Mohon tunggu...
SolemanD
SolemanD Mohon Tunggu... Pengacara - Ad Maiorem Dei gloriam - postgraduate

Proses pembelajaran adalah sebuah kisah cerita yang tak mengenal akhir. Menempah kita untuk terus mencari, menggali seni berpikir dan mencipta. Dan pengetahuan adalah laboratorium kekal yang mengajarkan kita untuk terus berkarya.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Perpajakan dan Perkembangannya di Indonesia (Refleksi rencana pajak kebutuhan pokok)

16 Juni 2021   22:56 Diperbarui: 17 Juni 2021   22:07 262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Bahwa sejalan dengan hal diatas, fenomena terganggunya keberlangsungan usaha Wajib Pajak juga disebabkan oleh besarnya sanksi administratif perpajakan, kepabeanan, dan cukai yang harus ditanggung Wajib Pajak karena kelalaiannya dalam melaksanakan kewajibannya, sehingga membuat sanksi administratif tersebut sangat besar dan tidak membedakan pengenaan sanksi atas penetapan dan sanksi yang timbul karena Wajib Pajak memperbaiki kesalahannya secara sukarela. 

Besarnya sanksi administratif di atas dinilai tidak mendorong kepatuhan Wajib Pajak, namun cenderung mengganggu keberlangsungan usaha Wajib Pajak, yang pada akhirnya menimbulkan perilaku menghindari pemenuhan kewajiban perpajakan, kepabeanan, dan cukai. Dengan demikian berkenaan dengan reformasi perpajakan di beberapa negara, berbagai kebijakan perpajakan telah dilonggarkan untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang lebih baik. Tren yang terjadi saat ini di negara-negara Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) yaitu beralihnya sistem pemajakan dari worldwide menjadi territory (Fleming, Peroni, & Shay, 2008). 

Hal ini juga diperkuat dari studi International Monetary Fund (IMF) pada tahun 2013 yang berupaya meyakinkan negara negara berkembang untuk beralih dari sistem worldwide ke sistem territory dengan alasan kebutuhan modal yang tinggi bagi negara berkembang. Namun pada prakteknya, tidak ada satupun negara yang menerapkan kedua sistem ini secara murni (Pusat Kajian Anggaran Badan Keahlian DPR RI, 2018). Untuk itu dalam keterkaitan  rencana kebijakan pemerintah Indonesia untuk menetapkan pajak terhadap pembelian bahan kebutuhan pokok  masyarakat maka penting untuk dilihat kembali perkembangan dan  perjalanan ketentuan perpajakan di Indonesia.

Pendekatan beberapa Teori

Terdapat beberapa teori yang mendasari keadilan (justification) bagi negara untuk melakukan pemungutan pajak kepada warganya, yaitu (Brotodihardjo, 1993): Teori Asas Gaya Beli. Teori ini lebih modern karena tidak mempersoalkan asal mulanya negara memungut pajak, melainkan hanya melihat kepada efeknya dan memandang efek yang baik tersebut sebagai dasar keadilannya. 

Teori Kewajiban Pajak Mutlak (Teori Bakti). Kebalikan dengan ketiga teori sebelumnya yang tidak mengutamakan kepentingan-kepentingan negara di atas kepentingan warganya, maka teori ini mendasarkan atas paham Organische Staatsleer, yaitu justru karena sifat negara inilah maka timbul hak mutlak untuk memungut pajak. 

Teori Gaya Pikul. Menurut teori ini, dasar keadilan pemungutan pajak terletak dalam jasa-jasa yang diberikan oleh negara kepada warganya yaitu perlindungan atas jiwa dan harta bendanya. Untuk keperluan ini, diperlukan biaya-biaya yang dipikul oleh semua orang yang menikmati perlindungan tersebut dalam bentuk pajak. Yang menjadi pokok pangkal teori ini adalah asas keadilan, yaitu tekanan bahwa pajak itu haruslah sama beratnya untuk setiap orang. Pajak harus dibayar menurut gaya pikul seseorang dan untuk mengukur gaya pikul tersebut bisa digunakan besarnya kekayaan, penghasilan atau kemampuan pengeluaran atau pembelanjaan seseorang.

Teori Kepentingan. Teori ini pada mulanya hanya memperhatikan pembagian beban pajak yang harus dipungut dari semua masyarakat. Pembagian beban ini harus didasarkan atas kepentingan setiap orang dalam tugas-tugas pemerintah yang bermanfaat baginya, termasuk juga perlindungan atas jiwa orang-orang tersebut beserta harta bendanya. Sehingga sudah selayaknya jika biaya-biaya yang dikeluarkan oleh negara untuk menunaikan kewajibannya dibebankan kepada mereka. 

Perkembangan pelaksanaan ketentuan perpajakan di Indonesia.

Perkembangan perpajakan telah ada sejak wilayah Nusantara masih dikuasai oleh berbagai kerajaan dan kesultanan yang timbul dan tenggelam dalam rentang sejarah yang panjang. Raja-raja Nusantara telah memungut pajak atau upeti dari masyarakat untuk menghidupi kerajaannya, antara lain untuk kegiatan operasional kerajaan, membangun dan merawat infrastruktur, dan menyelenggarakan acara-acara keagamaan. Rupa-rupa pajak yang diwajibkan mulai dari pajak tanah, hasil hutan sampai pelacuran, dan pertunjukan seni. Ada yang melaksanakannya dengan cara yang sederhana, ada pula yang telah menggunakan sistem pemungutan pajak secara sistematis dan terstruktur. Kerajaan Sriwijaya (abad ke-3-12 Masehi), Kerajaan Mataram Kuno, Kerajaan Majapahit (abad ke-13 --15 Masehi), Kerajaan Aceh, Banten dan kerajaan pesisir lainnya, seperti Jepara, Gresik, Timor, Maluku, Ternate-Tidore, semuanya telah menggunakan sistem perpajakan untuk melangsungkan kehidupan mereka. 

-Periode Hindia Timur (1600--1800) 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun