Ketika ia mencoba meminta kejelasan, petugas hanya menjawab dengan wajah dingin, "Maaf, Pak Kokoliko, kami tidak bisa berbuat apa-apa."
Kata-kata itu terus terngiang di kepalanya. Tidak bisa berbuat apa-apa. Namun, kenapa ada orang lain yang bisa mendapatkan bantuan dengan mudah? Sementara dirinya, yang datang dengan niat baik dan kebutuhan nyata, harus terus berjuang tanpa hasil?
Kokoliko juga mencoba mencari pekerjaan. Berbekal ijazah SMA yang ia miliki, ia melamar sebagai penjaga gudang, operator, bahkan tukang kebun. Tapi di mana-mana, jawaban yang ia dapatkan sama: "Maaf, Pak. Kami butuh orang yang lebih muda."
Padahal Kokoliko masih sehat. Tubuhnya masih kuat mengangkat beban berat. Usianya memang di atas 50 tahun, tetapi semangat kerjanya tak kalah dari anak muda. Namun, siapa peduli? Di mata perusahaan, angka usia lebih berarti daripada kemampuan.
Sore itu, ia kembali ke rumah dengan tangan hampa. Di depan pintu, istrinya menyambut dengan senyum lembut yang menyembunyikan kesedihan.
"Tidak apa-apa, Pak. Kita coba lagi besok," ucap istrinya sambil memegang tangannya.
Namun, Kokoliko tahu, istrinya juga lelah. Ia sering melihat istrinya menangis diam-diam di pojok kamar, memikirkan nasib mereka dan anak-anak yang semakin besar.
Hampir setiap malam, Kokoliko sulit tidur. Ia teringat bagaimana anaknya menangis karena tak bisa membeli buku sekolah. Ia teringat wajah istrinya yang letih berjualan sayur keliling, penghasilan yang tidak seberapa hanya cukup untuk makan sehari-hari.
Sesekali ia berpikir untuk menyerah, tetapi bayangan anak-anaknya membuat ia terus mencoba.
Namun, pada suatu malam, segalanya berubah.
Istrinya menunjukkan sebuah postingan di media sosial. Ada tawaran kerja ke Australia sebagai pengurus kebun tomat. Pekerjaan ini tidak memerlukan ijazah, pengalaman kerja, atau kemampuan bahasa.