Matahari siang menyengat tajam di atas langit Kalimantan. Sungai Melawi, yang dahulu menjadi jalur utama para nelayan dan pedagang, kini tampak berbeda.
Airnya lebih keruh, dan dasar sungainya yang dulu dalam kini menyusut, dangkal oleh aktivitas para pekerja tambang emas. Suara mesin penyedot pasir dan kerikil bergema, bersaing dengan deru perahu yang melintas.
"Pak Amir! Cepat geser perahu ke kiri, itu aliran sungai baru!" seru Husni, seorang pemuda yang berdiri di tepi sungai sambil melambai-lambaikan tangannya.
Pak Amir, seorang nelayan tua, mencoba mengendalikan perahunya yang sudah hampir tenggelam di gundukan pasir. "Ah, dasar kalian pekerja emas ini! Gara-gara kalian, aku hampir karam!" Pak Amir memaki dengan suara lantang.
Namun Husni tidak tinggal diam. "Bukan salah kami, Pak. Sudah kami tandai jalur baru itu, siapa suruh tidak lihat tanda? Sungai ini berubah, mau bagaimana lagi?"
Pak Amir mendengus, tapi ia tidak punya waktu untuk berdebat. Ia mendayung ke jalur yang ditunjukkan Husni, meskipun hatinya mendidih oleh amarah.
Dalam hatinya ia merutuki perubahan yang terjadi di sungai itu. Dahulu, ia mengenal setiap tikungan, setiap arus, bahkan setiap pusaran air di sungai Melawi. Namun kini, semua berubah.
Di tepi sungai yang lain, Yuni tengah duduk di bawah pohon besar, memandang ke arah perahu-perahu kecil yang lalu-lalang. Sebagai anak perempuan satu-satunya dari keluarga tambang emas, ia sudah terbiasa mendengar suara mesin dan melihat sungai yang kian dangkal.
Namun hatinya selalu gelisah setiap kali ia menyaksikan para nelayan bersitegang dengan ayahnya, Pak Karto, yang memimpin kelompok pekerja tambang di daerah itu.
"Ayah, sampai kapan kita terus begini?" tanya Yuni ketika Pak Karto datang dengan wajah penuh peluh.