Seminggu yang lalu, Mia baru sadar bahwa dompetnya tertinggal di laci kelas tempatnya mengajar setelah lepas makan malam. Besok hari libur dan uangnya hanya yang tersisa di dompet itu. Maka ia pamit menuju SLB dimana ia menjadi guru membaca—huruf braille, tentu saja—dengan harapan mang Oyen belum balik ke kampung. Penjaga sekolah itu memang setiap akhir pekan pulang ke rumah istri mudanya di kampung. Bi Encun, istri tua mang Oyen yang tinggal di sekolah itu sudah duluan ke rumah anaknya di pinggiran kota siang tadi.
Untung mang Oyen belum berangkat, nyaris selisih dalam detik karena mang Oyen sudah mengunci pintu gerbang sekolah ketika Mia sampai. Dompetnya sudah didapat.
Rute pulang yang dilaluinya adalah rute yang biasa dilewatinya saban hari kerja, namun pada malam hari menjadi sangat berbeda. Bau-bau segala rupa menguar sepanjang jalan menuju sekolah. Aroma aneka masakan dari warung tenda, belum lagi semerbak parfum para perempuan malam baik dari wanita benar maupun jadi-jadian. Hingar-bingar musik dan suara kendaraan menghantam telinganya yang peka, membuatnya limbung nyaris terjatuh di trotoar yang telah dijajah pedagang kakilima, kalau saja tangannya tidak ditangkap oleh seseorang, bukan dua orang. Perasaannya jadi tak enak ketika ‘melihat’ rupa para penolongnya. Mia biasa memberikan nama pada warna tersebut ‘jahat’.
“Hati-hati, Neng,” kata salah seorang penolongnya, yang warnanya kurang jahat dibandingkan dengan sesorang lagi yang masih terus mencekal tangan kirinya.
“Eh..., cantik begini buta,” kata yang paling jahat. Mia bisa merasakan cahaya lain memancar, yang seharusnya dinamakan ‘warna birahi’.
“Jangan...” ucap Mia.
Dan tiba-tiba saja terdengar suara gedebuk. Dua kali. Dua warna jahat itu lenyap, berganti dengan satu wajah berwarna paling indah yang pernah dilihatnya.
“Kamu baik-baik saja?” terdengar suara rendah dan berat, suara paling menentramkan yang pernah didengarnya. Mirip suara bapak, tapi lebih rendah dan lebih dalam.
“I..i...iya, bang,” jawabnya. Dan sebelum Mia menyambung dengan ucapan terima kasih, wajah terindah itu pergi menjauh, tak peduli pada panggilan Mia yang berulang-ulang.
Seru memburu detak nadi merajam