Yuni menunduk. "Aku tidak tahu harus bagaimana. Aku hanya ingin semuanya kembali seperti dulu."
Husni terdiam. Ia tahu Yuni tidak bersalah, tapi sulit baginya untuk tidak merasa marah. "Kalau begitu, coba bicara dengan ayahmu. Katakan padanya untuk berhenti."
Yuni ingin menjawab, tapi sebelum sempat berkata apa-apa, suara mesin perahu terdengar mendekat. Ternyata itu adalah perahu milik Pak Karto. Wajah ayahnya tampak tegang, dan ia langsung memanggil Yuni.
"Yuni, cepat naik! Ada razia dari aparat!" teriak Pak Karto.
Yuni terkejut, tapi ia segera naik ke perahu. Husni hanya bisa memandang mereka pergi, sementara pikirannya berkecamuk. Ia tahu razia itu akan memicu konflik baru.
Malam itu, suasana di desa sungai penuh ketegangan. Beberapa pekerja tambang emas berkumpul di rumah Pak Karto, mendiskusikan cara untuk menghindari razia berikutnya.
"Kita harus hati-hati. Polisi sudah memantau kita dari jauh," kata Pak Karto kepada kelompoknya.
"Tapi sampai kapan kita harus sembunyi-sembunyi begini? Mereka tidak mengerti susahnya hidup kita!" sahut Jafar dengan nada frustrasi.
Di sudut ruangan, Yuni duduk diam, mendengarkan pembicaraan mereka. Ia tahu bahwa razia itu hanya masalah waktu. Dalam hati, ia merasa bersalah kepada para nelayan, tapi ia juga tidak tahu bagaimana cara keluar dari situasi ini.
Keesokan harinya, razia benar-benar terjadi. Inspektur Rahman dan timnya datang dengan perahu besar, menyita beberapa mesin tambang emas dan menangkap beberapa pekerja.
Para nelayan yang menyaksikan kejadian itu bersorak, sementara para pekerja tambang emas hanya bisa pasrah.