Malam di desa itu selalu punya caranya sendiri untuk menebar keheningan yang mendebarkan. Rumah Stevonia berada di ujung perkampungan, dipeluk rimbunan pohon-pohon besar yang mengeluarkan suara gemerisik saat angin malam bertiup pelan.
Cahaya lampu minyak bergoyang pelan di ruang tamu, melempar bayang-bayang di dinding kayu rumah yang mulai usang dimakan waktu. Jika orangnya penakut, maka bayangan itu seperti iblis yang mengintip.
Stevonia duduk di depan meja kecilnya, matanya sesekali melirik pintu yang belum ia kunci. Sebuah tikar yang digelar di lantai masih menampakkan sisa-sisa makan malamnya, semangkuk sisa sop ayam dan beberapa potong tempe goreng.
Di sudut ruangan, sebuah telepon genggam jadul milik suaminya tergeletak, menunggu saat di mana ia akan kembali dari pasar, tempat di mana dia harus berjalan cukup jauh demi mengisi ulang saldo aplikasi Dana dan mengirim uang kepada dua anak mereka yang sedang menempuh pendidikan di kota provinsi.
Tiba-tiba, suara ketukan terdengar di pintu depan, membuat jantung Stevonia melompat. Ia terdiam sejenak, membiarkan keheningan kembali merambat, berusaha mendengarkan dengan saksama.
Ketukan itu terdengar lagi, kali ini lebih jelas. Stevonia merasa jantungnya berdetak dua kali lebih cepat.
"Siapa?" suaranya bergetar, terpantul lembut di dinding ruangan.
Tak ada jawaban. Hanya suara angin yang mendesir di antara pepohonan. Lalu terdengar suara, tipis dan penuh keraguan. "Tante, ini aku..."
Stevonia mengerutkan dahi. Suara itu... sepertinya milik keponakannya, yang tinggal tak jauh dari rumahnya. Tapi saat ia mengintip dari celah kecil di pintu, hatinya terasa semakin gundah.
Bukan keponakannya yang dekat rumah itu, melainkan keponakannya yang lain, anak dari adik perempuannya yang telah meninggal beberapa bulan lalu. Mereka jarang datang ke sini, karena rumah mereka berjarak sekitar dua puluh kilometer dari kampung ini.
Stevonia membuka pintu pelan. Di depan pintu berdiri keponakannya, Dita, bersama saudaranya yang lebih kecil dan seorang pria yang tampak lelah namun tegar---saudara iparnya, Pak Hendra.
"Tante, maaf ya kalau mengganggu," ucap Dita sambil tersenyum tipis, memperlihatkan gurat keletihan di wajahnya.
Mereka bertiga masuk, membawa sejumput hawa dingin malam yang menelusup ke dalam rumah. Pak Hendra, yang tampak lebih tua dari usianya karena selalu kerja keras. Â
Kelulusan P3K mereka belum ada kepastiannya, kata bupati sih belum ada dananya. Pak Hendra lalu duduk di kursi kayu tua, Ia menundukkan kepala sejenak, seperti mencari kata-kata yang pas.
Stevonia mengedarkan pandangan, seolah memastikan ada cukup kehangatan di ruang tamu kecil ini untuk menyambut tamu-tamunya. "Ada apa ya, pak Hendra? Tumben malam-malam begini ke sini,"Â sapa Stevonia.
Pak Hendra menghela napas panjang. "Kami ingin memberi kabar, Stev. Kabar baik..." Matanya yang teduh menyiratkan kebahagiaan bercampur haru.
Dita menyela dengan nada ceria yang sedikit kaku, "Tante, ayah... ayah akan menikah."
Wajah Stevonia sontak menegang, lalu perlahan mencair, membentuk senyum lebar yang penuh ketulusan. "Ya ampun, ini kabar besar! Tapi kenapa... kenapa kalian datang malam-malam begini?"
"Kami tadi pulang dari undangan keluarga calon istri ku," jawab Pak Hendra.
"Kami pikir, karena melewati sini, lebih baik langsung mampir untuk memberitahu kabar ini. Sekalian minta bantuan... kalau Tante bisa, tolong post di grup WA keluarga ya. Undangan resmi nanti menyusul, tapi kami ingin semua tahu."
Stevonia memandang Dita, yang wajahnya kini berseri-seri meski tampak lelah. Dita dan adiknya sudah lama tidak punya ibu, jadi wajarlah ayah mereka mau menikah lagi, menikah tentu adalah keputusan yang membawa kebahagiaan sekaligus tantangan besar.
Ada perasaan haru yang menyelinap ke dalam hati Stevonia, mengingat adiknya yang telah tiada. Adiknya pasti akan tersenyum di sana, melihat putrinya akan punya ibu baru, melangkah ke dunia yang penuh harapan.
Saat itu, terdengar langkah kaki di luar. Pintu depan terbuka, dan masuklah suami Stevonia, Pak Rendi. Wajahnya basah oleh keringat, meski malam begitu dingin. Ia meletakkan tas kecil berisi sisa uang dari transaksi top up dan tersenyum lelah melihat tamu-tamunya.
"Oh, kalian di sini?" Pak Rendi menyapa dengan hangat. "Wah, ada apa malam-malam begini?"
Stevonia dengan semangat menceritakan kabar besar itu. Pak Rendi mengangguk penuh antusias. Ia menyalami Dita dan adik kecilnya serta Pak Hendra, wajahnya berbinar penuh rasa bahagia.
Tapi kemudian suasana berubah sejenak menjadi hening, seakan malam itu memberi ruang bagi perasaan masing-masing untuk menyelami.
Pak Hendra tiba-tiba berbicara dengan suara lebih pelan, suaranya seolah pecah oleh beban yang ditanggung selama ini. "Stev, aku tahu... aku tahu kita jarang saling mengunjungi lagi sejak adikmu pergi. Aku... mungkin aku kurang perhatian pada kalian. Maafkan aku."
Stevonia merasakan gumpalan emosi naik ke tenggorokannya. Ia ingat betapa kepergian adik perempuannya memisahkan hubungan mereka, membuat jarak yang sulit dijembatani. Ia berusaha keras menelan tangis yang hendak pecah.
"Hendra, tidak perlu minta maaf. Aku mengerti. Kematian... kematian memang mengubah banyak hal."
Dita menunduk, menyeka air mata yang mulai membasahi pipinya. Ia tahu, malam ini bukan hanya tentang kabar pernikahan ayahnya. Malam ini membawa kehangatan, tetapi juga bayang-bayang orang yang mereka rindukan. Pak Hendra tampak lebih tua dari umurnya, tampak seperti banyak beban.
Pak Rendi berdiri, mengambil telepon jadul yang hampir terlupakan di sudut ruangan. "Baiklah, kabar ini harus segera disebarkan. Malam ini kita akan bersyukur bersama, bukan hanya karena kamu akan menikah, tapi juga karena keluarga ini masih bisa berkumpul... walau dalam bentuk yang sederhana."
Mereka semua mengangguk. Stevonia melihat keponakannya yang akan mempunyai ibu baru. Ada harapan, ada cinta, dan ada kenangan yang takkan pernah mereka lupakan. Dan di luar sana, malam berbisik lembut, menyaksikan persatuan kecil yang penuh makna di sebuah rumah yang selalu penuh kehangatan dan cerita.
***
Malam itu udara terasa lembap, dan langit menebarkan aroma hujan yang tertahan di angkasa. Stevonia sedang duduk di meja makan bersama suaminya, Pak Rendi, menikmati kehangatan secangkir kopi yang mengeluarkan aroma khas.
Di sisi meja, telepon genggam milik Pak Rendi berbunyi terus-menerus, notifikasi dari grup WhatsApp keluarga yang tak berhenti berdenting. Dengan alis berkerut, Pak Rendi membuka pesan-pesan yang terus masuk.
"Apa yang terjadi, Mas?" Stevonia bertanya, merasa cemas.
Pak Rendi menghela napas panjang dan menyandarkan tubuhnya di kursi. Wajahnya terlihat letih, bukan karena lelah fisik, tetapi akibat beban emosional yang tiba-tiba menyerang.
"Sepertinya kita memicu kemarahan besar," jawab Pak Rendi, tangannya mengusap wajah.
"Kakak mu, bu Suparti Warto, dan adikmu sendiri, Nia, marah besar. Mereka tidak terima kalau Rendra akan menikah lagi. Menurut mereka terlalu cepat, tanahkan masih merah seandainya kuburan itu belum di semen."
Stevonia tertegun. Sejenak ia merasakan keheningan yang menyelinap di sela-sela bunyi piring dan sendok yang baru saja ia cuci.
Ia tidak mengerti mengapa pernikahan Rendra menjadi topik yang begitu sensitif. Adiknya kan sudah meninggal, sementara yang mau dinikahinya juga seorang janda.
Namun, ia juga tahu bahwa hidup Rendra tidaklah mudah setelah kehilangan istrinya lima tahun lalu.
Rendra, kakak iparnya itu, telah mengurus rumah tangganya seorang diri, membesarkan anak-anaknya tanpa sentuhan lembut seorang ibu.
"Tapi kenapa mereka marah pada kita?" tanya Stevonia, berusaha memahami kekusutan ini.
Pak Rendi menatap istrinya, mencoba menenangkan dirinya sebelum menjelaskan. "Mereka menganggap kita mendukung keputusan Rendra tanpa memikirkan perasaan anak-anak dan keluarga almarhumah istrinya. Mereka berpikir kita egois karena tidak melarang."
Stevonia menarik napas dalam-dalam. Perasaan terombang-ambing antara memahami kemarahan keluarganya dan rasa empati yang besar terhadap Rendra. Ia ingat, bulan-bulan terakhir, betapa lelahnya Rendra berjuang.
Setiap kunjungan ke rumah Rendra, ia menyaksikan betapa sulitnya pria itu berperan sebagai ayah dan ibu sekaligus, merawat anak-anaknya yang semakin besar dan menangani pekerjaan rumah tangga tanpa bantuan.
Notifikasi grup WA terus berdenting, seolah menambah ketegangan malam itu. Stevonia mendekati suaminya, mencoba membaca percakapan yang bergulir dengan cepat di layar telepon. Kalimat-kalimat yang muncul penuh emosi:
"Ini sungguh keputusan egois! Apa Rendra sudah lupa betapa sulitnya kita melepas kepergian adik kita dulu? Tidak bisakah dia menunggu lebih lama, atau setidaknya menghormati keluarga mendiang?" bunyi WA dari Suparti.
"Aku tidak habis pikir! Mengapa kalian, Stevonia dan Rendi, mendukung ini? Kalian tahu betapa mendiang kakak kita berjuang untuk anak-anaknya. Sekarang, hanya beberapa bulan berlalu, dan dia sudah mau menikah lagi?" sambung Nia.
Stevonia merasakan kepedihan dalam kata-kata mereka, seakan-akan dirinya turut tersudutkan dalam keputusan yang bukan miliknya. Ia menoleh pada Pak Rendi, matanya memancarkan kelelahan yang sama.
Namun selain itu, Stevonia ingat adik dan kakaknya ini bukan juga orang baik. Kakaknya walaupun sudah bersuami, masih pacaran dengan puluhan orang. Adiknya begiut juga, meskipun sudah bersuami, beberapa kali juga berselingkuh sampai memiliki anak.
Mereka saja bukan orang baik-baik, mengapa begitu teganya menghakimi Rendra. Adik mereka kan sudah meninggal, calon istri Rendra ini pun janda. Tidakkah mereka seharusnya bersyukur jika Rendra menikah lagi, sehingga bebannya mengurus anak-anaknya bisa lebih ringan.
Hidupkan harus berjalan, yang mati biarlah di alam sana. Tetapi yang hidup, mesti meneruskan kehidupoamnya. Bukannya kita tidak peduli, tetapi dunia kita sudah berbeda. Itu suatu fakta.
"Kita harus menjelaskan ini, Mas," ucap Stevonia, berusaha tetap tenang. "Mereka tidak tahu betapa beratnya hidup Rendra. Kita bukan mendukung karena kita tidak peduli, tetapi justru karena kita mengerti."
Pak Rendi mengangguk, lalu mulai mengetik pesan panjang di grup WA. Namun sebelum ia selesai, sebuah pesan baru muncul, yang membuatnya terdiam.
"Kalian tidak memikirkan anak-anaknya, ya? Apa kalian lupa kalau anak-anak kalian sendiri tinggal di rumah Rendra di kota provinsi? Kalau Rendra menikah lagi, bagaimana nasib mereka?" ujar Nia.
Kalimat itu terasa seperti panah yang menancap di hati Stevonia. Anak-anak mereka memang tinggal bersama Rendra selama menempuh kuliah, karena Rendra memiliki rumah besar di kota provinsi.
Memang, Rendra selalu menerima mereka dengan tangan terbuka, tetapi sekarang muncul pertanyaan yang mengusik: Apakah pernikahan baru ini akan mengubah segalanya?
Stevonia mencoba menahan air mata. Ia ingat bagaimana Rendra selalu memastikan bahwa keponakan-keponakannya mendapat kenyamanan di rumahnya, bahkan menyediakan makanan dan mengantar mereka jika ada kebutuhan mendadak.
Rendra adalah sosok pria yang penuh tanggung jawab, tetapi kini, pernikahan yang akan datang tampaknya membuat orang-orang ragu.
"Mas, aku harus berbicara dengan Nia secara pribadi," kata Stevonia. "Aku tahu ini tidak mudah, tapi kita harus mencoba meluruskan semuanya."
Pak Rendi mengangguk. "Tapi jangan harap mereka akan mengerti secepat itu. Orang-orang marah tidak mau mendengar logika, Stev. Apalagi jika rasa kehilangan masih membekas."
Stevonia akhirnya menghubungi Nia lewat telepon, dengan harapan bisa berbicara dari hati ke hati. Telepon berdering lama, dan saat Nia mengangkat, suaranya terdengar tegang.
"Apa, Kak?" Nia menyapa tanpa sapaan ramah.
Stevonia mencoba tetap tenang. "Nia, aku tahu kamu marah. Aku mengerti. Tapi coba dengarkan aku sebentar saja."
"Hm, bicara saja. Aku tidak punya banyak waktu untuk bicara soal keputusan bodoh itu," jawab Nia, nada suaranya penuh luka.
"Rendra sudah berjuang sendirian selama beberapa bulan," ucap Stevonia. "Kamu tahu sendiri, dia harus mengurus anak-anak, rumah, dan pekerjaannya. Bahkan kebutuhan biologisnya, Nia, itu manusiawi. Kami hanya ingin dia punya pasangan yang bisa membantunya menjalani hidup ini. Kami tidak mendukung karena tidak peduli. Justru karena kami peduli."
Nia terdiam. Ada keheningan yang menggantung di antara mereka. Stevonia hampir berpikir bahwa adiknya sudah menutup telepon, tetapi kemudian Nia berbicara, suaranya lebih lembut, namun tetap tergores amarah yang tertahan.
"Kak, aku tahu Rendra kesulitan. Aku tahu," katanya pelan. "Tapi aku tidak bisa menerima ini begitu saja. Seolah-olah mendiang kakak kita dilupakan. Seolah-olah... semua usahanya dulu sia-sia."
Stevonia merasakan air mata menetes di pipinya. "Nia, tidak ada yang melupakan almarhumah. Kita semua merindukannya, setiap hari. Tapi hidup harus terus berjalan. Dan soal anak-anak kami yang tinggal di rumah Rendra, kami akan mencari membicarakan solusi, memastikan mereka tetap nyaman."
Perlahan, suara Nia melemah. "Kak, aku hanya ingin keluarga ini tetap utuh. Aku tidak mau ada perpecahan."
"Kita semua tidak mau, Nia," jawab Stevonia dengan lembut. "Mari kita coba bicara baik-baik, bukan dengan kemarahan, tapi dengan hati yang terbuka."
Setelah obrolan itu, suasana sedikit mereda, meski konflik masih terasa tegang. Pak Rendi akhirnya memposting penjelasan panjang di grup keluarga, mencoba menenangkan kemarahan yang masih bergejolak.
Ia menulis dengan bijak, menekankan bahwa keputusan Rendra untuk menikah bukanlah bentuk pelarian, melainkan usaha untuk menciptakan hidup yang lebih baik, untuk dirinya dan anak-anaknya.
Di luar rumah, hujan mulai turun perlahan, membasahi bumi dengan gemericik lembut. Stevonia dan Pak Rendi duduk berdua, saling menguatkan.
Mungkin badai ini tidak akan reda secepat yang mereka harapkan, tetapi mereka tahu bahwa keluarga adalah tentang memahami, tentang mencoba merangkul walau berbeda pandangan.
Dan malam itu, meski penuh amarah dan air mata, mereka tetap berharap bahwa waktu dan cinta akan mempertemukan mereka kembali dalam damai.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H