Mohon tunggu...
Mex Rahman
Mex Rahman Mohon Tunggu... Wiraswasta - Son-Brother-Friend

Bermimpi tiduri Monica Bellucci

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Keluarga

13 Desember 2018   22:26 Diperbarui: 13 Desember 2018   23:25 228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Jam dinding itu menunjukkan pukul 12 siang. Aku tidak kaget ataupun merasa terburu-buru, hanya saja seluruh tubuhku terasa sakit.

Dengan rasa sakit di sekujur tubuh yang aku sendiri tak tahu apa penyebabnya, dan mata yang masih terasa sangat berat untuk kubuka, tanganku merayap mencari HP yang sejak semalam tergeletak di samping bantal tempatku tidur.

Masih dalam posisi yang sama seperti saat terbangun, kupegang HP itu lalu kubuka Facebook, Twitter, kemudian menuju ke Instagram.

Tak ada yang menarik disana. Hanya foto teman-temanku di postingannya dengan raut wajah sumringah dan senyum-senyum percaya diri saat mengikuti kegiatan di hari pertama masa ospek mereka di kampusnya masing-masing.

Kuletakkan ponsel dan aku hanya bisa melamun menatap langit-langit kamar yang semakin kutatap semakin menjauh, semakin suram.

-❤-

Sore itu Bapak dan Ibu menggelar acara syukuran kecil-kecilan di rumah untuk merayakan keberhasilanku masuk SMP favorit dan Ibu yang baru saja membuka toko emas kecil di dekat alun-alun dengan mengundang tetangga-tetangga kami.

"Alhamdulilah dan terimakasih saya haturkan kepada Bapak-bapak dan Ibu-ibu yang telah berkenan hadir dalam acara tasyakuran atas nikmat yang telah Allah berikan kepada putra semata wayang kami dan Ibunya", Bapak menyambut tamu undangan yang diikuti senyum bersahabat dari para hadirin.

Bapak adalah seorang manajer di perusahaan swasta tempat dia bekerja. Hari-hari kami sangat bahagia dan dipenuhi dengan optimisme menatap masa depan.

"Pak sekarang aku sudah SMP, setelah itu aku mau masuk SMA favorit kemudian kuliah di kampus terbaik ambil jurusan ekonomi dan bisnis", ucapku kepada Bapak setelah acara selesai.

"Aku ingin membangun bisnisku sendiri yang lebih besar daripada bisnis Ibu. Doakan aku Pak, Buk", lanjutku.

Ibu adalah wirausahawan yang cukup sukses. Sebelum membuka toko emas, Ibu telah sukses di bisnis katering.

Bapak merespon ucapanku dengan anggukan penuh kebanggaan yang disusul senyum meneduhkan khas Ibuku. Kemudian mereka berdua memelukku. Sangat hangat.

-❤-

"Sultan bangun nak, sudah subuh. Bapak sudah menunggu untuk berjamaah", lirih suara Ibu membangunkan sambil menepuk-nepuk pundakku.

"Iya Buk", jawabku sambil tersenyum setelah sekuat tenaga membuka mata.

Aku mengecek kembali perlengkapan yang diperlukan di hari pertama masuk SMP yang sudah kusiapkan semalam tadi setelah shalat jamaah bersama kedua orang tuaku.

"Sultan, Bapak mau lari pagi nih. Ikutan yuk", bujuk Bapak.

"Aku mau ikut Ibu saja ke pasar Pak. Semalam sudah janjian sama Ibu mau ikut ke pasar sekalian diantar ke sekolah", jawabku yang masih sibuk mengecek perlengkapan sekolah.

"Hahaha", tawa puas Ibu seperti baru saja memenangkan perlombaan.

"Ya udah, lari pagi sendiri juga ga papa kok", canda Bapak dengan suara memelas yang langsung disambut tawa Ibu yang semakin lebar.

"Sultan mobilnya panasin dulu gih", sahut Ibu yang dilanjutkan lirikan menggoda ke arah Bapak.

"Iya Buk, Sultan sudah hampir selesai nih", jawab Bapak.

"Hahahaha", kami pun tertawa.

Setiap hari setelah berjamaah shalat subuh, Ibu pergi ke pasar untuk belanja keperluan kateringnya.

-❤-

"Sultan kalau masih ngantuk, tidur aja di mobil. Gak usah ikut Ibu masuk ke pasar. Gak lama kok", pinta Ibu sambil memarkirkan mobilnya di halaman pasar.

Setelah beres urusannya Ibu langsung tancap gas menuju sekolahku yang baru.

"Jangan lupa berdoa sebelum beraktifitas ya nak. Salim sama Bapak-Ibu guru, jangan nakal sama teman", pesan Ibu.

"Siap bos".

Saat akan kubuka pintu mobil, Ibu menghentikan lajuku dengan kata-kata manja, "Yakin ga mau salim sama Ibu?"

"Oh iya, hampir lupa Buk. Haha", lalu kuraih dan kucium tangan Ibu.

"Ibu janji ga terlambat jemput Sultan nanti", kata Ibu sambil merapikan kerah kemejaku.

Ibu masih melambaikan tangan ketika aku melewati pintu gerbang sekolah.

-❤-

"Sultan gimana tadi hari pertama sekolah? Asyik kan?", tanya Bapak sebelum menyantap makan malam di meja makan keluarga di sebelah Ibu.

"Asyik banget Pak, tadi Sultan dapat teman baru. Anaknya lucu Pak".

"Lucu gimana?".

"Dia lucu dan pintar Pak. Tadi dia buat kesalahan, terus dihukum sama kakak pembina. Disuruh pidato di depan anak-anak . Eh dia malah stand up (comedy) Pak.. hahaha".

Beginilah kami menjalani hari demi hari. Sejak bangun tidur sampai akan kembali tidur, keceriaan dan kasih sayang menghiasi keluarga kami.

-❤-

Beberapa minggu kemudian. Sepulang sekolah, kira-kira 20 meter menuju rumah kulihat seorang perempuan berdiri di depan gerbang kami.

"Sultan buka gerbangya gih, ini kuncinya. Tuh ada tante Elin menunggu", pinta Ibu sesampainya kami di depan gerbang rumah.

Aku turun dari mobil kemudian salim dengan tante Elin sebelum membuka gerbang.

"Sudah lama menunggu tante?", tanyaku sambil membuka gerbang.

"Sudah Sul", jawab tante Elin dengan perangai seperti biasa, judes.

Aku masuk ke rumah dan segera menuju ke meja makan. Seperti biasa makanan sudah Ibu sediakan disana.

Kulihat tante Elin dan Ibu ngobrol di ruang tamu. Aku tak tahu apa yang mereka bicarakan dan aku memang tidak mau tahu.

-❤-

Malam ketika Bapak dan Ibu sedang bersantai sambil nonton tv, aku yang sedang belajar di kamar samar-samar mendengar pembicaraan mereka.

"Tadi adikmu kemari mas", kata Ibu.

"Elin?", tanya Bapak.

"Ya iyalah, siapa lagi? Adikmu kan cuma Elin."

"Kenapa lagi dia?"

"Pinjam uang mas."

"Terus kamu kasih?"

"Enggak. Orang dia mintanya banyak. Butuh duit 50 juta katanya. Aku suruh nunggu mas, dia gak mau. Katanya besuk kesini lagi mau ketemu mas."

"Kenapa lagi anak ini? Bulan kemarin kan sudah aku kasih 25 juta untuk membantu usaha laundri nya yang lagi sepi katanya."

"Tau ah.", jawab Ibu dengan nada seperti biasa, agak manja-manja gimana.

-❤-

Malam berikutnya tante Elin datang lagi ke rumah dengan suaminya.

Dari kejauhan kulihat, tante Elin menangis di pelukan Ibu dan suaminya hanya bisa tertunduk lesu.

Tak lama kemudian Bapak beranjak dari kursinya dan berjalan menuju ke kamarnya.

Kemudian Bapak keluar dari kamarnya dengan membawa sebuah amplop coklat tebal. Diberikanlah amplop itu kepada tante Elin.

-❤-

Keesokan harinya Ibu menjemputku dari sekolah lalu mengajakku ke rumah sakit.

"Siapa yang sakit Buk?"

"Tante Elin masuk rumah sakit."

"Sakit apa?"

"Gak papa, mungkin cuma kecapekan kali."

Belakangan baru aku ketahui ketika tak sengaja aku mendengar ucapan Ibu kepada Bapak waktu ngobrol seperti biasanya bahwa tante Elin sakit kista yang membuatnya tidak bisa lagi mempunyai anak.

Seluruh biaya pengobatan ditanggung oleh Bapak dan Ibu.

-❤-

Hari-hari kemudian berjalan seperti biasa. Kehidupan kami kembali normal lagi.

Hingga kurang lebih 6 bulan berselang, tante Elin dan suaminya kembali mengunjungi rumah kami.

"Kok malam-malam Lin? Ada apa?", tanya Ibu sedikit penasaran.

"Begini mbak, aduuuh... Gimana ya ngomongnya..", tante Elin agak rikuh menjawabnya.

"Kenapa Lin? Sebentar aku panggilkan mas-mu".

"Iya Mbak".

Tak lama kemudian Bapak menuju ruang tamu bersam Ibu.

"Hai Lin, ada apa kok malam-malam?", sapa Bapak.

"Aku malu mas gimana ngomongnya."

"Ngomong aja, ngapain malu."

"Aku mau pinjam uang lagi mas.", jawab Elin dengan suara lemah.

"Aku punya banyak hutang kepada rentenir. Ga tau gimana mengembalikannya. Laundri juga sudah ga jalan mas."

"Berapa yang kamu butuhkan?", jawab Bapak tegas yang membuat Ibu agak bengong.

"Sultan gak belajar?", kata Ibu menyuruhku masuk.

"Iya Buk."

"Belajar dulu gih", lanjut Ibu.

Aku yang sedari tadi main HP di ruang keluarga, langsung beranjak ke kamar.

Di kemudian hari aku mengetahui bahwa Bapak tidak hanya meminjami uang kepada tante Elin tapi juga memodali untuk kembali membuka laundrinya.

-❤-

Setelah itu, setiap bulan tante Elin meminjam uang dalam jumlah besar, meskipun dia tak pernah punya niat untuk mengembalikannya. Bapak yang merasa sebagai saudara tuanya selalu mengiyakan permintaan adiknya itu.

Hingga aku memasuki SMA keadaan sini tak berubah. Tante Elin selalu minta uang yang juga selalu dikabulkan Bapak. Aku tak tahu kenapa bisa begitu. Aku juga tak tahu kenapa tante Elin selalu minta uang dalam jumlah besar.

Tak ada lagi acara syukuran seperti ketika aku berhasil masuk SMP favorit dulu. Meskipun sekarang aku sudah berhasil masuk SMA favorit.

Keluarga kami tak sehangat dulu lagi. Lelucon manja Ibu sudah jarang kulihat. Bahkan kini aku sering melihat pertengkaran-pertengkaran Bapak dan Ibu. Terlebih ketika Bapak menjual mobilnya untuk menghidupi adiknya setiap bulan. Mobil Ibu pun ikut terjual. Tapi anehnya, kehidupan tante Elin masih begitu-begitu saja. Tak ada kemajuan.

-❤-

"Buk berapa sisa tabungan kita?", tanya Bapak.

"Tinggal yang ada di berangkas.", jawab Ibu dingin.

"Boleh ga Bapak pinjam dulu."

Kemarahan semakin nampak di wajah Ibu.

"Itu tabungan untuk kuliah Sultan. Sampai kapan pun tak akan kubolehkan", Ibu masih terlihat tegar saat mengatakan itu.

Terjadi pertengkaran hebat setelah itu. Ibu akhirnya tak kuasa menolak keinginan Bapak setelah terus memaksa dan membentak.

Dengan kata-kata bernada tinggi Bapak kembali memaksa Ibu : "Apa sandi berangkasnya?"

Ibu hanya terdiam.

Bapak kembali mengulang pertanyaannya sampai 3 kali dengan nada yang semakin meninggi.

"Tanggal lahir Sultan", jawab Ibu akhirnya.

Bapak masih tak bisa membuka berangkas itu.

"Bahkan kau lupa tanggal lahir buah hatimu sendiri...", jawab Ibu sambil membuka brankas itu.

"Kau bukan pria yang menikahiku. Aku tak mengenalmu. Kau bahkan tega menghancurkan keluargamu. Demi membantu adikmu kau rela mengorbankan keluargamu sendiri, darah dagingmu sendiri.. Apa itu adil? Apakah itu adil!!!!?? Jawaaab!!!!!!!", teriak Ibu.

Tanpa menghiraukan semua itu, Bapak lantas pergi ke tempat tante Elin dengan membawa semua uang itu.

Ibu sempat menghalangi laju Bapak. Namun satu sabetan tangan Bapak ke tubuh Ibu membuatnya tersungkur. Laju Bapak tak lagi terhentikan.

Ibu menangis meratap. Meratapi semua perubahan yang terjadi di diri suaminya yang tega menghancurkan keluarganya sendiri bahkan tega memukulnya.

-❤-

Aku yang sejak tadi berdiam diri di dalam kamar, kini terbangun dan berjalan keluar dengan sangat pelan. Kuhampiri Ibu lalu aku memeluknya. Tak sepatah kata pun keluar dari mulutku. Kulihat air mata Ibu mengalir semakin deras bagai peluru-peluru yang menembus bajuku.

Aku sangat memahami betapa hancurnya Ibu setelah kehilangan semuanya. Bisnisnya, impiannya, dan terlebih kehangatan rumah tangganya.

Oh Tuhan ingin sekali kutumpahkan segala keluh kesahku kepada Ibu. Tapi dalam keadaan begini aku tak mungkin sanggup. Aku tak mungkin sanggup untuk mengatakan bahwa aku ingin dibelikan sepeda motor seperti teman-teman sekolahku.

Yang bisa kulakukan saat ini hanya memeluk Ibu dan aku tak ingin melepaskannya.

-❤-

Hari-hari yang kulalui semakin berat dan semakin berat. Ibu tergeletak sakit yang semakin hari semakin parah. Sesekali Bapak melihatnya, namun itu justru membuat beban Ibu semakin bertambah.

Hingga seminggu sebelum pengumuman kelulusan SMA, Ibu menghembuskan nafas terakhirnya. Aku lulus tanpa didampingi Ibu. Aku juga tak mau didampingi Bapak.

-❤-

"Nguuing.. Nguuuing.. Nguuuing.....", bunyi sirine mobil polisi menyadarkanku dari lamunan-lamunan masa lalu itu. Langit-langit kamar yang tadi menjauh kini semakin mendekat dan semakin mendekat hingga kembali ke tempat semula seperti saat aku pertama kali terbangun dari tidur. 

Aku beranjak dari tempat tidur, kubuka gorden jendela kamarku. Kulihat Bapak digelendeng 2 polisi masuk ke mobilnya, dan polisi lainnya memasang papan bertuliskan "RUMAH INI DISITA" di pintu gerbang kami. Pintu yang pernah menjadi gerbang kami merajut kebahagian dengan rasa optimis menatap masa depan.

TAMAT

_________________________

*Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika terjadi kesamaan nama tokoh mohon dimaafkan.. hehehe

-Mex'r-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun