Aku mengangguk sambil tersenyum lalu melangkah menuju halte yang jaraknya tak jauh dari rumah Danu. Ah, ada masalah apa lagi ini? Begitu repotkah bagi orang tua Danu untuk sekadar memberi informasi kepada pihak sekolah?
Aku menarik napas panjang. Terkadang bagi beberapa orang tua, melunasi pembayaran SPP dirasa sudah cukup. Padahal kerjasama yang baik untuk keberhasilan seorang anak tak cukup hanya itu.
Untungnya, dua hari kemudian Danu kembali masuk sekolah. Menurut Bu Ratna, ayahnya Danu dirawat di rumah sakit. Hal yang membuat harapanku untuk bertemu dengan kedua orang tuanya kembali gagal.
Siang ini, aku sedang mengerjakan tugas rutin ketika Danu tiba-tiba muncul di hadapanku. Bel tanda pulang sekolah memang sudah berbunyi lima menit yang lalu. Wajahnya terlihat keruh, di tangannya terlihat selembar amplop.
"Maaf, Bu. Nggak ada yang bisa dateng ke sini. Papa saya dirawat, Bu. Mama nungguin Papa."
"Iya, Nu. Ibu ngerti."
"Ini ada titipan uang dari Mama, Bu. Buat ganti kaca."
"Terima kasih, Nu. Uangnya Ibu terima dan akan Ibu berikan ke bagian tata usaha, ya. Duduk dulu, Nu. Ibu pengen ngobrol sama kamu."
"Saya harus cepat pulang, Bu. Mau ke rumah sakit."
Aku menghela napas panjang lalu mengangguk. Rasanya Danu memang benar, ini bukan waktu yang tepat untuk bicara.
Danu mengucap salam lalu beranjak meninggalkan ruanganku. Entah mengapa, rasanya ada yang menggelitik di dalam hati. Anak ini terkenal nakalnya, tapi aku merasa dia tak senakal itu.