"Kita harus menjelaskan ini, Mas," ucap Stevonia, berusaha tetap tenang. "Mereka tidak tahu betapa beratnya hidup Rendra. Kita bukan mendukung karena kita tidak peduli, tetapi justru karena kita mengerti."
Pak Rendi mengangguk, lalu mulai mengetik pesan panjang di grup WA. Namun sebelum ia selesai, sebuah pesan baru muncul, yang membuatnya terdiam.
"Kalian tidak memikirkan anak-anaknya, ya? Apa kalian lupa kalau anak-anak kalian sendiri tinggal di rumah Rendra di kota provinsi? Kalau Rendra menikah lagi, bagaimana nasib mereka?" ujar Nia.
Kalimat itu terasa seperti panah yang menancap di hati Stevonia. Anak-anak mereka memang tinggal bersama Rendra selama menempuh kuliah, karena Rendra memiliki rumah besar di kota provinsi.
Memang, Rendra selalu menerima mereka dengan tangan terbuka, tetapi sekarang muncul pertanyaan yang mengusik: Apakah pernikahan baru ini akan mengubah segalanya?
Stevonia mencoba menahan air mata. Ia ingat bagaimana Rendra selalu memastikan bahwa keponakan-keponakannya mendapat kenyamanan di rumahnya, bahkan menyediakan makanan dan mengantar mereka jika ada kebutuhan mendadak.
Rendra adalah sosok pria yang penuh tanggung jawab, tetapi kini, pernikahan yang akan datang tampaknya membuat orang-orang ragu.
"Mas, aku harus berbicara dengan Nia secara pribadi," kata Stevonia. "Aku tahu ini tidak mudah, tapi kita harus mencoba meluruskan semuanya."
Pak Rendi mengangguk. "Tapi jangan harap mereka akan mengerti secepat itu. Orang-orang marah tidak mau mendengar logika, Stev. Apalagi jika rasa kehilangan masih membekas."
Stevonia akhirnya menghubungi Nia lewat telepon, dengan harapan bisa berbicara dari hati ke hati. Telepon berdering lama, dan saat Nia mengangkat, suaranya terdengar tegang.
"Apa, Kak?" Nia menyapa tanpa sapaan ramah.