Aku hanya diam, tidak menjawab sepatah kata pun. Aku benci orang itu. Aku sangat membencinya. Dia telah menodai cinta seorang ibu, karenanya aku menjadi tidak percaya bahwa ibu adalah makhluk terbaik ciptaan Tuhan.
Tiba-tiba hujan turun dengan deras. Hujan yang turun seakan meneguhkan kesedihan yang terjadi di sudut bumi ini.
Ketika hujan sudah reda, aku menatap kejauhan dari balik kaca jendela,. Awan pekat masih menggantung di langit. Ada yang tersisa dari hujan tersebut. Sisa itu adalah kebencian yang menggumpal di hatiku; aku membenci ibu itu. Bajingan.
Apakah tidak semua ibu dapat mencintai anaknya dengan kecintaan yang amat tulus seperti yang telah ibuku berikan kepada diriku?
***
Sapai siang hari, cerita tentang seorang ibu yang tega membunuh anak kandungnya sendiri itu terus menghantui perasaanku. Aku memang tidak mengenal wanita yang telah membunuh anaknya itu. Tapi, tiba-tiba aku ingin pergi ke tempatnya dan melihat keadaan rumah itu setelah kejadia yang menggeparkan tersebut.
Tak ada lagi gumpalan awan. Langit cerah, bahkan matahari kembali bersinar dengan terik yang menyengat. Aku melangkah keluar rumah, lalu berjalan menelusuri jalan perumahan, dan pergi ke perkampungan di belakang perumahan. Dua puluh menit kemudian, setelah melewati jalan kecil dan pintu di belakang perumahan, aku tiba ke perkampungan itu. Aku terus melangkah, hingga akhirnya aku temukan sebuah warung kecil.
Haus menggerogoti tenggorokanku, dan aku memutuskan untuk membeli minuman. Setelah membayar harga minuman dan menenggak botol aqua, aku bertanya kepada penjual warung tersebut “apa benar tadi pagi di kampung ini ada seorang ibu yang tega membunuh anaknya?”
“Ya, begitulah. Zaman sudah edan.”
“Kenapa ibu itu sampai tega membunuh anaknya?”
“Tidak tahu, wanita itu bukan penduduk asli sini. Dia baru saja pindah ke sini satu bulan yang lalu. Dia tinggal bersama anak dan neneknya.”