Usia pun bukan masalah. Semua biaya perjalanan akan ditanggung oleh penyelenggara, dengan catatan akan dikembalikan setelah bekerja di sana.
"Pak, ini kesempatan kita," kata istrinya dengan mata berbinar. "Kamu bisa bekerja di sana, gajinya besar. Dengan uang itu, kita bisa hidup lebih baik."
Kokoliko terdiam. Tawaran itu terdengar seperti mimpi. Namun, ada keraguan yang menggelayuti hatinya. Bagaimana kalau ini penipuan? Bagaimana kalau aku gagal di sana?
Namun, tatapan istrinya meyakinkannya. "Kita harus mencoba, Pak. Demi anak-anak."
Dengan berat hati, ia mengiyakan. Ia mulai mengurus dokumen, mengikuti prosedur, dan mempersiapkan keberangkatan. Anak-anaknya memberikan semangat, meskipun mereka tahu akan merindukan ayah mereka.
Hari keberangkatan tiba. Kokoliko memeluk keluarganya dengan erat sebelum naik ke bus menuju kota provinisi. Setelah itu menuju ke jakarta dan kemudian menuju bandara dan terbang ke Australia. Ia berjanji dalam hati, Aku akan pulang membawa harapan untuk kalian.
Perjalanan ke Australia adalah pengalaman pertama Kokoliko meninggalkan tanah air. Sesampainya di sana, ia disambut oleh seorang koordinator tenaga kerja. Kokoliko sempat ragu, tetapi melihat banyak orang Indonesia lain yang bekerja di tempat itu membuatnya sedikit lega.
Mereka berasal dari berbagai latar belakang, bahkan beberapa di antaranya adalah sarjana. Ada yang dulunya insinyur, guru, bahkan seorang dokter. Kini mereka bekerja sebagai buruh kebun, pelayan restoran, atau petugas kebersihan.
"Di sini, kita dihargai bukan dari ijazah, tapi kerja keras," kata seorang teman barunya.
Kokoliko merasa mendapatkan kembali harapannya. Ia bekerja dengan penuh semangat di kebun tomat. Bangun pagi-pagi, memetik tomat, membersihkan kebun, dan mengemas hasil panen.
Kokoliko tertegun melihat slip gaji pertamanya di Australia. Ia hampir tidak percaya dengan angka yang tertera di sana. Jika dirupiahkan, gajinya per hari mencapai 600 ribu rupiah, angka yang jauh melampaui apa yang pernah ia bayangkan.