Bude terdiam. Dia merasa tak berhak untuk menceritakan apapun kepada Eli. Kalau saja Eli tahu, desahnya dalam hati. Dia cuma tersenyum tanpa berkata apapun. Berdua mereka hanya terdiam. Eli juga diam. Pertanyaannya menggantung begitu saja.
*****
“Bude! Bude!” suara Ibu terdengar sambil mengetuk-ngetuk pintu Bude. Pintu terbuka.
“Mana Eli, Bude? Mana dia?” suara tangis tertahan terdengar jelas dari suara Ibu.
“Ibu kenapa? Mau kemana?” Eli terbengong di depan pintu kamar Bude, melihat Ibu datang dengan sebuah tas besar. Bude hanya terdiam memegangi gagang pintu, menatap bergantian Ibu dan Eli, bingung.
“Kak, Ibu sayang kamu nak. Kamu jangan lupa itu. Cepat, kamu harus pergi. Barang-barangmu sudah Ibu kemasi. Pergilah dengan teman Ibu. Dia sudah menunggu di luar. Pergilah, kak. Doa Ibu bersamamu,” Ibu memeluk, mencium dan merangkulnya kencang. Wajah Ibu terlihat kuyu dibanjiri air mata. Eli membenamkan wajahnya, air matanya membasahi kebaya biru muda Ibu.
Eli dibimbing Ibu melangkah keluar rumah menuju seorang laki-laki berjaket hitam yang berdiri di depan mobil Kijang merah.
“Bu, aku mau pergi kemana? Kenapa? Dia siapa?” Eli mulai terisak. Tangannya semakin erat melingkar di lengan Ibu.
“ Eli, jangan menangis, kak. Ingat, kakak harus kuat. Ibu akan segera menyusulmu.” Ibu seolah tak perduli, melepas tangan Eli dan mendorongnya masuk ke mobil beserta tas besar yang dibawanya.
Laki-laki berjaket hitam itu juga sudah di belakang kemudi dan langsung menjalankan mobilnya. Eli cuma terdiam. Baru beberapa meter mobil berjalan, dari arah berlawanan muncul beberapa motor yang dikendarai oleh mayoritas laki-laki muda berseragam berkonvoi menuju rumah Ibu. Laki-laki berjaket hitam itu melirik spion, memantau rumah Ibu. Ibu sudah tak terlihat. Bude juga. Rumah Ibu dan rumah Bude terlihat senyap. Cepat sekali, batinnya.
*****