilaluinya adalah rute yang biasa dilewatinya saban hari kerja, namun pada malam hari menjadi sangat berbeda. Bau-bau segala rupa menguar sepanjang jalan menuju sekolah. Aroma aneka masakan dari warung tenda, belum lagi semerbak parfum para perempuan malam baik dari wanita benar maupun jadi-jadian. Hingar-bingar musik dan suara kendaraan menghantam telinganya yang peka, membuatnya limbung nyaris terjatuh di trotoar yang telah dijajah pedagang kakilima, kalau saja tangannya tidak ditangkap oleh seseorang, bukan dua orang. Perasaannya jadi tak enak ketika ‘melihat’ rupa para penolongnya. Mia biasa memberikan nama pada warna tersebut ‘jahat’.
“Hati-hati, Neng,” kata salah seorang penolongnya, yang warnanya kurang jahat dibandingkan dengan sesorang lagi yang masih terus mencekal tangan kirinya.
“Eh..., cantik begini buta,” kata yang paling jahat. Mia bisa merasakan cahaya lain memancar, yang seharusnya dinamakan ‘warna birahi’.
“Jangan...” ucap Mia.
Dan tiba-tiba saja terdengar suara gedebuk. Dua kali. Dua warna jahat itu lenyap, berganti dengan satu wajah berwarna paling indah yang pernah dilihatnya.
“Kamu baik-baik saja?” terdengar suara rendah dan berat, suara paling menentramkan yang pernah didengarnya. Mirip suara bapak, tapi lebih rendah dan lebih dalam.
“I..i...iya, bang,” jawabnya. Dan sebelum Mia menyambung dengan ucapan terima kasih, wajah terindah itu pergi menjauh, tak peduli pada panggilan Mia yang berulang-ulang.
Seru memburu detak nadi merajam
Helai demi helai kelopak mengembun rindu
Desah sinar mengkilau derai terpendam
Menggelayut manja dalam poles senyum beradu
Tepat seminggu Mia berjalan pulang pergi dari rumah ke sekolah pada malam hari, berharap bertemu dengan sang penolong berwajah terindah. Tepat sama seperti malam minggu lalu. Suasana malam ini juga mirip. Bau masakan, semerbak parfum murahan yang menyesakkan, hingar bingar musik dan kendaraan, semua nyaris sama. Bahkan pusing kepalanya. Dan tangan yang menangkapnya—
“Mengapa kamu ke sini?”
Suara berat, rendah dan dalam yang selalu hadir dalam mimpinya seminggu ini.
Mia menoleh dan melihat wajah yang takkan dilupakannya. Warna terindah. Keagungan. Ketulusan. Kekuatan. Dan....rendah diri?
“Aku lupa jalan pulang,” katanya berbohong.
“Di mana alamat rumahmu?” tanya suara yang paling menentramkan di seantero jagat Mia.
Mia menyebutkan alamatnya.
“Dekat. Mari kuantar.”
Tawaran yang disambut Mia dengan suka cita. Tanpa harus belajar bagaimana caranya, tangan Mia sudah menggandeng lengan kekar sang penolong berwajah terindah.
“Abang siapa namanya? Namaku Mia,” ujarnya tanpa menyimpan malu.
“Rahab.” Singkat saja.
Tak apalah, untuk sementara cukup tahu namanya dulu, pikir Mia.
Ohh
Temaram berujar mengusik diam
Diksi maya pun mendayu
Sangka kan durja kian bermuram
Cadar membuyar cahya bisu
“Siapa?” suara ibu dari dalam menjawab ketuk pintu Rahab. Tentu saja Mia punya kunci sendiri, tapi ia ingin memperkenalkan Rahab kepada ibu. Ia ingin Rahab mengenal ibu dan juga bapak. Dan nanti dengan berjalannya waktu, Mia yakin Rahab kelak akan melamarnya kepada bapak.
Pintu dibuka dan muncul wajah yang paling dikenal Mia sejak ia buta. Warna cinta ibu. Tapi mendadak warna itu berubah menjadi warna takut dan....
Bruuuk...
“Ibu?” tanya Mia bingung.
“Ibumu pingsan,” jawab Rahab yang segera membopong tubuh ibu dan membawanya ke sofa di ruang tamu. Mia mengikuti dengan bingung. Ibu pingsan kenapa?
Oh ya, perkenalkan Rahab.
Rahab adalah penjaga keamanan kelab malam dekat lokasi Mia digoda lelaki iseng malam minggu lalu. Ia hanya bekerja di situ pada malam minggu. Pada hari lain, ia bertugas di kebun binatang memberi makan singa, harimau, buaya, dan hewan-hewan buas lainnya.
Sedikit yang mengenal Rahab karena ia memang jarang bersosialisasi. Dengan tubuh menjulang nyaris dua meter, berat sekati setengah, otot tubuh pejal padat, bulu di wajah tumbuh sembarang tempat, rambut sekaku kawat, Rahab adalah penjelmaan tokoh dalam dongeng Si Cantik dan Si Buruk Rupa. Bukan sebagai si Cantik, tentunya. Wajar saja ibu Mia pingsan setelah melihat rupa ‘indah’ Rahab.
Tapi siapa yang lebih mampu melihat keindahan sejati Rahab selain Mia?
________^_^__________
Kolaborasi:
RTB/RBH – Bima 11 April 2016
IH – Bandung, 11 April 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H