***
Malam itu udara terasa lembap, dan langit menebarkan aroma hujan yang tertahan di angkasa. Stevonia sedang duduk di meja makan bersama suaminya, Pak Rendi, menikmati kehangatan secangkir kopi yang mengeluarkan aroma khas.
Di sisi meja, telepon genggam milik Pak Rendi berbunyi terus-menerus, notifikasi dari grup WhatsApp keluarga yang tak berhenti berdenting. Dengan alis berkerut, Pak Rendi membuka pesan-pesan yang terus masuk.
"Apa yang terjadi, Mas?" Stevonia bertanya, merasa cemas.
Pak Rendi menghela napas panjang dan menyandarkan tubuhnya di kursi. Wajahnya terlihat letih, bukan karena lelah fisik, tetapi akibat beban emosional yang tiba-tiba menyerang.
"Sepertinya kita memicu kemarahan besar," jawab Pak Rendi, tangannya mengusap wajah.
"Kakak mu, bu Suparti Warto, dan adikmu sendiri, Nia, marah besar. Mereka tidak terima kalau Rendra akan menikah lagi. Menurut mereka terlalu cepat, tanahkan masih merah seandainya kuburan itu belum di semen."
Stevonia tertegun. Sejenak ia merasakan keheningan yang menyelinap di sela-sela bunyi piring dan sendok yang baru saja ia cuci.
Ia tidak mengerti mengapa pernikahan Rendra menjadi topik yang begitu sensitif. Adiknya kan sudah meninggal, sementara yang mau dinikahinya juga seorang janda.
Namun, ia juga tahu bahwa hidup Rendra tidaklah mudah setelah kehilangan istrinya lima tahun lalu.
Rendra, kakak iparnya itu, telah mengurus rumah tangganya seorang diri, membesarkan anak-anaknya tanpa sentuhan lembut seorang ibu.