"Saya nggak jenguk, Bu. Saya gantian jagain Papa. Beda sama Ibu. Kalau ngejenguk ada waktunya."
"Terus, kenapa sekarang belum jalan?"
"Tadi saya makan dulu. Saya jalan, Bu."
Aku mengangguk. Kelima anak itu lalu pamit berbarengan dan meninggalkan kantin dengan tergesa. Belum jauh berjalan, aku melihat Danu kembali menoleh ke arahku. Tatapan matanya seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi urung dilakukan.
Ah, Danu. Melihat tatapan matanya mengingatkanku pada Nana, sahabatku sewaktu remaja.
Nana yang pendiam, yang menyimpan banyak kesedihan. Awalnya, Nana tak mau berbagi. Dia lebih sering mendengarkan teman-temannya yang bercerita. Nana baru mau menceritakan kesedihannya ketika aku memeluknya erat setelah melihat lebam di tangan dan kakinya.
Ayahnya yang melakukan. Satu-satunya orang tua yang dia miliki karena ibunya meninggal setelah melahirkan adiknya yang sudah meninggal di dalam perut. Nana bilang dia memaafkan ayahnya. Nana hanya merasa sedih dan terkadang takut karena ayahnya semakin sering pulang malam dalam keadaan mabuk. Ketakutan yang akhirnya terbukti, Nana meninggal di tangan ayahnya.
Aku menangis begitu lama waktu itu. Andai aku dulu punya keberanian untuk membantu Nana, mungkin sahabatku tak perlu semenderita itu. Namun, saat itu aku hanya diam mendengarkan ceritanya tanpa terpikir untuk bercerita pada mama.
Aku baru bercerita pada mama justru setelah Nana meninggal. Hal yang sangat aku sesali walaupun kejadian itu sudah lama berlalu.
Tatapan Danu tadi seperti menyimpan banyak cerita. Rasanya, keinginanku membantu Danu semakin terasa membuncah. Danu pasti punya masalah yang membuatnya menjadi bermasalah di sekolah.
Pendapat ini semakin menguat ketika seminggu kemudian, Danu kembali bertengkar di saat jam istirahat.