Namun Saman dan Jafar tidak menggubris. Suasana semakin memanas hingga akhirnya Saman melemparkan dayungnya ke arah Jafar. Jafar, yang tidak mau kalah, membalas dengan melemparkan ember kecil berisi pasir.
Di tempat lain, seorang aparat polisi bernama Inspektur Rahman sedang mengamati aktivitas di sungai dengan teropong dari kejauhan. Ia tahu bahwa aktivitas tambang emas di sungai itu ilegal, tapi ia juga tahu bahwa para pekerja melakukannya karena tidak ada pilihan lain.
"Pak, mereka makin banyak," lapor seorang anggota polisi yang berdiri di sampingnya. "Haruskah kita tangkap sekarang?"
Rahman menggeleng. "Tidak semudah itu. Kalau kita tangkap mereka, siapa yang akan memberi makan keluarga mereka? Tapi kalau kita biarkan, sungai ini akan mati."
Anggota polisi itu mengangguk, meski wajahnya tampak ragu. "Jadi, apa rencana kita?"
Rahman terdiam sejenak. "Kita pantau dulu. Kalau mereka terlalu merusak, kita harus bertindak."
Sore itu, Yuni memberanikan diri untuk berbicara dengan Husni. Mereka sudah saling kenal sejak kecil, meskipun kini mereka berada di sisi yang berbeda. Husni adalah anak seorang nelayan, sementara Yuni adalah anak seorang pekerja tambang emas.
"Husni, aku ingin bicara," kata Yuni saat menemui Husni di tepi sungai.
"Ada apa, Yuni?" Husni menatapnya dengan curiga.
"Aku tahu ayahku dan kelompoknya merusak sungai. Tapi kami tidak punya pilihan lain. Kau harus mengerti," suara Yuni terdengar putus asa.
Husni menghela napas. "Aku tahu. Tapi apa kau tahu berapa banyak keluarga nelayan yang kehilangan mata pencaharian karena sungai ini berubah? Kau pikir kami tidak menderita?"