Mohon tunggu...
Yovinus
Yovinus Mohon Tunggu... Penulis - laki-laki

Hidup itu begitu indah, jadi jangan disia-siakan. Karena kehidupan adalah anugerah Tuhan yang paling sempurna bagi ciptaanNya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kokoliko, Indonesia-Australia: Demi Hidup Yang Lebih Baik

30 Desember 2024   07:42 Diperbarui: 30 Desember 2024   07:42 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/01/12/qygae0196-jpg-5a58b139dd0fa82a7571a382.jpg?t=o&v=770

Kokoliko duduk termenung di beranda rumahnya yang sederhana. Matanya menatap jauh ke hamparan sawah milik masyarakat lain yang mulai mengering karena musim kemarau.

Sementara dirinya sangatlah miskin, dia tidak memiliki sawah. Gubuk reyot warisan dari ayahnya berdiri di sudut desa yang sangat terpencil, yang tanahnya hanya cukup untuk gubuk mereka yang 4x6 meter saja.

Pikiran berkecamuk di kepalanya. Sudah beberapa bulan ini dia bolak-balik antara kantor desa dan dinas sosial. Semua demi satu tujuan: agar anaknya mendapatkan beasiswa KIP (Kartu Indonesia Pintar).

Bukan hanya itu, dia juga berharap mendapatkan bantuan sosial untuk keluarganya yang hidup dalam kesulitan. Namun, setiap usahanya berujung pada kekecewaan.

Di setiap kantor yang didatanginya, Kokoliko hanya mendapat jawaban yang sama:

"Maaf, kuota sudah penuh," atau "Coba ke dinas sosial kabupaten." Ia tahu, bantuan yang seharusnya didistribusikan dengan adil sering kali jatuh ke tangan orang-orang yang sebetulnya mampu.

Anak-anak pegawai atau kerabat kepala desa dan kepala dinas sosial selalu masuk daftar penerima bantuan, sementara anaknya yang miskin tetapi berprestasi justru dilewatkan.

Kokoliko tahu tidak adil, tetapi ia tak punya kuasa untuk melawan.

Pernah suatu kali, saat ia mengajukan proposal bantuan modal usaha untuk beternak ikan, ia berpikir ini akan menjadi solusi. Berbekal pengalamannya memelihara ikan semasa muda, ia yakin bisa menghidupkan ekonomi keluarganya melalui usaha tersebut.

Proposal yang ia tulis dengan hati-hati telah diserahkan kepada dinas terkait. Namun, tak ada kabar. Belakangan ia mendengar, bantuan itu dialihkan kepada orang lain, yang ternyata masih kerabat pejabat setempat.

Ketika ia mencoba meminta kejelasan, petugas hanya menjawab dengan wajah dingin, "Maaf, Pak Kokoliko, kami tidak bisa berbuat apa-apa."

Kata-kata itu terus terngiang di kepalanya. Tidak bisa berbuat apa-apa. Namun, kenapa ada orang lain yang bisa mendapatkan bantuan dengan mudah? Sementara dirinya, yang datang dengan niat baik dan kebutuhan nyata, harus terus berjuang tanpa hasil?

Kokoliko juga mencoba mencari pekerjaan. Berbekal ijazah SMA yang ia miliki, ia melamar sebagai penjaga gudang, operator, bahkan tukang kebun. Tapi di mana-mana, jawaban yang ia dapatkan sama: "Maaf, Pak. Kami butuh orang yang lebih muda."

Padahal Kokoliko masih sehat. Tubuhnya masih kuat mengangkat beban berat. Usianya memang di atas 50 tahun, tetapi semangat kerjanya tak kalah dari anak muda. Namun, siapa peduli? Di mata perusahaan, angka usia lebih berarti daripada kemampuan.

Sore itu, ia kembali ke rumah dengan tangan hampa. Di depan pintu, istrinya menyambut dengan senyum lembut yang menyembunyikan kesedihan.

"Tidak apa-apa, Pak. Kita coba lagi besok," ucap istrinya sambil memegang tangannya.

Namun, Kokoliko tahu, istrinya juga lelah. Ia sering melihat istrinya menangis diam-diam di pojok kamar, memikirkan nasib mereka dan anak-anak yang semakin besar.

Hampir setiap malam, Kokoliko sulit tidur. Ia teringat bagaimana anaknya menangis karena tak bisa membeli buku sekolah. Ia teringat wajah istrinya yang letih berjualan sayur keliling, penghasilan yang tidak seberapa hanya cukup untuk makan sehari-hari.

Sesekali ia berpikir untuk menyerah, tetapi bayangan anak-anaknya membuat ia terus mencoba.

Namun, pada suatu malam, segalanya berubah.

Istrinya menunjukkan sebuah postingan di media sosial. Ada tawaran kerja ke Australia sebagai pengurus kebun tomat. Pekerjaan ini tidak memerlukan ijazah, pengalaman kerja, atau kemampuan bahasa.

Usia pun bukan masalah. Semua biaya perjalanan akan ditanggung oleh penyelenggara, dengan catatan akan dikembalikan setelah bekerja di sana.

"Pak, ini kesempatan kita," kata istrinya dengan mata berbinar. "Kamu bisa bekerja di sana, gajinya besar. Dengan uang itu, kita bisa hidup lebih baik."

Kokoliko terdiam. Tawaran itu terdengar seperti mimpi. Namun, ada keraguan yang menggelayuti hatinya. Bagaimana kalau ini penipuan? Bagaimana kalau aku gagal di sana?

Namun, tatapan istrinya meyakinkannya. "Kita harus mencoba, Pak. Demi anak-anak."

Dengan berat hati, ia mengiyakan. Ia mulai mengurus dokumen, mengikuti prosedur, dan mempersiapkan keberangkatan. Anak-anaknya memberikan semangat, meskipun mereka tahu akan merindukan ayah mereka.

Hari keberangkatan tiba. Kokoliko memeluk keluarganya dengan erat sebelum naik ke bus menuju kota provinisi. Setelah itu menuju ke jakarta dan kemudian menuju bandara dan terbang ke Australia. Ia berjanji dalam hati, Aku akan pulang membawa harapan untuk kalian.

Perjalanan ke Australia adalah pengalaman pertama Kokoliko meninggalkan tanah air. Sesampainya di sana, ia disambut oleh seorang koordinator tenaga kerja. Kokoliko sempat ragu, tetapi melihat banyak orang Indonesia lain yang bekerja di tempat itu membuatnya sedikit lega.

Mereka berasal dari berbagai latar belakang, bahkan beberapa di antaranya adalah sarjana. Ada yang dulunya insinyur, guru, bahkan seorang dokter. Kini mereka bekerja sebagai buruh kebun, pelayan restoran, atau petugas kebersihan.

"Di sini, kita dihargai bukan dari ijazah, tapi kerja keras," kata seorang teman barunya.

Kokoliko merasa mendapatkan kembali harapannya. Ia bekerja dengan penuh semangat di kebun tomat. Bangun pagi-pagi, memetik tomat, membersihkan kebun, dan mengemas hasil panen.

Kokoliko tertegun melihat slip gaji pertamanya di Australia. Ia hampir tidak percaya dengan angka yang tertera di sana. Jika dirupiahkan, gajinya per hari mencapai 600 ribu rupiah, angka yang jauh melampaui apa yang pernah ia bayangkan.

Dalam sebulan, dengan bekerja penuh waktu, ia bisa mendapatkan hingga 288 juta rupiah. Jumlah ini terasa seperti mimpi bagi seorang pria sederhana seperti Kokoliko yang sebelumnya berjuang keras untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari di Indonesia.

Namun, hidup di negeri orang tidak sepenuhnya murah. Sebagian besar gajinya digunakan untuk kebutuhan sehari-hari, seperti makan dan membayar biaya kost di asrama pekerja.

Meski demikian, Kokoliko masih bisa menyisihkan sebagian besar penghasilannya untuk ditabung. Bahkan setelah semua pengeluaran tersebut, jumlah tabungannya tetap jauh lebih besar dibandingkan pendapatannya di Indonesia, di mana ia hampir tidak pernah memiliki sisa untuk ditabung.

"Kalau begini terus, aku bisa menyekolahkan anak-anak sampai kuliah," pikir Kokoliko sambil tersenyum. Ia merasa harapannya mulai terwujud. Setiap kali ia mentransfer uang ke istrinya di desa, hatinya terasa lega.

Ia membayangkan anak-anaknya yang kini bisa membeli buku sekolah tanpa harus menangis, dan istrinya yang tidak lagi harus berjualan sayur keliling untuk menutupi kebutuhan sehari-hari.

Meskipun pekerjaannya melelahkan, Kokoliko merasa semua usahanya sepadan. Dengan tabungannya yang terus bertambah, ia mulai bermimpi untuk membuka usaha kecil di desanya suatu hari nanti.

"Aku bekerja keras di sini demi masa depan keluarga. Itu saja sudah cukup membuatku bahagia," gumamnya.

Tubuhnya lelah, tetapi senyumnya selalu hadir setiap kali menerima gaji. Jumlah yang ia dapatkan jauh lebih besar daripada apa yang ia bayangkan. Dengan uang itu, ia mengirimkan sebagian besar ke istrinya untuk kebutuhan sehari-hari dan tabungan pendidikan anak-anaknya.

Namun, tidak semua berjalan mulus. Cuaca di Australia yang ekstrem sering kali membuat tubuhnya sakit. Tangan yang terus bekerja tanpa henti mulai melepuh. Suatu hari, saat memetik tomat, ia terpeleset dan terjatuh. Lututnya cedera, tetapi ia tidak berani berhenti bekerja karena takut kehilangan pekerjaan.

"Aku tidak bisa menyerah," bisiknya dalam hati.

Ketika rasa rindu pada keluarga melanda, ia sering kali duduk di sudut kamar asramanya, melihat foto anak-anak dan istrinya. Tatapan mata mereka yang penuh harapan membuat Kokoliko terus bertahan. Ia ingin anak-anaknya memiliki masa depan yang lebih baik, sesuatu yang tidak pernah ia miliki.

Setahun berlalu. Kokoliko akhirnya bisa melunasi semua biaya keberangkatan. Uang yang tersisa ia gunakan untuk membantu keluarganya di Indonesia. Ia juga menabung sedikit demi sedikit, bermimpi suatu hari bisa pulang dan membuka usaha sendiri.

Namun, suatu malam, ia menerima kabar buruk. Istrinya mengabarkan bahwa anak mereka sakit keras dan membutuhkan biaya rumah sakit yang besar. Tanpa berpikir panjang, Kokoliko mengirimkan uang sesuai kebutuhan mereka. Hatinya hancur karena tidak bisa berada di sisi anaknya saat itu.

"Maafkan Bapak, Nak," katanya sambil menangis di telepon. "Bapak akan segera pulang setelah mengumpulkan uang lebih banyak."

Meskipun penuh dengan cobaan, Kokoliko terus bekerja keras. Ia tahu, perjuangannya belum selesai. Namun, ia tidak lagi merasa sendiri. Di kebun tomat itu, ia menemukan banyak teman senasib yang saling mendukung.

Mereka berbagi cerita, tawa, dan air mata. Mereka adalah pejuang, bukan hanya untuk diri mereka sendiri, tetapi juga untuk keluarga yang mereka cintai.

Selama bekerja di Australia, Kokoliko memperoleh berbagai kemampuan baru yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Salah satu kemampuan itu adalah menyopir truk untuk memetik dan mengangkut tomat.

Awalnya, ia hanya membantu mengisi truk dengan hasil panen. Namun, ketika sopir truk utama pulang kampung, Kokoliko diberi kesempatan untuk belajar menyetir. Dengan bimbingan rekan-rekannya, ia akhirnya mahir mengoperasikan truk besar di area perkebunan.

Selain itu, Kokoliko juga mengasah kemampuan berbahasa Inggris. Awalnya, ia merasa canggung saat berkomunikasi dengan pemilik kebun, tetapi keadaan memaksanya untuk belajar.

Dengan bantuan teman-teman kerja dan interaksi sehari-hari, perlahan-lahan ia mulai memahami dan berbicara dalam bahasa Inggris sederhana. Kokoliko merasa bangga karena ini adalah pencapaian yang tidak pernah ia duga sebelumnya.

Tidak hanya itu, Kokoliko juga bertemu banyak pekerja Indonesia dari berbagai daerah. Interaksi ini membuatnya mengenal beberapa bahasa daerah lain, seperti Jawa, Batak, Madura, Sunda, dan Bugis.

Kemampuan ini memperluas wawasannya, membuatnya lebih mudah bergaul, dan mempererat hubungan antar-pekerja. Semua keterampilan yang ia pelajari di Australia menjadi bekal berharga untuk kehidupan dan masa depannya.

Hingga suatu hari, setelah bertahun-tahun bekerja, Kokoliko akhirnya pulang ke Indonesia. Ia disambut dengan tangis bahagia keluarganya. Meski tubuhnya lebih kurus dan wajahnya tampak lebih tua, tetapi senyum kebanggaan terpancar dari wajahnya.

Dengan tabungan yang ia kumpulkan, Kokoliko membuka usaha kecil di desanya. Anak-anaknya akhirnya bisa melanjutkan pendidikan tanpa harus khawatir soal biaya. Ia telah membuktikan bahwa meskipun jalan hidup penuh dengan rintangan, harapan dan kerja keras selalu membawa hasil.

Di beranda rumahnya yang kini lebih layak, Kokoliko duduk bersama keluarganya, menikmati senja. Ia tahu, hidup tidak pernah mudah. Tetapi ia juga tahu, ia telah melakukan segalanya untuk keluarganya.

Ia ingin merehab rumah tua miliknya, untuk persiapan menikmati hari tua bersama istrinya. Dia tersenyum sendiri, sekarang hidupnya sudah jauh lebih baik, karena usaha yang tidak mengenal putus asa mencari jalan agar hidup lebih baik, meskipun usianya tidak muda lagi.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun