Mohon tunggu...
SolemanD
SolemanD Mohon Tunggu... Pengacara - Ad Maiorem Dei gloriam - postgraduate

Proses pembelajaran adalah sebuah kisah cerita yang tak mengenal akhir. Menempah kita untuk terus mencari, menggali seni berpikir dan mencipta. Dan pengetahuan adalah laboratorium kekal yang mengajarkan kita untuk terus berkarya.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Perpajakan dan Perkembangannya di Indonesia (Refleksi rencana pajak kebutuhan pokok)

16 Juni 2021   22:56 Diperbarui: 17 Juni 2021   22:07 262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Negara sebagai organisasi mempunyai kekuasaan atas semua anggota masyarakat yang merupakan penduduk suatu Negara atau yang berada dalam wilayah itu. Salah satu bentuk kekuasaan Negara terhadap masyarakatnya adalah dengan memungut pajak. Negara adalah organisasi yang berkenaan dengan fungsi. Negara mempunyai beberapa macam fungsi diataranya: Melaksanakan penertiban (Law and Order); Mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya; Pertahanan dan Keamanan; dan Menegakkan Keadilan. 

Salah satu sumber dana terbesar bagi negara Indonesia dalam Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) adalah pajak. Pajak merupakan pungutan wajib Pemerintah kepada masyarakat. Selain berfungsi sebagai pengisi utama kas Negara (budgetair), pajak juga berfungsi sebagai sarana bagi Pemerintah untuk menciptakan suatu kondisi atau keadaan tertentu (regulerend). Pajak memiliki perkembangan sejarah yang sangat panjang di Indonesia dalam mempengaruhi perkembangan perpajakan itu sendiri dari waktu ke waktu dengan tujuan kepentingan bangsa dan negara. Sejak periode Kerajaan pajak telah dikenal sejak wilayah Nusantara masih dikuasai oleh berbagai kerajaan dan kesultanan yang timbul dan tenggelam dalam rentang sejarah yang panjang. Kemudian periode Hindia Timur (1600--1800) bangsa eropa yang datang ke wilayah Nusantara menyebutnya Hindia Timur. 

Dengan menggunakan bendera maskapai dagang, mereka tiba di wilayah Hindia Timur mulanya untuk berdagang, bekerja sama dengan penguasa lokal, lalu memonopoli perdagangan kemudian menguasai pelabuhan, kota, dan bahkan beberapa bagian wilayah kerajaan.Masa Hindia Belanda merupakan Fase Liberal (1870--1942). 

Pada periode Pemerintahan Presiden Soekarno (1950--1966), sesuai dengan Pasal 23 A UUD 1945 yang berbunyi, "Pajak dan pungutan yang bersifat untuk keperluan negara diatur dengan Undang-Undang." Namun, pemerintahan Presiden Soekarno pasca revolusi kemerdekaan mengalami situasi yang belum stabil. Undang-undang belum dapat dilaksanakan dengan baik. Untuk mengelola pendapatan negara dari pajak, pemerintah masih kesulitan. Itu sebabnya aturan warisan kolonial masih digunakan. 

Dan pada periode Pemerintahan Presiden Soeharto (1967--1998) pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, beberapa perubahan dan penyempurnaan undang-undang pajak dilakukan. Awalnya pemerintah mengeluarkan UU Nomor 8 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan Ordonansi Pajak Perseroan 1925. Undang-undang ini berlaku selama 13 tahun, yaitu sampai dengan 31 Desember 1983 ketika reformasi pajak atau tax reform digulirkan. Selanjutnya  2terbitlah Keputusan Presiden RI Nomor 12 Tahun 1976 yang menetapkan Direktorat Ipeda diserahkan dari Direktorat Jenderal Moneter kepada Direktorat Jenderal Pajak. Peralihan ini mengubah mekanisme birokrasi pajak yang semula bidang moneter ke dalam bidang perpajakan. Memasuki periode Reformasi 1998 hingga sekarang, Perkembangan ekonomi dan masyarakat membuat pemerintah kembali mengubah undang-undang perpajakan pada tahun 2000. Sebuah Pengadilan Pajak dibentuk dua tahun kemudian. Perubahan perubahan undang-undang perpajakan terus dilakukan, termasuk juga ukuran Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). 

Dasar hukum pemungutan pajak diletakkan dalam pasal 23 A Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) yang berbunyi, "Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan Negara diatur dengan Undang-undang." 

Jadi setiap pajak yang dipungut oleh pemerintah harus berdasar undang-undang atau peraturan lainnya yang setingkat," sehingga tidak mungkin ada pajak yang hanya dipungut berdasarkan Keputusan Presiden atau berdasarkan peraturan-peraturan lain yang lebih rendah daripada undang-undang. Menurut undang-undang, Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-undang, dengan tidak mendapat imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan pajak negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. 

Dari beberapa penjelasan mengenai pajak 1 tersebut, dapat disimpulkan bahwa suatu pungutan dapat dikatakan sebagai pajak jika pungutan tersebut merupakan: iuran kepada negara, pungutan yang dapat dipaksakan, pungutan yang berdasarkan undang-undang, pungutan yang tidak mendapat imbalan prestasi secara langsung, pungutan yang digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum yang berhubungan tugas negara. 

Hukum pajak adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan yang meliputi wewenang pemerintah untuk mengambil kekayaan seseorang dan menyerahkannya kembali kepada masyarakat dengan melalui kas Negara, sehingga ia merupakan bagian dari hukum publik, yang mengatur hubungan-hubungan hukum antar Negara dan orang- orang atau badan-badan hukum yang berkewajiban membayar pajak (selanjutnya sering disebut "Wajib Pajak").

Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Falsafah pemungutan pajak adalah Undang-undang Dasar 1945 berdasarkan Pancasila. Pemungutan pajak dilakukan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, sehingga Sistem dan mekanismenya menjadi ciri tersendiri dalam sistem perpajakan Indonesia. Adapun ciri dan corak perpajakan Indonesia adalah: 

(1) Pemungutan pajak merupakan perwujudan, pengabdian, dan peran serta wajib pajak untuk pembiayaan negara dan pembangunan nasional; (2) Tanggung jawab mengenai penuaian kewajiban pajak berada pada anggota masyarakat wajib pajak itu sendiri; (3) Wajib Pajak diberi kepercayaan penuh untuk dapat melaksanakan kegotong-royongan nasional melalui sistem menghitung dan menyetor sendiri pajak yang terutang (self assessment).

Bahwa sejalan dengan hal diatas, fenomena terganggunya keberlangsungan usaha Wajib Pajak juga disebabkan oleh besarnya sanksi administratif perpajakan, kepabeanan, dan cukai yang harus ditanggung Wajib Pajak karena kelalaiannya dalam melaksanakan kewajibannya, sehingga membuat sanksi administratif tersebut sangat besar dan tidak membedakan pengenaan sanksi atas penetapan dan sanksi yang timbul karena Wajib Pajak memperbaiki kesalahannya secara sukarela. 

Besarnya sanksi administratif di atas dinilai tidak mendorong kepatuhan Wajib Pajak, namun cenderung mengganggu keberlangsungan usaha Wajib Pajak, yang pada akhirnya menimbulkan perilaku menghindari pemenuhan kewajiban perpajakan, kepabeanan, dan cukai. Dengan demikian berkenaan dengan reformasi perpajakan di beberapa negara, berbagai kebijakan perpajakan telah dilonggarkan untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang lebih baik. Tren yang terjadi saat ini di negara-negara Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) yaitu beralihnya sistem pemajakan dari worldwide menjadi territory (Fleming, Peroni, & Shay, 2008). 

Hal ini juga diperkuat dari studi International Monetary Fund (IMF) pada tahun 2013 yang berupaya meyakinkan negara negara berkembang untuk beralih dari sistem worldwide ke sistem territory dengan alasan kebutuhan modal yang tinggi bagi negara berkembang. Namun pada prakteknya, tidak ada satupun negara yang menerapkan kedua sistem ini secara murni (Pusat Kajian Anggaran Badan Keahlian DPR RI, 2018). Untuk itu dalam keterkaitan  rencana kebijakan pemerintah Indonesia untuk menetapkan pajak terhadap pembelian bahan kebutuhan pokok  masyarakat maka penting untuk dilihat kembali perkembangan dan  perjalanan ketentuan perpajakan di Indonesia.

Pendekatan beberapa Teori

Terdapat beberapa teori yang mendasari keadilan (justification) bagi negara untuk melakukan pemungutan pajak kepada warganya, yaitu (Brotodihardjo, 1993): Teori Asas Gaya Beli. Teori ini lebih modern karena tidak mempersoalkan asal mulanya negara memungut pajak, melainkan hanya melihat kepada efeknya dan memandang efek yang baik tersebut sebagai dasar keadilannya. 

Teori Kewajiban Pajak Mutlak (Teori Bakti). Kebalikan dengan ketiga teori sebelumnya yang tidak mengutamakan kepentingan-kepentingan negara di atas kepentingan warganya, maka teori ini mendasarkan atas paham Organische Staatsleer, yaitu justru karena sifat negara inilah maka timbul hak mutlak untuk memungut pajak. 

Teori Gaya Pikul. Menurut teori ini, dasar keadilan pemungutan pajak terletak dalam jasa-jasa yang diberikan oleh negara kepada warganya yaitu perlindungan atas jiwa dan harta bendanya. Untuk keperluan ini, diperlukan biaya-biaya yang dipikul oleh semua orang yang menikmati perlindungan tersebut dalam bentuk pajak. Yang menjadi pokok pangkal teori ini adalah asas keadilan, yaitu tekanan bahwa pajak itu haruslah sama beratnya untuk setiap orang. Pajak harus dibayar menurut gaya pikul seseorang dan untuk mengukur gaya pikul tersebut bisa digunakan besarnya kekayaan, penghasilan atau kemampuan pengeluaran atau pembelanjaan seseorang.

Teori Kepentingan. Teori ini pada mulanya hanya memperhatikan pembagian beban pajak yang harus dipungut dari semua masyarakat. Pembagian beban ini harus didasarkan atas kepentingan setiap orang dalam tugas-tugas pemerintah yang bermanfaat baginya, termasuk juga perlindungan atas jiwa orang-orang tersebut beserta harta bendanya. Sehingga sudah selayaknya jika biaya-biaya yang dikeluarkan oleh negara untuk menunaikan kewajibannya dibebankan kepada mereka. 

Perkembangan pelaksanaan ketentuan perpajakan di Indonesia.

Perkembangan perpajakan telah ada sejak wilayah Nusantara masih dikuasai oleh berbagai kerajaan dan kesultanan yang timbul dan tenggelam dalam rentang sejarah yang panjang. Raja-raja Nusantara telah memungut pajak atau upeti dari masyarakat untuk menghidupi kerajaannya, antara lain untuk kegiatan operasional kerajaan, membangun dan merawat infrastruktur, dan menyelenggarakan acara-acara keagamaan. Rupa-rupa pajak yang diwajibkan mulai dari pajak tanah, hasil hutan sampai pelacuran, dan pertunjukan seni. Ada yang melaksanakannya dengan cara yang sederhana, ada pula yang telah menggunakan sistem pemungutan pajak secara sistematis dan terstruktur. Kerajaan Sriwijaya (abad ke-3-12 Masehi), Kerajaan Mataram Kuno, Kerajaan Majapahit (abad ke-13 --15 Masehi), Kerajaan Aceh, Banten dan kerajaan pesisir lainnya, seperti Jepara, Gresik, Timor, Maluku, Ternate-Tidore, semuanya telah menggunakan sistem perpajakan untuk melangsungkan kehidupan mereka. 

-Periode Hindia Timur (1600--1800) 

Bangsa Eropa yang datang ke wilayah Nusantara menyebutnya Hindia Timur. Dengan menggunakan bendera maskapai dagang, mereka tiba di wilayah Hindia Timur mulanya untuk berdagang, bekerja sama dengan penguasa lokal, lalu memonopoli perdagangan kemudian menguasai pelabuhan, kota, dan bahkan beberapa bagian wilayah kerajaan. Bangsa Portugis, Inggris, Spanyol, dan Belanda adalah bangsa Eropa yang aktif berdagang ke wilayah Hindia Timur. VOC maskapai dagang milik Belanda berhasil mendominasi perdagangan di Hindia Timur. 

Pada abad ke-17, VOC membangun dan mengurus kota Batavia, ibu kota imperium dagangnya di Asia-Afrika, dengan pajak sehingga bisa sukses hingga ibu kota itu mendapat sebutan "Koningen Het van Oosten" atau "Ratu di Timur". Dari kota Batavia dapat dilihat betapa VOC dapat dikatakan sebuah pemerintahan tanpa biaya karena beban keuangan menjadi tanggungan bersama sebagaimana terlihat dari berbagai peraturan pajak yang dikeluarkan untuk keperluan ini. VOC hidupnya sungguh sangat bergantung pada pajak. Fase Hindia Timur, Masa Hindia Belanda: Fase Liberal (1870--1942) Pada 1870, sistem tanam paksa melalui perundangan dinyatakan berakhir. 

Sistem ini dianggap kaum penganut ekonomi liberal yang menyatakan membawa semangat humanisme Aufklarung Eropa ke Hindia Belanda menguntungkan Belanda meraup surplus, tetapi telah menimbulkan kesengsaraan berupa standar hidup yang rendah penduduk pribumi, akibat pajak langsung dan tidak langsung yang terlalu tinggi, upah tenaga kerja paksa yang tidak memadai dan kurangnya perhatian terhadap kesejahteraan. Antara 1850 sampai 1880 diambil langkah untuk mengatasi keluhan-keluhan ini. 

Salah satu langkahnya adalah sistem hak milik perorangan terhadap tanah, tetapi banyak ditolak karena sistem lama sudah berakar soal tanah dan lagi pula pajak tanah tetap tinggi karena hakekatnya pemerintah kolonial tetap menerapkan sistem sewa tanah antara negara dengan rakyat. Sementara barang-barang dari luar yang diperlukan rakyat dibebani rupa-rupa pajak. 

Pada saat itu rakyat harus "membeli uang", artinya rakyat harus menjual pelayanan dan barang-barang untuk memperoleh uang pembayar pajak dan pembeli barang-barang lain yang dibutuhkan. Fase Tanam Paksa, Masa Pendudukan Jepang (1942--1945) Kendati masa pendudukan Jepang relatif pendek, bukan berarti tidak melanjutkan pola atau tatanan ekonomi yang sudah dibentuk sebelumnya. Periode sebelumnya, tanah menjadi sumber pajak utama bagi penguasa. 

Era Jepang, tanah lebih ditujukan untuk pelipatgandaan hasil bumi yang penting bagi Jepang. Masuknya Jepang   ke Indonesia mengubah nuansa feodal yang diterapkan kolonial Belanda. Jepang meneruskan land rent yang dikenakan Inggris dan kolonial Belanda terhadap semua jenis tanah produktif dan diwajibkan pajaknya kepada desa, bukan perseorangan. Namun pada masa pemerintahan Jepang, nama land rent atau landrente diubah menjadi land tax. Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 1945, nama land tax atau pajak tanah disebut dengan Pajak Bumi. Pemerintah pendudukan Jepang juga menetapkan sistem wajib serah padi. Selain itu juga ditetapkan pembayaran pajak untuk penggunaan fasilitas fasilitas tertentu, seperti jembatan, jalan raya, dan fasilitas umum lainnya. Masyarakat juga diwajibkan untuk membayar pajak sepeda bagi siapa saja yang memilikinya. 

-Periode Republik Indonesia dalam Revolusi Kemerdekaan (1945--1950) 

Setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945, para pendiri Republik menuangkan masalah pajak ke dalam Undang-Undang Dasar 1945 Hal Keuangan. Dalam Pasal 23 yang memuat lima butir ketentuan, butir kedua menyatakan bahwa "Segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan Undang-Undang". Dengan demikian, pajak sebagai "nyawa" negara telah secara resmi diatur oleh Undang-Undang 1945. Dua hari kemudian tepatnya pada 19 Agustus 1945, organisasi Kementerian Keuangan langsung dibentuk dan di dalamnya antara lain terdapat Pejabatan Pajak. Susunan organisasi itu disusun dalam keadaan mendesak, karena tidak lama setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, Belanda datang kembali dan ingin berkuasa di Indonesia dengan membentuk Netherlands Indie Civil Administration (NICA). Pada 1946 ketika Belanda melancarkan Agresi Militer pertama, Kementerian Keuangan, termasuk Pejabatan Pajak harus mengikuti Presiden Soekarno dan seluruh jajaran Kabinet hijrah ke Yogyakarta dan sekitarnya. Pejabatan Pajak berkantor pusat di Magelang.

-Periode Pemerintahan Presiden Soekarno (1950--1966) 

Sesuai dengan Pasal 23 A UUD 1945 yang berbunyi, "Pajak dan pungutan yang bersifat untuk keperluan negara diatur dengan Undang-Undang." Namun, pemerintahan Presiden Soekarno pascarevolusi kemerdekaan mengalami situasi yang belum stabil. Undang-undang belum dapat dilaksanakan dengan baik. Untuk mengelola pendapatan negara dari pajak, pemerintah masih kesulitan. Itu sebabnya aturan warisan kolonial masih digunakan. Perlahan pemerintah membenahi berbagai aturan, di antaranya pada 1957 mengganti Pajak Peralihan dengan nama Pajak Pendapatan Tahun 1944 yang disingkat dengan Ord. PPd. 1944. Jawatan Pajak Hasil Bumi pada Direktorat Jenderal Moneter yang bertugas melakukan pungutan pajak hasil bumi dan pajak atas tanah, pada 1963 diubah menjadi Direktorat Pajak Hasil Bumi. Dua tahun kemudian berubah lagi menjadi Direktorat Iuran Pembangunan Daerah atau Ipeda. Pemerintah mulai mendirikan kantor-kantor Inspeksi Keuangan di tingkat kabupaten dan kota yang diresmikan oleh Soejono Brotodihardjo. Pembentukan kantor-kantor ini adalah usaha untuk menggali potensi pajak di masyarakat karena perekonomian yang terus berkembang. 

-Periode Pemerintahan Presiden Soeharto (1967--1998) 

Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, beberapa perubahan dan penyempurnaan undang-undang pajak dilakukan. Awalnya pemerintah mengeluarkan UU Nomor 8 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan Ordonansi Pajak Perseroan 1925. Undang-undang ini berlaku selama 13 tahun, yaitu sampai dengan 31 Desember 1983 ketika reformasi pajak atau tax reform digulirkan. Selanjutnya terbitlah Keputusan Presiden RI Nomor 12 Tahun 1976 yang menetapkan Direktorat Ipeda diserahkan dari Direktorat Jenderal Moneter kepada Direktorat Jenderal Pajak. 

Peralihan ini mengubah mekanisme birokrasi pajak yang semula bidang moneter ke dalam bidang perpajakan. Pada 1983, pemerintah melaksanakan reformasi pajak melalui Pembaharuan Sistem Perpajakan Nasional (PSPN) dengan mengundangkan lima paket undang-undang perpajakan, yaitu tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), Pajak Penghasilan (PPh), PPN dan PPnBM, PBB serta Bea Meterai (BM). Sistem perpajakan yang semula official-assessment diubah menjadi self-assessment. Sejak 1984 Indonesia memasuki era baru sistem pemungutan pajak, yaitu self assessment system yang memberikan kewenangan sepenuhnya kepada Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang. 

-Periode Reformasi 1998 hingga sekarang 

Perkembangan ekonomi dan masyarakat membuat pemerintah kembali mengubah undang-undang perpajakan pada tahun 2000. Sebuah Pengadilan Pajak dibentuk dua tahun kemudian. Perubahan perubahan undang-undang perpajakan terus dilakukan, termasuk juga ukuran Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Sistem self-assessment ditekankan untuk peningkatan pendapatan.

 Target penerimaan negara dari perpajakan juga terus meningkat. Pemerintah juga mewajibkan untuk menyelenggarakan pembukuan yang tegas diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 2007 Pasal 28. Wajib melakukan pencatatan adalah Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.Insentif pajak juga diterapkan mencakup Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, Fasilitas Perpajakan (PPh, PPN, dan PBB), serta intensifikasi perpajakan yang lebih sistematis dan terstandar serta penegakan hukum. 

Gebrakan pemberian fasilitas sunset policy dilakukan, yang dimanfaatkan oleh jutaan Wajib Pajak (WP). Mereka diberi kesempatan untuk merestrukturisasi pajak dan membuka peluang masyarakat memiliki NPWP sebagai WP baru. Kebijakan sunset policy berlanjut pada wacana pengampunan pajak atau tax amnesty yang menuai pro-kontra antara aparat pajak dan kalangan pengusaha. 

Pada pertengahan 2016, dimunculkan tax amnesty jilid dua yang ternyata menarik animo masyarakat luas untuk mengikutinya. Kemudian di tahun 2013 pemerintah merilis kebijakan tentang penyederhanaan penghitungan dan penyetoran pajak dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 46, yaitu Wajib Pajak, baik orang pribadi dan badan (kecuali WP orang pribadi yang melakukan pekerjaan bebas) dengan omzet atau pendapatan kotor setahun tidak melebihi Rp 4,8 miliar dikenakan tarif pajak penghasilan bersifat final sebesar 1%, dengan adanya tarif yang ringan dan sederhana dalam penyetoran serta pelaporannya diharapkan dapat meningkatkan jumlah partisipasi Wajib Pajak dalam membayar pajak sehingga dengan semakin tingginya tax collection maka semakin banyak pula masyarakat yang turut serta dalam mengawasi jalannya pembangunan di negeri ini yang didapatkan dari sektor pajak. Hal ini tentu menuju upaya kebijakan meningkatkan kepatuhan wajib pajak. 

Dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah, Terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang, yang telah diakomodir menjadi perubahan dalam OmnisBuslaw Perpajakan, yang mana akan dilihat bagaimana kebijakan administrasi perpajakan untuk penerapan sanski administratif perpajakan terhadap wajib pajak.  

Referensi

Dwi Sunar Prasetyono, Buku Pintar Pajak (Yogyakarta: Laksana, 2012) 

Santoso Brotodihardjo, Pengantar ilmu Hukum Pajak (Bandung: Refika Aditama, 2008), 

Majalah Pajak, Pajak dari masa ke masa, Pastriot insight, 2019 

Galeri Pajak, Kantor Pusat Ditjen Pajak, 2018 

Pusat Kajian Anggaran Badan Keahlian DPR RI, 2018 

Materi rancangan Undang-undang tentang ketentuan dan fasilitas perpajakan untuk penguatan perekonomian, Kementerian Keuangan Rep. Indonesia. Jakarta. 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun