Tubuhnya basah kuyup dan letih. Meskipun hujan deras sekali, nalurinya tetap memaksanya memacu kakinya berlari. Kemana? Entahlah, asalkan menjauh dari tempat itu. Sejauh-jauhnya, secepatnya. Jika bisa dia ingin terbang menyeberangi sungai besar yang disusurinya itu.
Apa? Sungai? Kakinya terhenti seketika. Dengan panik dia menatap jalan yang telah dilaluinya. Yaa, dia harus secepatnya menghilangkan jejaknya. Mereka tak boleh menemukannya.
Sesaat kemudian, tubuh kurus itu telah terjun ke dalam derasnya aliran sungai. Sekilas wajah gadis kecil itu terlintas lagi diantara kecipak air malam itu.
Eli…
******
“Kak, kamu udah ke pasar beluum?” suara cempreng dari kamar depan menghentikan gerakan tangan Eli menyiangi sayur kangkung pagi itu.
“Sudah, Bu, ini lagi masak” teriaknya.
“Cepat sekali kau ke pasar hari ini. Oh ya, nanti ada temen Ibu yang datang, kamu tidur rumah Bude sebelah saja ya,” Ibu cuma melongok dari pintu kamarnya, dia bisa melihat Eli yang duduk di pintu dapur dengan tampahnya.
Eli cuma diam, menganggukkan kepala dan melanjutkan menyiangi sayuran kangkungnya. Ibu sudah sibuk lagi beraktifitas di kamarnya. Sambil memasak, Eli bersenandung pelan. Dia selalu senang jika menginap di rumah Bude. Bude tinggal sendirian, putrinya sudah menikah dan tinggal bersama suaminya di luar kota. Jadi Bude sayang sekali dengan Eli. Setiap “teman Ibunya” berkunjung Ibu tak pernah mau Eli ada di rumah.
Tumis kangkung dan tempe goreng sudah selesai. Eli meletakkan makanan itu di atas meja dan ditutup dengan tudung saji. Ikan mas yang sudah diberi jeruk nipis dan garam baru dicemplungkan ke dalam minyak panas sewaktu pintu depan digedor keras sekali. Eli melihat Ibu tergopoh-gopoh menutup pintu dapur dari tempat dia berdiri sebelum membuka pintu depan. Eli segera mematikan api kompor dan bergegas meringkuk di sebelah lemari. Menunggu dengan jantung berdebar kencang.
“Mana!! Mana laki-laki itu?” suara perempuan asing itu terdengar kasar sesaat setelah pintu dibukakan.
“Heh? Laki-laki mana? Kamu siapa? Datang-datang langsung jejeritan kayak orang sinting!!” tak kalah berang suara Ibu.
“Perempuan lacur! Saya tahu suamiku sebulan ini sering berkunjung kemari. Kamu jangan macam-macam sama saya ya. Kamu tidak kenal dengan siapa kamu berurusan!” suara perempuan asing itu terdengar mengancam.
“Bukan urusanku kamu itu siapa! Yang jelas ini rumahku dan kamu harus keluar dari sini sekarang juga sebelum kamu aku teriakin maling! PERGI!!” Ibu setengah berteriak.
Lalu sepi. Suara pintu ditutup terdengar membahana di telinga Eli.
Tak lama pintu dapur dibuka. Ibu datang dan berlutut di depan Eli. Otomatis, Eli meraih Ibu, mencari perlindungan dari pelukan perempuan itu.
“Sudah. Tenanglah, Ibu sudah usir orang gila itu.” Suara Ibu terdengar sangat merdu di telinga Eli.
*****
“Eli, tidurlah! Ini sudah malam, Nduk,” Bude mengingatkan Eli yang masih kekeuh membantunya mengupas kentang. Memang keseharian Bude berjualan keripik kentang di warung-warung tradisional di kampung itu.
“Sebentar lagi Bude, ini tinggal sisa sekantong lagi. Habis ini sudah kok,” Eli cuma mendongak sebentar.
“Kamu murung terus seharian ini,Nduk. Dari tadi juga ga mau nonton TV, malah minta bantuin Bude kupas kentang segala. Kenapa, Nduk?” Bude menatap Eli. Anak perempuan tanggung ini sudah seperti cucunya sendiri. Tentu saja gelagat tak biasa itu sangat mengganggunya.
“Bude, teman Ibu itu siapakah? Kenapa Eli selalu harus nginap di tempat Bude setiap kali dia datang?” suara Eli terdengar berat sambil tetap menunduk menatap jemarinya yang cekatan mengupas kentang.
Bude terdiam. Dia merasa tak berhak untuk menceritakan apapun kepada Eli. Kalau saja Eli tahu, desahnya dalam hati. Dia cuma tersenyum tanpa berkata apapun. Berdua mereka hanya terdiam. Eli juga diam. Pertanyaannya menggantung begitu saja.
*****
“Bude! Bude!” suara Ibu terdengar sambil mengetuk-ngetuk pintu Bude. Pintu terbuka.
“Mana Eli, Bude? Mana dia?” suara tangis tertahan terdengar jelas dari suara Ibu.
“Ibu kenapa? Mau kemana?” Eli terbengong di depan pintu kamar Bude, melihat Ibu datang dengan sebuah tas besar. Bude hanya terdiam memegangi gagang pintu, menatap bergantian Ibu dan Eli, bingung.
“Kak, Ibu sayang kamu nak. Kamu jangan lupa itu. Cepat, kamu harus pergi. Barang-barangmu sudah Ibu kemasi. Pergilah dengan teman Ibu. Dia sudah menunggu di luar. Pergilah, kak. Doa Ibu bersamamu,” Ibu memeluk, mencium dan merangkulnya kencang. Wajah Ibu terlihat kuyu dibanjiri air mata. Eli membenamkan wajahnya, air matanya membasahi kebaya biru muda Ibu.
Eli dibimbing Ibu melangkah keluar rumah menuju seorang laki-laki berjaket hitam yang berdiri di depan mobil Kijang merah.
“Bu, aku mau pergi kemana? Kenapa? Dia siapa?” Eli mulai terisak. Tangannya semakin erat melingkar di lengan Ibu.
“ Eli, jangan menangis, kak. Ingat, kakak harus kuat. Ibu akan segera menyusulmu.” Ibu seolah tak perduli, melepas tangan Eli dan mendorongnya masuk ke mobil beserta tas besar yang dibawanya.
Laki-laki berjaket hitam itu juga sudah di belakang kemudi dan langsung menjalankan mobilnya. Eli cuma terdiam. Baru beberapa meter mobil berjalan, dari arah berlawanan muncul beberapa motor yang dikendarai oleh mayoritas laki-laki muda berseragam berkonvoi menuju rumah Ibu. Laki-laki berjaket hitam itu melirik spion, memantau rumah Ibu. Ibu sudah tak terlihat. Bude juga. Rumah Ibu dan rumah Bude terlihat senyap. Cepat sekali, batinnya.
*****
Pak Lurah tergopoh mematikan rokoknya dan meraih kunci motornya. Tergesa melangkah keluar kantornya mengikuti seorang warganya.
“Sartika, telfon Pak Mantri suruh ke tepi sungai sekarang juga,” sambil berlalu, dia memberi perintah kepada Sartika, pegawainya yang terlihat baru sampai di kantor.
Sesosok tubuh perempuan ditemukan di tepi sungai oleh penambang pasir pagi tadi. Tak ada tanda pengenal apapun pada perempuan itu. Perempuan itu mengenakan kebaya biru muda. Pak Mantri menelungkupkan tubuh perempuan itu, dan menekan punggungnya. Tak ada reaksi.
Segera Pak Mantri menelentangkan badan perempuan itu. Menutup hidungnya dan memberi nafas buatan. Setelah 2 kali meniup, Pak Mantri membuka jepitan tangannya dan mengecek aliran udara dari hidung perempuan itu. Terasa, aliran udaranya lemah, tapi ada.
Pak Mantri lantas memiringkan wajah perempuan itu dan menumpukannya ke tangan kiri perempuan itu. Setelah itu ditekannya bagian bawah dada perempuan itu. Tak lama terdengar suara air menggelegak keluar dari mulut perempuan itu. Pak Mantri mengangguk kepada Pak Lurah. Perempuan itu masih belum sadar, tapi sudah bernafas.
*****
“Tidak bisa dimintai keterangan,Pak” perawat berbaju putih dengan sweater berwarna merah muda itu menutup penjelasannya kepada Pak Lurah.
“Namanya? Asalnya? Keluarganya? Tidak ada satupun yang dia ingat, sus?” Pak Lurah mencoba memperjelas.
“Tidak,Pak. Pasien tidak bisa mengingat apapun. Oh, ya, tadi dia menyebut nama Eli, tapi tak bisa mengingat Eli itu siapa ,” pungkas perawat tersebut, “kalau tidak keberatan, saya perlu ke pasien lain Pak. Pasien dari Bapak akan kami tangani lagi nanti. Pasien sudah sadar dan sudah bisa dikunjungi. Permisi.”
Pak Lurah bergeser memberi jalan kepada perawat itu. Dia berbalik dan menatap lewat bidang kaca pada pintu kamar rumah sakit itu. Perempuan itu sudah berganti dengan pakaian rumah sakit. Dan tangannya menggenggam erat kebaya biru yang tersampir di pegangan tempat tidurnya.
“Eli…” desahnya.
-TAMAT-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H