Mohon tunggu...
Mhd Haikal
Mhd Haikal Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Suka sekali membaca :)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ibu yang Membunuh Anaknya

24 Oktober 2013   15:59 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:05 402
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Selalu ada yang tersisa setelah hujan reda. Seperti hujan yang turun di pagi hari ini. Hujan yang turun cuma sebentar, tetapi meninggalkan jejak kesedihan yang tidak dapat aku pahami: kenapa ada seorang ibu yang tega membunuh anak kandungnya?

Dari balik kaca jendela, aku berdiri diam seraya menatap ke arah jalanan. Jalan aspal di depan rumahku yang semula kering, kini tak lagi berdebu. Tanah berubah lembap. Air hujan menggenang di pinggir jalan. Daun-daun dan ranting tanaman di pekarangan jadi basah seperti berembun. Pagar besi di depan rumah yang bercat coklat serasa membeku. Bahkan sisa hujan masih menempel di kaca jendela dan tanpa aku sadari, aku tiba-tiba menitikkan air mata. Apa setiap kesedihan yang menggumpal di hati seorang ibu dapat dijadikan alasan kuat untuk mengakhiri hidup anaknya?

Hatiku seperti disayat sembilu saat aku mendengar kabar memilukan itu. Cerita yang aku dengar dari seorang penjual sayur yang melintasi di depan rumahku itu, hingga kini masih menggantung di sudut otakku. Tepat satu jam yang lalu, pedagang sayur yang berjualan keliling dengan gerobak itu datang tertatih-tatih bersama gerobak tua yang penuh sayuran dan segala kebutuhan dapur. Seorang ibu bertanya kepadanya, mengapa ia datang terlambat.

Aku yang sedang libur bekerja dan asik membaca Koran, tiba-tiba terperenjat ketika mendengar tukang sayur itu berkata bahwa ditempatnya ia tinggal ada seorang ibu yang tega membunuh anaknya yang masih kecil. Dan pagi itu ada beberapa polisi yang datang untuk menangkap wanita tersebut. “Ibu muda itu membunuh anak kandungnya dengan cara mencekik lehernya.” Pedagang sayur itu berkata.

“Apa? Ada seorang ibu yang tega membunuh anaknya sendiri?” tanya salah seorang ibu keheranan, seraya terperanjat kaget.

“Yang bener saja, pak, ada ibu yang membunuh anaknya?” tanya ibu yang lain.

Aku pun membatin apa benar ibu tersebut seorang manusia. Seorang ibu bukannya mewarat anak yang dilahirkan, malah mencekiknya dengan kejam.

“Di zaman sekarang ini, banyak orang sudah gila. Bahkan seorang ibu sudah tidak mencintai anaknya.” Salah seorang ibu berkata, yang sepertinya itu adalah suara ibuku.

Tidak lama kemudian, ibu membayar belanjaan, lalu membuka pagar depan rumah. Aku melihat, wajah ibu diliputi duka. “Ada-ada saja orang zaman sekarang ini. Kamu sudah dengar sendiri kan, ada seorang ibu yang tega membunuh anaknya.”

“Mengapa dia tega membunuh anaknya?” tanyaku seraya mengikuti langkah ibu yang berjalan ke dapur.

“Tidak tahu, tetapi menurut ibu, walau bagaimana pun susahnya seorang ibu, dia tak akan membunuh anaknya sendiri. Sebab, anak yang dilahirkan itu lebih berharga dari jiwanya sendiri. Bagaimana mungkin seorang ibu tega membunuh anaknya.”

Aku hanya diam, tidak menjawab sepatah kata pun. Aku benci orang itu. Aku sangat membencinya. Dia telah menodai cinta seorang ibu, karenanya aku menjadi tidak percaya bahwa ibu adalah makhluk terbaik ciptaan Tuhan.

Tiba-tiba hujan turun dengan deras. Hujan yang turun seakan meneguhkan kesedihan yang terjadi di sudut bumi ini.

Ketika hujan sudah reda, aku menatap kejauhan dari balik kaca jendela,. Awan pekat masih menggantung di langit. Ada yang tersisa dari hujan tersebut. Sisa itu adalah kebencian yang menggumpal di hatiku; aku membenci ibu itu. Bajingan.

Apakah tidak semua ibu dapat mencintai anaknya dengan kecintaan yang amat tulus seperti yang telah ibuku berikan kepada diriku?

***

Sapai siang hari, cerita tentang seorang ibu yang tega membunuh anak kandungnya sendiri itu terus menghantui perasaanku. Aku memang tidak mengenal wanita yang telah membunuh anaknya itu. Tapi, tiba-tiba aku ingin pergi ke tempatnya dan melihat keadaan rumah itu setelah kejadia yang menggeparkan tersebut.

Tak ada lagi gumpalan awan. Langit cerah, bahkan matahari kembali bersinar dengan terik yang menyengat. Aku melangkah keluar rumah, lalu berjalan menelusuri jalan perumahan, dan  pergi ke perkampungan di belakang perumahan.  Dua puluh menit kemudian, setelah melewati jalan kecil dan pintu di belakang perumahan, aku tiba ke perkampungan itu. Aku terus melangkah, hingga akhirnya aku temukan sebuah warung kecil.

Haus menggerogoti tenggorokanku, dan aku memutuskan untuk membeli minuman. Setelah membayar harga minuman dan menenggak botol aqua, aku bertanya kepada penjual warung tersebut “apa benar tadi pagi di kampung ini ada seorang ibu yang tega membunuh anaknya?”

“Ya, begitulah. Zaman sudah edan.”

“Kenapa ibu itu sampai tega membunuh anaknya?”

“Tidak tahu, wanita itu bukan penduduk asli sini. Dia baru saja pindah ke sini satu bulan yang lalu. Dia tinggal bersama anak dan neneknya.”

“Apakah ibu tau dimana wanita itu tinggal, saya ingin tau di tempat seperti apakah manusia paling bejat itu tinggal.” Aku bertanya kepada ibu penjaga warung tersebut.

“Jalan aja terus, pertigaan kedua, belok ke kanan. Tak jauh dari situ, ada rumah tua bercat putih dengan pohon nangka di depan rumah, itulah rumah neneknya.”

Aku berjalan mengikuti petunjuk yang diberikan oleh ibu penjaga warung itu. Dan kini aku berdiri tidak jauh dari rumah Nenak wanita yang telah membunuh anak itu. Rumah itu menguarkan aroma duka dan senyap.

Aku melangkahkan kaki, menelusuri tanah pekarangan rumah itu. Di tempat yang kata orang-orang kampung, wanita itu ingin menguburkan anaknya, aku terhenti karena melihat sebuah amplop berwarna merah jambu yang sepertinya ada tulisannya. Aku pun memungut amplot itu dan membaca tulisan ‘Anakku Tercinta”. Hawa dingin langsung mejalar di sekujur tubuhku. Aku membuka aplop itu dan membaca setiap deret kata yang tertulis di lembaran kertas itu.

Anakku tersayang, maafkan ibu nak, Ibu harus membunuhmu…

Itulah kalimat pertama yang tertulis dalam surat tersebut. Apakah surat ini milik wanita yang membunuh anaknya itu? Saya bertanya dalam hati. Apapun itu, kalimat itu membuat saya ingin meneruskan untuk membaca surat itu sampai habis.

Anakku tersayang, enggaulah pujaan hatiku, kau lebih berharga dari diriku, jiwaku dan kehidupanku. Pujaan hatiku, semoga kau dapat hidup kembali dan berbahagia di syurga selama. Anakku tersayang semoga Tuhan dapat dapat menyambutmu dengan senyuman yang penuh iba, dan membuatmu mudah untuk mencapai jalan menuju syurga. Engkau masih suci nak, jauh dari berbagai dosa. Kau pasti masuk syurga.

Anakku tersayang, maafkan ibu nak kalau ibu tak bisa menemanimu di syurga nanti. Karena ibumu ini pasti masuk neraka. Ibu tau itu, karena ibu telah membunuhmu. Tapi, tolong maafkan ibu nak, tolong jangan benci ibumu. Biarlah ibumu di neraka, sehingga kau dapat menikmati hidup bahagia selamanya bersama para penghuni syurga yang lain.

Anakku tersayang, terima kasih atas kehadiranmu yang telah menerangi kehidupanku. Betapa bahagianya diriku ini ketika pertama kali melihatmu. Kau begitu cantik, suci, dan lembut. Tatapanmu mengobati semua rasa sakit yang ibu rasakan ketika melahirkanmu. Tangisanmu begitu menggetarkan hati ini dan membuat ibu ingin terus memelukmu. Melindungimu dari selaga kenistaan.

Anakku tersayang, kehidupan ini begitu menyakitkan. Sangat menyakitkan. Ibu tidak ingin kau menderita seperti diriku. Ibu tidak ingin engkau tenggelam dalam kenistaan. Keberadaanmu sungguh telah menerangi kehidupanku. tetapi ini tidak adil, kalau kau harus berkorban untuk menjalani kehidupan yang begitu menyakitkan hanya demi ibumu ini. Saya tidak rela membiarkanmu hidup tersiksa. Tidurlah dengan damai nak. Damai selamanya…

Ibumu yang amat mencintaimu.

Tanganku bergetar. Pipiku dibasahi tetesan air mata. Aku yakin sekali bahwa surat ini ditulis oleh wanita yang membunuh anaknya itu. Aku pun langsung menangis.

***

Aku tahu, ibu ini mencintai anaknya namun menempuh jalan cinta yang salah. Sungguh seorang ibu bodoh yang sangat mencintai anaknya. Dia tak tahu, bagaimana anaknya itu bisa belajar dari penderitaan. Dia tidak tahu, bagaimana anaknya itu bisa menemukan kesenangan ketika ia memberinya hidup. Dia tak tahu, bagaimana pun anaknya itu tetap memiliki kemungkinan untuk bisa hidup menjadi lebih baik.

Sambil bersimpuh kupejamkan mata dan berkata: “Maafkan aku, bu. Aku telah membencimu. Aku telah berburuk sangka terhadapmu. Engkau ibu yang baik, sama seperti ibu lainnya. Tapi ibu lupa satu hal, bahwa Tuhan lebih mencintai anakmu. Tuhan Yang Maha Pengasih lebih mengetahui apa yang terbaik untuk hambanya. Semoga Tuhan dapat menempatkan ibu bersama anakmu. Amin…”

Nb.  Cerita ini dibuat karena logika saya masih belum dapat menerima ada ibu yang jahat kepada anaknya. Pasti ada suatu alasan dimana beliau melakukan itu untuk kebaikan anaknya... Entah benar atau salah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun