Mohon tunggu...
Mia Oktavia
Mia Oktavia Mohon Tunggu... Freelancer - Unisnu '18

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh...

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Teknik Mutual Storytelling untuk Mengurangi Perilaku Bullying Pada Siswa SD

3 November 2019   20:27 Diperbarui: 3 November 2019   20:34 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

     Bullying terjadi pasti tidak tanpa sebab, tetapi ada faktor yang melatarbelakanginya. Quroz dkk (dalam Tirmidziani dkk, 2018) mengemukakan beberapa faktor yang menyebabkan bullying, sebagai berikut:

a. Hubungan keluarga. Lingkungan pertama yang ditemui oleh anak adalah linigkungan keluarga. Ketika anak hidup dalam keluarga yang mentoleransi kekerasan dan bullying maka anak akan menganggap bullying sebagai perilaku yang boleh dilakukan.

b. Teman sebaya. Teman sebaya yang memberikan pengaruh negatif dengan menyebarkan ide (secara aktif maupun pasif) bahwa bullying bukan masalah besar dan sesuatu yang wajar untuk dilakukan akan mendorong anak untuk melakukan bullying.

c. Faktor sekolah. Sekolah yang membiarkan perilaku bullying siswanya di sekolah, pengawasan dan bimbingan etika dari para guru rendah, sekolah dengan kedisiplinan yang sangat kaku, bimbingan yang tidak layak dan peraturan yang tidak konsisten akan membuat siswa pada sekolah tersebut melakukan bullying.

d. Media massa. Anak-anak yang melakukan bullying bias jadi karena mereka menirukan apa yang mereka lihat dan dengar di media massa.

e. Faktor budaya. Faktor kriminal budaya, seperti suasana politik yang kacau, perekonomian yang kacau, prasangka, diskriminasi, dan konflik dalam masyarakat dapat mendorong anak untuk melakukan bullying.

      Perilaku bullying dapat berdampak bagi pelaku maupun korban bullying, dampak ini terjadi dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang. Dampak jangka pendek yang mungkin timbul akibat perilaku bullying di sekolah dasar dapat berupa perasaan tidak aman dan terancam, tidak bersemangat saat belajar, tingginya tingkat ketidak hadiran disekolah, dan terjadinya penurunan prestasi akademik di sekolah. Dampak jangka panjang bagi anak korban bullying di sekolah akan mengalami trauma besar dan depresi yang akhirnya bisa menyebabkan gangguan mental di masa yang akan datang (Ehan dalam Ifa dkk, 2017). Bahkan Klomek, dkk (Kurnia, 2018) menyatakan bahwa pelaku dan korban bullying di masa remaja cenderung mengalami depresi dan berniat untuk bunuh diri. 

     Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat (Sudarsana, 2016). Menurut Megawangi (Sudarsana, 2016) di negara Cina, kesuksesan dalam menerapkan pendidikan karakter sudah dimulai sejak awal tahun 1980-an. Menurutnya, pendidikan karakter adalah untuk mengukir akhlak melalui proses knowing the good, loving the good, and acting the good. Yakni, suatu proses pendidikan yang melibatkan aspek kognitif, emosi, dan fisik, sehingga akhlak mulia bisa terukir menjadi habit of the mind, heart,and hands.

     Banyaknya bullying yang terjadi pada anak-anak bisa jadi disebabkan karena kurang efektifnya pendidikan karakter. Karena, bullying menunjukkan kurang baiknya karakter orang tersebut. Karakter yang baik terdiri dari pengetahuan tentang kebaikan, keinginan terhadap kebaikan, dan berbuat kebaikan yang dapat ditunjukkan dengan baiknya pikiran, perkataan, sikap, dan perilaku yang sesuai dengan norma-norma yang berlaku di lingkungannya. Hal tersebut dapat diwujudkan dengan menghormati dan menghargai orang lain, tidak menyakiti orang lain, jujur, bertanggung jawab, dan kerja keras.

     Hal ini sesuai dengan pendapat Thomas Lickona (Shaleh, 2018) yang menyatakan bahwa karakter tersusun dari tiga komponen bagian yang saling berhubungan yakni moral knowing, moral feeling, dan moral behavior. Menurut Koesoema (Sudarsana, 2016) pendidikan karakter bukan hanya sekedar memiliki dimensi integratif, dalam arti mengukuhkan moral intelektual anak didik sehingga menjadi pribadi yang kokoh dan tahan uji, melainkan juga bersifat kuratif secara personal maupun sosial. Pendidikan karakter di sini diharapkan dapat menyembuhkan penyakit sosial yang selama ini sudah merajalela. Pendidikan karakter ini diharapkan dapat menjadi solusi bagi proses perbaikan akhlak. 

Teknik Mutual Storytelling 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun