Mohon tunggu...
Mia Oktavia
Mia Oktavia Mohon Tunggu... Freelancer - Unisnu '18

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh...

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Teknik Mutual Storytelling untuk Mengurangi Perilaku Bullying Pada Siswa SD

3 November 2019   20:27 Diperbarui: 3 November 2019   20:34 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

     Mutual storytelling adalah salah satu teknik dalam konseling dimana konseli dan konselor saling bercerita. Jadi, tak hanya konselor saja yang menceritakan cerita terhadap konseli, tetapi konseli juga menceritakan cerita yang dikarangnya sendiri. Erford (2015) menyatakan bahwa bercerita dapat memainkan peran yang sangat membantu dalam konseling, karena cerita mencerminkan hukum kultural, etika, dan aturan sehari-hari yang mengatur perilaku dan menjadi pedoman dalam pengambilan keputusan. Dengan menggunakan cerita, akan mengantisipasi resistensi konseli ketika membicarakan kekeliruan tindakannya karena yang diceritakan adalah kekeliruan yang dilakukan oleh tokoh dalam cerita. Konseli juga bisa diajak untuk mendiskusikan akibat yang diterima oleh tokoh cerita dari kekeliruan perilaku yang dilakukan. Dengan menggunakancerita yang relevan dengan orang tertentu di waktu tertentu, pelajaran yang disampaikan dalam Teknik mutual storytelling lebih berkemungkinan untuk diterima oleh anak-anak (Erford, 2015).

     Sebelum menggunakan teknik storytelling, penting untuk menciptakan hubungan yang baik dengan konseli dan memahami konseli. Erford (2015) menjelaskan langkah-langkah dalam mengimplementasikan teknik mutual storytelling. Langkah pertama yang dalam teknik ini adalah memunculkan cerita fiktif karangan konseli sendiri. Untuk memunculkan cerita dari konseli, konselor perlu memberikan arahan kepada konseli dan membantu konseli jika dia mengalami kesulitan dalam bercerita. Sementara konseli bercerita, konselor memperhatikan dan mencatat untuk menganalisis isi cerita maupun memformulasikan variasi cerita konselor sendiri. Ketika konseli sudah selesai bercerita, tanyakan pesan moral yang dapat diambil dari cerita tersebut, dan tanyakan pula judul cerita serta konseli ingin menjadi tokoh yang mana. Konselor juga seharusnya memfokuskan pada bagaimana konseli melihat dirinya, orang lain, dan dunia, maupun pola-pola apa dan tema-tema apa yang muncul untuk membantu konselor dalam memilih tema yang dapat diterapkan pada saat itu. Setelah mengidentifikasi mode adaptasi yang lebih matang atau lebih sehat, konselor menggunakan tokoh, ranah, dan situasi awal konseli untuk menceritakan suatu kisah yang sedikit berbeda untuk menyediakan alternative yang lebih banyak dan lebih baik untuk mengatasi berbagai masalah, mendapatkan pemahaman tentang permasalahannya, dan mengembangkan kesadaran tentang berbagai perspektif dan kemungkinan baru. Setelah konselor selesai bercerita, konseli diminta mengidentifikasi pelajaran atau moral yang terdapat dalam cerita konselor. Merekam cerita juga diperbolehkan dalam hal ini, sehingga memungkinkan konseli dapat melihat atau mendengarkan berkali-kali ceritanya maupun cerita konselor untuk mendapat pesan dari cerita tersebut.

     Beberapa ahli mengembangan variasi-variasi dalam teknik mutual storytelling ini. Gardner (Erford, 2015) mengembangkan sebuah permainan yang disebut the storytelling card game yang memungkinkan konseli untuk memilih tokoh-tokoh atau adegan latar belakang yang berfungsi untuk menstimulasi bercerita. Dia juga mengembangkan satu set permainan lain yaitu pick and tell game, yang memungkinkan konseli untuk mengambil suatu mainan, suatu kata, atau suatu gambar orang dari masing-masing bag of toys, bag of words, atau bag of faces. Konseli kemudian membuat cerita dari objek yang diambil dan menceritakan moral atau pelajaran dari cerita itu. Winnicot (Erford, 2015) mengembangkan scribble game, di mana konseli bercerita berdasarkan gambar-gambar. 

     Konselor memulai dengan menutup matanya dan menggambar pada selembar kertas. Kemudian konseli mengubah coretan-coretan tersebut menjadi sesuatu dan menceritakan tentang hal itu. Permainan dilanjutkan ketika konseli kemudian menggambar sesuatu untuk diselesaikan dan diinterpretasikan oleh konselor. Variasi-variasi yang lain yaitu bermain boneka, penggunaan wayang boneka, dan menulis cerita. Webb (Erford, 2015) menggabungkan bercerita dengan bermain boneka untuk mendorong konseli memainkan berbagai situasi keluarga. Terakhir yaitu permainan menulis mutual storytelling yang dikembangkan oleh Scorzelli dan Gold. Teknik ini melibatkan konseli dan konselor untuk membuat cerita secara bersama-sama.

     Teknik mutual storytelling dapat digunakan untuk memfasilitasi pengembangan hubungan yang baik antara konselor dengan konseli. Namun, teknik ini tidak disarankan untuk konseli yang memiliki keterampilan verbal yang kurang baik atau kemampuan kognitif di bawah rata-rata. Gardner (Erford, 2015) teknik mutual storytelling paling cocok diterapkan pada anak usia 5 sampai 11 tahun, karena anak di bawah lima tahun tidak mampu menceritakan sebuah cerita yang terorganisasi dan konseli yang berusia lebih dari sebelas tahun mulai menyadari bahwa mereka sedang mengungkapkan dirinya sendiri dalam ceritanya dan mungkin akan menjadi resisten. Akan tetapi, Stiles dan Kottman (Erford, 2015) mengungkapkan bahwa usia terbaik untuk penggunaan teknik mutual storytelling adalah antara 9 sampai 14 tahun, karena semakin tua konseli akan semakin canggih keterampilan verbal, imajinasi, dan pengalaman hidupnya.

Implementasi Pendidikan Karakter melalui Teknik Mutual Storytelling untuk Mengurangi Perilaku Bullying pada Siswa SD 

     Pendidikan karakter melalui teknik mutual storytelling untuk mengurangi perilaku bullying pada siswa Sekolah Dasar (SD) dapat dilakukan oleh konselor sekolah atau guru BK di SD dengan format layanan konseling individual. Dalam melakukan konseling dengan anak-anak, tentunya harus memperhatikan beberapa hal, misalnya setting tempat atau ruang konseling, pakaian konselor, dan media. Tentunya sebelum memberikan layanan, guru BK harus membuat asesmen terhadap siswanya. Asesmen tersebut digunakan untuk mengetahui kebutuhan siswanya, terutama siswa yang terlibat bullying atau siswa yang melakukan bullying. Ketika sudah menemukan siswa yang melakukan bullying, guru BK bisa melakukan konseling dengan siswa tersebut.

     Langkah awal yang harus dilakukan guru BK adalah memahami dan menciptakan hubungan baik dengan siswa tersebut atau dapat disebut konseli. Hubungan baik antara guru BK dengan konseli sangat dibutuhkan demi kelancaran proses konseling yang akan dilaksanakan. Jika sudah terbentuk hubungan yang baik antara guru BK dengan konseli, langkah selanjutnya adalah mengajak konseli untuk memilih media baik gambar, boneka, wayang, atau media lainnya yang akan digunakan sebagai tokoh dalam bercerita. Selanjutnya, biarkan konseli bercerita sesuai imajinasinya. Ketika konseli sedang bercerita, perhatikan dengan baik dan pahami ceritanya. Jika perlu mencatat cerita konseli untuk kepentingan analisis, guru BK diperbolehkan mencatat tetapi tidak setiap saat dan perhatiannya tetap harus ke konseli. Setelah konseli selesai bercerita, tanyakan pada konseli pesan moral yang dapat diambil dari ceritanya, judul cerita, dan tanyakan pula konseli ingin menjadi tokoh yang mana dalam ceritanya.

     Langkah selanjutnya yaitu guru BK menceritakan kembali cerita yang diceritakan konseli dengan bahasa dan alur yang berbeda sehingga menyediakan alternatif yang lebih banyak dan lebih baik untuk mengatasi berbagai masalah, mendapatkan pemahaman tentang permasalahan konseli, dan mengembangkan kesadaran tentang berbagai perspektif dan kemungkinan baru. Setelah guru BK selesai bercerita, konseli diminta mengidentifikasi pelajaran atau moral yang terdapat dalam cerita dari guru BK. Dari cerita tersebut, konseli diajak untuk mendiskusikan pesan moral cerita dan juga mengarahkan konseli untuk tidak melakukan bullying. Tentunya penyampaian tersebut harus menggunakan bahasa yang lembut dan mudah dipahami oleh konseli sehingga konseli menangkap pesan dari guru BK dengan baik. Jika langkah-langkah tersebut sudah dijalankan, terakhir kali yang harus dilakukan guru BK adalah evaluasi dan tindak lanjut terhadap hasil dari proses konseling yang sudah dilaksanakan tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun