Mohon tunggu...
Metta Pratiwi
Metta Pratiwi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Metta Pratiwi atau yang akrab disapa Metta adalah seorang Psikolog, kelahiran 10 September 1976, yang aktif dalam dunia Pendidikan Anak Usia Dini. Ibu dengan dua orang anak yang menginjak usia remaja ini menyukai dunia literasi semenjak kecil. Membaca buku adalah kegemaran utamanya. Kini keinginannya yang terpendam untuk berkelana lebih jauh dalam dunia literasi mulai terealisasi. Beberapa buku antologi puisi, cagar budaya, cerita anak, teenlit, dan romance serta dua buku solo berjudul Love dan Perjalanan Hati telah berhasil diselesaikannya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bukan Salahmu, Sayang (Bagian Kedua)

24 Oktober 2022   07:10 Diperbarui: 24 Oktober 2022   07:23 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Saya nggak jenguk, Bu. Saya gantian jagain Papa. Beda sama Ibu. Kalau ngejenguk ada waktunya."

"Terus, kenapa sekarang belum jalan?"

"Tadi saya makan dulu. Saya jalan, Bu."

Aku mengangguk. Kelima anak itu lalu pamit berbarengan dan meninggalkan kantin dengan tergesa. Belum jauh berjalan, aku melihat Danu kembali menoleh ke arahku. Tatapan matanya seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi urung dilakukan.

Ah, Danu. Melihat tatapan matanya mengingatkanku pada Nana, sahabatku sewaktu remaja.

Nana yang pendiam, yang menyimpan banyak kesedihan. Awalnya, Nana tak mau berbagi. Dia lebih sering mendengarkan teman-temannya yang bercerita. Nana baru mau menceritakan kesedihannya ketika aku memeluknya erat setelah melihat lebam di tangan dan kakinya.

Ayahnya yang melakukan. Satu-satunya orang tua yang dia miliki karena ibunya meninggal setelah melahirkan adiknya yang sudah meninggal di dalam perut. Nana bilang dia memaafkan ayahnya. Nana hanya merasa sedih dan terkadang takut karena ayahnya semakin sering pulang malam dalam keadaan mabuk. Ketakutan yang akhirnya terbukti, Nana meninggal di tangan ayahnya.

Aku menangis begitu lama waktu itu. Andai aku dulu punya keberanian untuk membantu Nana, mungkin sahabatku tak perlu semenderita itu. Namun, saat itu aku hanya diam mendengarkan ceritanya tanpa terpikir untuk bercerita pada mama.

Aku baru bercerita pada mama justru setelah Nana meninggal. Hal yang sangat aku sesali walaupun kejadian itu sudah lama berlalu.

Tatapan Danu tadi seperti menyimpan banyak cerita. Rasanya, keinginanku membantu Danu semakin terasa membuncah. Danu pasti punya masalah yang membuatnya menjadi bermasalah di sekolah.

Pendapat ini semakin menguat ketika seminggu kemudian, Danu kembali bertengkar di saat jam istirahat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun