Pak Karto menatap anaknya dengan sorot mata yang penuh beban. "Sampai kita punya cukup uang, Yuni. Kau tahu, hidup makin sulit. Kalau tidak kerja emas, kita mau makan apa?"
"Tapi sungainya rusak, Yah. Nelayan marah. Aparat juga sering datang. Apa tidak ada pekerjaan lain?" Yuni mendesah, suaranya lirih namun tajam.
Pak Karto menghela napas panjang. "Yuni, kau masih muda. Kau belum tahu bagaimana susahnya hidup. Kami tidak punya pilihan. Sungai ini sudah jadi tempat perjuangan kita."
Yuni ingin membantah, tapi ia tahu percuma. Ayahnya keras kepala. Ia hanya bisa memandang sungai yang terus berubah, mengingat masa kecilnya ketika air sungai masih jernih dan penuh ikan.
Sementara itu, di tengah sungai, konflik lain tengah memanas. Perahu milik Jafar, salah satu pekerja emas, berpapasan dengan perahu nelayan yang dikemudikan oleh Saman.
Saman tampak gusar ketika melihat perahu Jafar menghalangi jalannya.
"Hei, Jafar! Minggir! Ini jalurku!" teriak Saman sambil memukul-mukul permukaan air dengan dayungnya.
"Jalurmu? Jangan bercanda! Sungai ini milik semua orang!" balas Jafar dengan nada mengejek.
Saman tidak terima. Ia mendayung perahunya dengan kasar hingga hampir menabrak perahu Jafar. "Kalian pekerja emas ini cuma tahu merusak! Gara-gara kalian, aku kehilangan ikan!"
"Apa urusanmu dengan ikan? Kami di sini mencari nafkah juga, sama seperti kau!" Jafar berdiri di atas perahunya, wajahnya memerah.
Perdebatan itu menarik perhatian beberapa orang di tepi sungai. Husni, yang kebetulan berada di dekat situ, berusaha melerai. "Hei, sudah cukup! Mau berkelahi di tengah sungai? Kalian mau tenggelam?"